Selasa, 10 Juni 2014

MENYAMBUT RAMADHAN (Seharusnya) DENGAN GEMBIRA "Barang siapa yang bergembira atas datangnya Ramadhan, Allah telah mengharamkan jasadnya dari api neraka" (HR. An-Nasa'i)



Menyambut Ramadhan dengan gembira, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang beriman, yang menyadari sepenuhnya bahwa Allah menyediakan bagi mereka pahala yang berlipat besarnya di bulan tersebut.  Mereka meyakini Ramadhan adalah saat-saat terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka.  Mereka melihat kesempatan yang luas terbentang di hadapan mereka untuk beramal sebanyak-banyaknya dalam mempersiapkan bekal pertemuan dengan Allah Ta’ala.

Inilah yang membuat mereka berbahagia dengan datangnya Ramadhan.  Mereka tidak akan merasa berat harus menahan haus dan lapar.  Mereka tidak akan merasa payah berjaga di malam hari menjalankan qiyamul lail dan tilawah Qur’an. 

Berbeda dengan orang yang imannya kurang.  Mereka akan berkeluh kesah karena harus menahan haus dan lapar.  Apalagi Ramadhan tahun ini jatuh di tengah musim kemarau, terbayang sudah beratnya.

Namun, kondisi yang terjadi saat ini membuat kaum beriman tidak mampu menyambut Ramadhan dengan kegembiraan yang sempurna.  Di balik kegembiraan tersebut, ada was-was menyelip.  Apalagi di kalangan ibu-ibu.  Sebulan sebelum Ramadhan datang, harga-harga kebutuhan pokok sudah merangkak naik.  Kenaikan tersebut dipastikan akan terus berlangsung dan mencapai puncaknya memasuki bulan Ramadhan dan menjelang idul Fitri.  Beban berat bagi sebagian besar kita.
Pemerintah memang menyatakan bahwa mereka menjamin pasokan kebutuhan Ramadhan sampai lebaran aman. Tetapi mereka tidak menjamin harga akan tetap stabil.  Ini berarti para ibu harus ekstra berhitung untuk belanja kebutuhan Ramadhan dan lebaran.  Inilah “nila” yang menodai kegembiraan menyambut Ramadhan.

Ada dua hal yang membuat harga-harga melangit memasuki bulan Ramadhan.  Yang pertama adalah konsumtivisme masyarakat yang tinggi.  Ramadhan mereka identikkan dengan ajang “balas dendam”.  Setelah sehari penuh menahan lapar dahaga, mereka merasa layak untuk berbuka dengan makanan enak dan banyak.  Dari ta’jil, makan besar sampai makanan penutup, komplit.  Otomatis hal ini akan membuat permintaan produk makanan menjadi tinggi sehingga berimbas pada naiknya harga. 

Kedua, sistem ekonomi kapitalis-liberal yang saat ini diterapkan.  Sistem inilah yang jadi biang keroknya.   Melalui berbagai macam iklan dan kampanye gaya hidup di berbagai media, mereka menyulap persepsi masyarakat, keinginan menjadi kebutuhan.  Inilah yang melahirkan konsumtivisme yang tinggi di masyarakat, yang membuat produk apapun yang dilemparkan para kapitalis ke pasar akan terserap habis.

Ditambah tata kelola kapitalistik, membuat harga dikendalikan sepenuhnya oleh korporasi-korporasi besar yang menguasai pasar.  Rakyat kembali menjadi korban, harus merogoh kantong dalam-dalam untuk menghadirkan “keceriaan” Ramadhan.

Sudah saatnya kita mengubah keadaan.  Mengembalikan niat kita berpuasa untuk mendapatkan ridla Allah semata.  Tidak perlu  memaksakan diri dengan yang tidak kita miliki.  Cukuplah kita bergembira dengan telah dekatnya janji Allah untuk melipatgandakan semua pahala amal kita dan menjauhkan kita dari api neraka.
Sudah saatnya pula kita berjuang untuk menyempurnakan kegembiraan Ramadhan.  Menghilangkan nila yang merusaknya, dengan mengganti sistem ekonomi kapitalis-liberal dengan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan, dalam naungan Khilafah Rasyidah. ( di kutip dari tulisan  DR. Arini )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar