Kamis, 10 Oktober 2013

PORET SINGKAT KEMUNDURAN IJTIHAD DALAM FIQH ISLAM



Membaca salah satu sub tema dalam kitab Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah karya Prof. Dr. Ali Jumu’ah menjadi semakin jelas maksud dari beberapa baris kata dalam kitab Mafaahiim yang selalu kami kaji setiap malam Rabu di Masjid Al Ikhlash, samping Balai Desa Tamantirto, 12 tahu lalu, yang menggambarkan betapa setelah kodifikasi pendapat-pendapat madzhab, aktivitas ijtihad yang mengambil hukum syara’ secara langsung dari nash-nash syara’ menjadi langka, bahkan dianggap kelancangan. Tenaga dan fikiran para ulama -yang sebenarnya punya kapasitas untuk berijtihad secara langsung- lebih terfokus untuk meneliti pendapat-pendapat madzhab dengan semangat untuk bertaqlid, yang kadang justru dibutuhkan kejelian yang lebih ekstra.
Dalam Mafaahiim Hizbit Tahriir An Nabhani menyatakan: “menyusul setelah itu datangnya masa kemunduran fiqh yaitu masa bermunculannya kitab-kitab syarah dan hasyiyah yang kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru Tidak mengandung hal-hal yang baru dalam istinbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu. Setelah itu datang masa yang lebih parah lagi, dimana para ulama menempuh cara dalam mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagian-bagiannya atau dalil-dalilnya. Masalah-masalah inilah yang disebut dengan istilah fatwa.”
Hal tersebut di atas relatif terjadi di semua madzhab fiqh. Berikut ini sedikit gambaran dari apa yang diuraikan oleh Ali Jumu’ah terkait keadaan tersebut yang terjadi pada Madzhab Syafi’i[1]: ****
Referensi Yang Otoritatif Dalam Madzhab Syafi’i. Telah kami sebutkan sebelumnya beberapa kitab yang ditulis oleh pemuka madzhab kami (ash-habuna), baik dari kelompok Khurasan (khurosaniyun) maupun Irak (‘Iroqiyun), hanya saja, kitab-kitab tersebut dan yang lainya telah diserap dalam hasil penelitian yang luas yang dilakukan oleh dua orang imam, yakni An Nawawi dan Ar Rofi’i, sampai-sampai, Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dan ulama muta’akhirin lainya menyatakan: Para muhaqqiq telah bersepakat bahwa kitab-kitab yang lahir sebelum “Dua Syaikh” –yakni Ar Rofi’i dan An Nawawi- tidak diperhitungkan lagi kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian yang sempurna sampai taraf diduga kuat bahwa ia merupakan pendapat madzhab yang rajih (kuat).
Mereka menyatakan bahwa yang demikian itu (merujuk kitab lama -pent) berlaku pada hukum-hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua Syaikh atau salah satu dari keduanya. Namun dalam perkara yang telah dikemukakan oleh keduanya maka para muhaqqiq telah membuat konsensus bahwa pendapat yang otoritatif dalam madzhab adalah apa yang disepakati oleh keduanya. Jika keduanya berbeda pendapat sementara tidak ada yang lebih utama bagi keduanya, atau ada tetapi sama kuat, maka pendapat An Nawawi-lah yang dipegang. Dan jika ada hukum yang hanya diungkapkan oleh salah satu dari keduanya saja, maka yang dipegangi adalah yang mengandung tarjih. Jika para ulama mutaakhirin sepakat tentang suatu pendapat dari keduanya yang salah karena kelalaian, maka pendapat itu tidak dapat dipegangi, akan tetapi kasus seperti ini sangat langka.
Setelah itu datanglah masa Ibnu Hajar dan Ar Romli. Keduanya memberi penjelasan (syarh) terhadap kitab Al Minhaj. Keduanya juga menulis kitab2 madzhab dengan metode penyuntingan. akhir Syafi’iyah mengatakan bahwa sumber yang otoritatis setelah Ar Rofi’i dan An Nawawi- adalah Ibnu Hajar Al Haitsami dan Muhammad Ar Romli, sehingga tidak boleh mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan keduanya, bahkan hanya bertentangan dengan Tuhfatul Muhtaj-nya Ibnu Hajar atau Nihayatul Muhtaj-nya Ar Ramli pun juga tidak boleh. Itu dikarenakan para muhaqqiq dan ulama telah membaca kedua kitab itu di hadapan kedua penulisnya. Bahkan An Nihayah telah dibaca dari awal hingga akhir oleh 400 ulama di hadapan Ar Ramli, mereka menelaahnya dan menshohihkannya, dengan demikian jumlah tersebut telah mencapai batasan mutawatir. Adapun (peneliti) At Tuhfah maka jumlahnya tidak terhitung.
Jika keduanya (Ibnu Hajar dan Ar Ramli) berselisih, maka para ulama Mesir mengambil pendapat Ar Ramli. Sementara itu para ulama Hadhromaut, Syam, Akrad (Kurdi), sebagian besar Yaman dan Hijaz mengambil pendapat Ibnu Hajar. Terdapat kitab-kitab yang ditulis mengenai perbedaan pendapat di antara keduanya, antara lain: Itsmidul ‘Ainaini fi Ba’dhi Ikhtilafisy Syaikhoin yang ditulis oleh Syaikh ‘Ali Bashobirin.
Sementara itu dalam masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh keduanya maka fatwa bisa merujuk pada pendapat Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori. Beliau memiliki beberapa karya fiqh yang telah diterbitkan, yang paling penting di antaranya adalah: Al Manhaj ringkasan Al Minhaj-nya An Nawawi, syarah Al Manhaj, Syarah Ar Raudh, Syarah Al Bahjah, dan Tahriru Talqihil Lubab berikut syarahnya.
Jika tidak ada baru kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Al Khothib Asy Syarbini, beliau menulis Mughnil Muhtaj syarah Al Minhaj dan Al Iqna’ Syarah kitab matan Abi Syuja’. Keduanya merupakan kitab yang terkenal dan telah diterbitkan.
Jika tidak ada baru merujuk kepada Hasyiyah (catatan pinggir) Az Zayyadi, kemudian Hasyiyah-nya Ibnu Qosim Al Abbadi atas Tuhfatul Muhtaj (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Amiroh dalam catatan pinggirnya yang terkenal atas Nihayah-nya Ar Ramli (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk kepada pendapat Syaikh Ali Asy Syubramalsi dalam catatan pinggir atas Nihayatul Muhtaj-nya Ar Ramli (telah dicetak), kemudian merujuk pada catatan pinggir Al Halabi, kemudian Hasyiyah Asy Sybri, dan terakhir pada Hasyiyah Al ‘Inani. Itu semua dapat diambil jika tidak bertentangan dengan pokok madzhab.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ulama Syafi’iyah generasi akhir. Mereka mempraktekkan ketentuan ini di dalam kitab-kitab, catatan pinggir dan taqrir mereka sampai zaman ini.
Hubungan Kesinambungan Kitab-kitab Syafi’iyah
A.
Semenjak Imam Al Juwaini menulis An Nihayah[2] maka kitab-kitab madzhab pun berporos padanya. An Nihayah merupakan ringkasan dari empat kitab Asy Syafi’i yang beliau tulis dalam bidang fiqh, yaitu: Al Um, Al Imla’, Al Buwaithi, dan Muktashor Al Muzani[3], atau sebagian ulama mengatakan bahwa ia –an Nihayah- merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani. Di dalam kitab ini dihimpun berbagai thoriqoh (thuruq) madzhab dan segi-segi perbedaan (aujah) dari para pemuka madzhab (al Ash-hab).
Setelah itu, Al Ghozali meringkas An Nihayah menjadi Al Basith. Beliau lantas meringkas Al Basith menjadi Al Wasith, kemudian (meringkasnya lagi) menjadi Al Wajiz, dan akhirnya beliau meringkas Al Wajiz menjadi Al Khulashoh.
Dalam Al Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj dan yang lainnya disebutkan bahwa Ar Rofi’i meringkas Al Wajiz menjadi Al Muharrar.[4] Setelah itu Imam An Nawawi meringkas Al Muharrar menjadi Al Minhaj. Pasca itu, Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori meringkas Al Minhaj menjadi Al Manhaj, kemudian Al Jauhari meringkas Al Manhaj menjadi An Nahju.
B.
Imam Ar Rofi’i mensyarah Al Wajiz dalam dua kitab, kitab yang kecil tidak beliau beri nama, sedangkan yang besar beliau namai Al ‘Aziz. Imam An Nawawi meringkas Al ‘Aziz menjadi Ar Raudhoh. Sementara itu Ibnu Muqri meringkas Ar Raudhoh menjadi Ar Raudh. Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori mensyarahnya dalam kitab yang bernama Al Asniy, kemudian Ibnu Hajr meringkas Ar Raudh menjadi sebuah kitab bernama An Na’im. Kitab ini hadir sebagai kitab yang tergolong paling berharga di bidangnya, sayangnya, kitab ini hilang pada masa hidup beliau.
Ar Raudhoh juga diringkas oleh Imam Al Muzjid dalam kitabnya Al ‘Ubab, kemudian Ibnu Hajar mensyarahnya dengan syarah yang komplit dan luas berjudul Al I’ab, sayangnya beliau tidak menyelesaikannya. As Suyuthi juga meringkas Ar Raudhoh dalam kitab berjudul Al Ghoniyah, beliau juga menadzomkannya (mensyairkannya) dengan judul Al Khulashoh, namun beliau tidak menyempurnakannya, sebagaimana yang beliau nyatakan di dalam daftar karya-karya beliau.
C.
Al Qozwaini juga meringkas Al Aziz Syarhul Wajiz menjadi Al Hawi As Shoghir, kemudian Ibnul Wardi menadzomkannya dalam Bahjah-nya, kemudian Syaikhul Islam mensyarahkannya dalam dua syarah.
Ibnu Hajar Al Haitsami pada bagian akhir kitab Tahrirul Maqol menyatakan: “mengenai pernyataan mereka: sesungguhnya sejak Al Imam (Al Juwaini) menulis kitab An Nihayah yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani –yang meriwayatkan perkataan Asy Syafi’i- yang terdiri dari delapan jilid besar, maka orang-orang hanya disibukkan oleh perkataan Al Imam saja, karena murid beliau, Al Ghozali, meringkas An Nihayah tersebut dalam ringkasan yang panjang dan penuh bernama Al Basith, kemudian meringkasnya lagi dengan yang lebih tipis, bernama Al Wasith, kemudian meringkasnya dengan lebih ringkas lagi, bernama Al Wajiz. Setelah itu datanglah Ar Rofi’i yang mensyarah Al Wajiz dengan syarah yang ringkas, kemudian mensyarahnya lagi dengan syarah panjang (Al ‘Aziz –pent) yang tidak pernah ada karya tulis yang menyamainya dalam madzhab Syafi’i. Rata-rata tebalnya mencapai sepuluh jilid. Kemudian datanglah An Nawawi yang meringkas, memperbaiki dan memeriksa syarah tersebut serta menyempurnakan sejumlah besar perkataannya pada tempat-tempat yang menurutnya perlu diperbaiki. Ringkasan tersebut diberi nama Raudhatuth Tholibin. Tebalnya pada umumnya mencapai empat jilid. Setelah itu datanglah generasi muta’akhirin, yang memiliki beragam tujuan. Di antara mereka ada yang memberi catatan pinggir, jumlah mereka sangat banyak dan mereka menghabiskan banyak waktu dalam hal ini, sampai muncullah hasyiyahnya Al Adzro’i yang berjudul At Tawassuth baina Ar Raudhoh wa asy Syarh yang mencapai 30 jilid. Demikian juga dengan Al Isnawi, Ibnu ‘Imad dan Al Bulqini, mereka juga memberi catatan pinggir terhadap Ar Raudhoh. Mereka berempat merupakan ulama kenamaan (muhul) dari generasi akhir (al-muta’akhirin). Kemudian datanglah seorang murid dari keempat ulama tersebut, yakni Imam Az Zarkasyi, yang mengumpulkan kesimpulan (mulakhosh) dari catatan-catatan pinggir mereka dalam sebuah kitab yang ternama berjudul Khodimur Raudhoh yang terdiri dari 20-an jilid.
Di samping itu, ada sebagian ulama yang merasa memiliki keharusan untuk meringkas Ar Raudhoh. Di antara mereka ada yang meringkas dengan panjang, ada pula yang meringkasnya dengan benar-benar ringkas seperti Ar Raudh karya Asy Syaraf Al Muqriy (w. 837 H), maka orang-orang pun menerima ringkasan-ringkasan tersebut. Tatkala Ar Raudh muncul, orang-orang lebih banyak merujuk kepadanya karena keunggulan dan kemudahan ungkapannya. Lantas Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshori –pent) mensyarahnya dengan syarah yang sangat baik. Beliau menyertakan ringkasan tersebut, maka manusia pun mengerumuninya. Sampai datanglah masa penulis Al ‘Ubab, yaitu Ahmad bin Umar Al Muzjid az Zabidi, beliau meringkas Ar Raudhoh dan menyertakan di dalamnya masalah-masalah furu’ (cabang-cabang fiqh –pent) dalam madzhab yang tak terhitung jumlahnya.
Penulis Al Hawil Kabir juga meringkas Asy Syarhul Kabir (Al ‘Aziz karya Ar Rofi’i –pent) dengan cara yang belum tertandingi. Beliau mampu menghimpun substansinya dalam sekitar delapan jilid dari sepuluh jilid yang ada, sehingga orang-orang pada masanya mengakui bahwa –dalam masalah ini- tidak ada tulisan yang menyamainya, sehingga orang-orang pun mencurahkan perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya. Kemudian penulis kitab Al Bahjah menadzomkannya sehingga orang-orang pun kemudian juga menghafal dan mensyarahnya. Sampai datanglah masa Asy Syaraf Al Muqriy (837 H), penulisAr Raudh, yang kemudian meringkasnya (mukhtashor Al ‘Aziz) hingga jauh lebih tipis, yang diberi nama Al Irsyad, sehingga orang-orang pun menaruh perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya”.
Pembubuh harokat Al Irsyad menyatakan: “diantara orang yang mensyarahnya adalah Ibnu Hajar Al Haitsami, beliau mensyarahnya dalam dua kitab besar yang belum dicetak, juga dalam satu kitab yang lebih kecil bernama Fathul Jawad Syarhul Irsyad (telah dicetak), kitab ini disertai oleh catatan pinggir yang juga ditulis oleh Ibnu Hajar”
D
Al Mahami (w. 415 H) menulis Al Lubab yang menjadi salah satu kitab Iraqiyin yang mu’tabar. Kemudian Al Wali Al Iroqi (w. 826 H) meringkasnya dalam kitab Tahrirul Lubab. Kemudian Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori (w. 926 H) meringkasnya lagi dalam kitab Tanqihu Tahriril Lubab (telah dicetak) dan mensyarahnya dalam kitab Tuhfatuth Thullab (telah dicetak), selanjutnya Syaikh Adh Dhorqowi (w. 1226 H) memberinya catatan pinggir dengan hasyiyah-nya yang masyhur (telah dicetak). (terj by titok)

[1] Ali Jumu’ah, Prof. Dr., Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah (Kairo: Darus Salam, 2001), hal. 49 – 52
[2] Judul lengkapnya adalah Nihayatul Mathlab fii Diroyatil Madzhab
[3] Secara teknis 3 kitab terakhir bukan ditulis oleh Asy Syafi’i, namun ditulis dan atau dikumpulkan oleh para murid beliau berdasarkan apa yang beliau ajarkan.
[4] Ali Jam’ah mengungkapkan ketidakyakinan bahwa Al Muharrar adalah ringkasan Al Wajiz

Rabu, 09 Oktober 2013

BATAS TANGGUNGJAWAB PIDANA ANAK



AQJ, anak Ahmad Dhani, yang masih berusia 13 tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan di tol Jagorawi yang memakan 7 korban tewas dan 9 lainnya luka-luka .  AQJ mengemudikan sendiri mobil sedan Lancer dengan kecepatan tinggi sehingga kehilangan kendali.  Mobilnya menubruk pembatas jalan dan menyeruduk Granmax yang melaju dari arah berlawanan.
Kasus kecelakaan ini mengundang kontroversi yang hangat karena melibatkan anak di bawah umur, dengan jumlah korban tidak sedikit.  Beberapa pihak menuding orangtua AQJ adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam kasus ini.
Kadiv Pengawasan dan Monev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ihsan  menilai Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul ini merupakan korban salah asuh orang tua.  "Orang tuanya tidak memahami ada hal yang sudah dibolehkan untuk anak-anak dan yang yang belum, baik secara hukum, maupun nilai dan norma," katanya (Republika online, 08/09/2013).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia merekomendasikan kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ dapat diselesaikan di luar jalur hukum jika ada kesepakatan antara keluarga korban dan pelaku.

"Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh.  Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban
(antaranews, 12/09/13).
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi, mengatakan pendamping Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan siap mendampingi AQJ jika setelah pulih ia dihadapkan pada proses hukum.  Pendampingan ini dilakukan agar AQJ mendapatkan keadilan yang menjunjung tinggi asas restoratif dan hak-hak anak. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Tempo.co.id, 16/09/13).

Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Kasus AQJ mengangkat kembali pembahasan tentang penyelesaian masalah anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang pernah mengemuka beberapa waktu lalu pada kasus AAL, anak yang mencuri sandal jepit di Palu.  Perdebatan yang muncul sama, apakah anak layak untuk dijatuhi hukum pidana, atau masalahnya dapat diselesaikan di luar pengadilan?  Jawaban masalah ini menjadi krusial karena data Komnas Perlindungan Anak menyebutkan ada 6000-an anak yang setiap tahunnya berurusan dengan hukum. 
Paradigma Penyelesaian Kasus Pidana Anak
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, telah disahkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.  Dalam UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut Anak dalam kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 
Asas yang dianut dalam Sistem Peradilan Anak di antaranya adalah: kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.
Pasal 3 UU tersebut menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di antaranya: a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional; d. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, serta wajib diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (http://www.setkab.go.id).
Pada prinsipnya pendekatan hukum pada kasus ABH  didasari dua asumsi,  pertama : anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.  Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.  Kedua :  bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Pendekatan yang digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai, prinsip, dan norma Konvensi Hak Anak  adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini dianggap lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan.
Konsep Keadilan Restoratif
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi.
Diskresi adalah kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak  berdasarkan hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91).   Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan menghentikan proses penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah atau kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana  keluar dari proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa syarat.  
Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus
melalui proses formal;
• menghindar
kan anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak (minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi, penyerahan kembali ke orang tua, kerja sosial selama 3 bulan dan pelayanan masyarakat.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).
Sasaran dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek immateriil.
Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), konsep pendekatan keadilan restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Keadilan restoratif setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Keadilan restoratif harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan, 2008 : 4)
Keadilan restoratif ini dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan restributif yaitu :
1.   Memperhatikan hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
2.   Berusaha memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
3.   Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
4.   Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
Kontroversi Keadilan Restoratif
Tidak semua kalangan sepakat dengan paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH.  Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana tanggal 21 Agustus 2012.  Martina mengungkapkan segi negatifnya sebagai berikut :
1.    Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi terhadapnya, maka dikuatirkan hal itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya lagi.
2.    Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku kejahatan yang mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal : maraknya sindikat yang mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking).  Mencopet adalah sama dengan mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan wajib untuk diupayakan diversi.  Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader (orang yang menyuruh melakukan), jika dalam hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human trafficking).  Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/ dikehendaki oleh ABH dan secara sadar ABH melakukan perintah si Dader dengan kerjasama dan mengetahui serta mengkehendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi tidak memberi efek jera.   Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH untuk melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan paradigma yang mendasarinya.  Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk mengurangi tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana digantikan dengan prinsip keadilan restorasi.   
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak terus bertambah tiap tahunnya.  Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus. 
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak anak.  Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke dalam kejahatan.  Kemiskinan, kerusakan moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya.  Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak. 
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal anak selalu terpaku pada bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada anak.  Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari tindak kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus ini.  Ibarat anak berdiri di tepi jurang tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru semua orang berteriak.  Sia-sia.
Definisi Anak dalam Islam
Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam.  Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa.  Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.  Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh.  Prof. Dr. Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak.  Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid.  Rasulullah saw bersabda :
“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga : dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa (yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).  Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.  Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa hingga ia siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas perbuatannya saat baligh.  Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun.  Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak.  Di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut.  Akibatnya secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang.  Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
Batas Tanggung Jawab Pidana Anak dalam Islam
Baligh tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah.  Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa.  Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara’.  Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), serta kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada).  Jika dia mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena sanksi.  Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri.  Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.
Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya.  Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.
Jika anak belum baligh, Huzaemah T. Yanggo menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak seperti ini tidak dapat dihukum dengan hukuman seperti orang dewasa.  Ini dikarenakan asas dalam pemberian hukuman tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang jelas dan sempurna (benar-benar disengaja). 
Anak kecil tidak memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak pidananya, karena akalnya belum sempurna.  Kesadaran dan pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang hakekat kejahatan.  Ia juga belum mampu memahami khithab Syari’  secara sempurna.  Karena itu anak tidak dijatuhi hukuman pidana.  Ini juga sesuai dengan hadist Rasulullas saw :
Diangkat pena dari tiga golongan, dari yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia sadar.”  (HR Baihaqi).
Diriwayatkan pula bahwa seorang pencuri dihadapkan pada Khalifah Utsman.  Sebelum memutuskan hukum potong tangan, Utsman memerintahkan untuk menyingkap sarung sang pencuri agar diketahui sudah baligh atau belum.  Ketika ternyata terbukti pencuri tersebut belum baligh, Utsman tidak menjatuhkan hukuman padanya.  Ini tidak dsanggah  oleh para shahabat yang ada saat itu sehingga terjadi ijma’.
Sekalipun tidak dijatuhi hukuman pidana, namun jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus pembunuhan, anak sebagai pelaku dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau keliru.  Bila anak tidak memiliki harta, maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.
Sekalipun demikian, negara boleh mengambil kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak pidana anak.  Negara bisa memaksa orangtua atau wali untuk mendidik anaknya, atau negara mengambil anak dari pengasuhnya dan menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari kalangan kerabat yang berhak atas pengasuhan anak.
Bila anak sebatang kara tidak memiliki pengasuh dan wali, maka negara berkewajiban memelihara anak tersebut dan mendidiknya agar tidak menjadi pelaku kriminal.
Solusi Komprehensif Islam
Islam menyelesaikan masalah kriminal anak tidak hanya terpaku pada hukuman yang harus dijatuhkan pada anak.  Islam lebih mengedepankan pendekatan sistemik yang akan mencegah anak menjadi pelaku kejahatan.
Sebagai benteng pertama, Islam mewajibkan orangtua untuk mendidik anak sebaik-baiknya.  Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi pahala yang terus mengalir baginya sekalipun kematian sudah menjemput. 
Berikutnya Islam menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan.  Nafkah anak dibebankan pada para wali.  Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara wajib untuk menjamin nafkah anak.  Dengan demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya pada berbuat pidana.
Islam juga memiliki kebijakan dalam pendidikan dengan menjadikan kurikulumnya  berdasarkan aqidah Islam sehingga memiliki daya dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum syara’.
Begitu juga Islam memiliki mekanisme penjagaan aqidah dan moralitas.  Islam mewajibkan negara untuk mencegah beredarnya miras, pornografi, dan media massa yang memiliki konten membahayakan aqidah dan akhlak umat.  Negara dibekali dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan kerusakan.  Ini berbeda dengan system demokrasi di Indonesia, yang sampai Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk membreidel semua konten porno di media massa.
Dengan serangkaian hak dan kewajiban yang Islam telah membebankannya kepada orangtua, masyarakat dan negara, maka Islam telah melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak kriminal. (Arini)