Rabu, 04 Juni 2014

Demokrasi dalam pikiran sederhanaku



Pagi ini dan semalam yang lalu, aku membaca beberapa literatur tentang konsep demokrasi, pluralisme dan toleransi dalam berbagai jurnal. Berusaha mengerti bagaimana konteks demokrasi ini difahami oleh umat islam dan keinginan baik dari para pejuang demokrasi untuk merealisasikan demokrasi dalam kancah kehidupan yang ideal, saya tidak tahu tentang berapa jenis demokrasi dalam disiplin ilmu politik yang dipahami para pakar. Karena memang saya bukan pakar apalagi bisa menganalisis dengan tajam.

Kemudian saya membaca kisah Rasulullah SAW, disana saya tidak menemukan kata demokrasi secara tekstual. Tidak ada kata kata itu. Mungkin ada kali ya secara kontekstual, seperti biasa kubuka al Quran dan kubaca. Alif laam miim. Dzalika al kitaabu laa raiba fiih. Hudan lil muttaqiin. Alladziina yu’minuuna bil ghaib wa yuqiimuunassholaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun. Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila minqoblika. Wabil aakhirati hum yuuqinuun.... Yah kitab alquran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang orang yang bertaqwa. Yang meyakini hari berbangkit.
Aku merenung, berarti ajaran al quran itu seluruhnya adalah petunjuk. Petunjuk tentang bagaimana hidup ini harus dijalani, tentang bagaimana masalah itu harus dihadapi.tentang bagaimana kesulitan harus diatasi. Berarti kehidupan berpolitikpun harus merujuk ke al qur’an ya, kehidupan ekonomi bahkan soal pidanapun harus merujuk kesana. Pun dengan hadis. Meski kemudian ada yang menjelaskan bahwa pemahaman hadis dan al quran kan tergantung pada interpretasinya. Kalimat ini menurut saya sangat ambigu. Begitu banyak orang menginterpretasikan al quran dalam rangka defensif apologetik agar agama ini bisa diterima oleh kalangan yang memandang islam dari sisi pandang orientalis.
  
Ah entahlah, saya hanya seorang yang faqir ilmu, jauh dari pemahaman para intelektual. Yang saya pahami bahwa islam mengajarkan untuk taat pada segala perintah Allah, menjauhi segala larangan allah. Islam adalah Rasulullah SAW dalam menyelesaikan sengketa di negara Madinah al Munawwarah. Islam tidak hanya melihat pada sebuah tujuan semata, namun juga melihat aspek ketaatan dalam segala hal baik diketahui tujuannya atau tidak, jika itu syariah maka harus dilaksanakan. Allah yang Maha Tahu segala sesuatu, kadangkala akal kita tidak mampu menjangkaunya. Jadi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kita tunduk pada aturan Allah tanpa harus mengkompromikan dengan hal lain yang dinilai manusia sebagai maslahat. Dalam hal yang wajib, islam tidak bisa tawar menwar. Pada hal yang sunnah islam menganjurkan, pada hal yang haram islam melarang tanpa tawar menawar. Pada hal yang makruh Islam menganjurkan untuk meninggalkan dan pada hal yang mubah islam memberi pilihan sesuai asas manfaat.

Aku menengok demokrasi, ketika standar baik buruknya suatu perbuatan adalah manfaat dan maslahat bagi masyarakat, demokrasi ini selalu menawarkan jalan tengah terhadap konflik masyarakat. Misalnya ketika ada kasus pelacuran yang merajalela, demokrasi menawarkan lokalisasi agar tidak tercecer kemaksiatan dijalan jalan. Ini mengakomodasi keinginan semua kelompok. Bagi kelompok yang ga setuju pelacuran diakomodasi dengan menghilangkan pemandangan pelacuran ditempat umum, dan  bagi kelompok yang suka  pelacuran difasilitasi dengan lokalisasi. Prinsipnya, bebas yang diatur. Nah, saya sebagai muslim yang meyakini al quran jadi heran, trus perintah dalam qs annur ayat 2 itu gimana? Tentang hukuman bagi pezina? Pelacur? Apa perlu diinterpretasikan lagi dengan lebih soft sehingga hukum rajam atau jilid ini bisa diganti dengan lokalisasi?. Yah, mungkin ada yang menjawab, lokalisasi  kan baru tahap awal, selanjutnya kan dibina dan dilakukan negosiasi agar mereka menjauhi perbuatan itu.Pikiran saya berdialog bebas dengan segala imajinasinya. Rasanya jidat ini menjadi panas serupa orang demam. Kemudian saya memberanikan diri bertanya pada hati kecil saya, siapa pabrik pelacuran  itu? Bukankah pabriknya adalah kebebasan? Saling menghargai dan toleransi? Bagaimana mungkin perbuatan amoral ini akan berhenti jika pabriknya tetap beroperasi? Serupa dengan larangan merokok pada bungkus rokok sementara yang menulisnya adalah pabrik rokok? Ah ide macam mana ini?

Tegasnya islam, pada hal yang sifatnya wajib dan haram, tidak ada tawar menawr. Sementara dalam demokrasi, semua hal bisa dinegosiasi. Tidak ada halal haram, yang ada adalah manfaat. Jadi, kalau saya seorang muslim demokratis, bagaimana bisa menerapkan standar ganda begini? Bagaimana akan berdiri di dua tempat pada satu waktu dan pada satu persoalan? Bukankah jelasnya al haq dari al batil itu seterang matahari diantara sinar bulan? 

Buku buku saya tumpuk sedemikian rupa mengakhiri renungan sederhana saya. Dan yang paling atas adalah mukaku yang tertelungkup ditumpukan buku, menarik nafas panjang. Panjang sekali, mencoba berkompromi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar