Rabu, 18 Juni 2014

MENGKRITISI MP3EI (MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN INDONESIA)



            Rencana induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang diluncurkan Presiden SBY, 27 Mei, menuai banyak kritik. MP3EI intinya mencakup tiga strategi utama. Pertama, pengembangan potensi daerah melalui enam koridor ekonomi (KE): Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku. Kedua, memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi kinerja sektor riil dengan menyelesaikan masalah peraturan nasional dan infrastruktur utama nasional. Ketiga, mengembangkan center of excellence di setiap KE dengan pengembangan SDM dan iptek untuk peningkatan daya saing.

Mengkritisi MP3EI
            Penting kiranya mencermati apa makna koridor dalam MP3EI. Karena dalam rancangan program yang sedang dan akan dijalankan, yang terlihat adalah upaya membangun infrastruktur hanya dalam rangka mengangkut sumber daya alam yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak ada penjabaran bagaimana mekanisme ekonomi  yang akan meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat di Indonesia, seiring dengan capaian program masing-masing koridor.
Yang terlihat dari kata “konektifitas”, pada program implementasi penjabaran dan prediksi adalah sebatas pemastian terangkutnya sumber daya alam yang berasal dari berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kemudian hasil triliunan dari tambang batu bara, gas, kebun sawit dll akan digunakan untuk re-invest di Jakarta, Singapura, dan Hongkong.
Sehingga yang tertangkap dari arti kata “percepatan dan perluasan” dalam MP3EI hanyalah perluasan ruang berinvestasi bagi pengusaha, bukan bagi rakyat.
            Sedangkan bagi mayoritas warga, dampak capaian MP3EI adalah menyempitnya ruang untuk hidup dengan layak, baik di daerah yang kaya SDA maupun di kota besar. Ruang hidup layak di area kaya SDA akan menyempit karena degradasi lingkungan berupa temperatur naik, tanah kritis, dan sungai tercemar. Ruang hidup yang layak bagi warga kota juga akan terus menyempit seiring perluasan penguasaan lahan untuk bisnis properti dan infrastruktur.
Sehingga harapan bahwa pembangunan infrastruktur dalam MP3EI adalah untuk kepentingan umum hanyalah utopia. Pembangunan jalan tol, khususnya tol dalam kota, yang menjadi komoditas utama dalam MP3EI sejatinya adalah perampasan hak rakyat atas ketersediaan jalan umum. Negara (pemerintah) bukan saja berlepas tangan dalam penambahan umum di Jakarta, tetapi bahkan menjadikan rakyat sebagai konsumen atau pembeli jasa jalan tol.
            Penting untuk disadari, bahwa dampak kedepannya ketika beberapa mega proyek dalam MP3EI telah terwujud, maka sebagian besar rakyat kota besar akan tinggal di kawasan marginal. Kawasan marginal terbentuk karena kawasan strategis dikuasai pebisnis dari tangan rakyat yang buta informasi tentang nilai masa depan lahan. Dampak yang mencemaskan dari MP3EI adalah kualitas lingkungan di daerah kaya SDA maupun kota besar untuk mayoritas masyarakat akan makin buruk. Hal ini diperparah dengan adanya fragmentasi, segregasi dan polarisasi sosial di Jawa, selain meluasnya bekas "ladang berpindah " di Kalimantan.
            Sehingga semestinya perguruan tinggi terkemuka harusnya mengkritisi MP3EI. Bukan menjadi skrup dan menyediakan pelaksana proyek-proyek (penjajahan Indonesia) di dalam MP3EI.
            Hal lain yang patut dicermati adalah aspek pendanaan dalam rancangan tersebut. Tanpa konsep kemandirian. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan bahwa sampai 2014 nilai investasi yang akan ditanamkan BUMN di dalam koridor itu akan mencapai Rp 4000 triliun. Dana itu diperoleh dari BUMN sebesar Rp 900 triliun, APBN Rp 600-an triliun, swasta 150 miliar dolar AS, dan asing 150 miliar dolar AS. Sehingga bisa dipastikan Indonesia akan semakin jauh masuk ke dalam perangkap utang (debt trap).
            Adapun prediksi bahwa Indonesia akan menikmati bonus demografi pada 2025 yang akan membawa Indonesia dalam kemajuan, hanyalah sebuah angan-angan. Karena dalam MP3EI, posisi masyarakat Indonesia adalah dalam posisi sebagai pekerja, yang terjajah dan digaji untuk menjadi pangsa pasar (terlihat dari rancangan yang membuka semua koridor sebagai pasar produk asing). Padahal sejatinya mereka adalah pemilik sumber daya alam yang melimpah ruah.

Masa Depan Indonesia Yang Sejahtera: Bersama Khilafah                     
            Ada dua kesalahan mendasar dalam perumusan konsep pembangunan ekonomi Indonesia. Pertama, kesalahan metodologi dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi. Kedua, kesalahan karena tidak mengacu kepada politik ekonomi Islam. Dengan basis ideologi yang tidak jelas, maka rumusan tujuan dalam pembangunan ekonomi tidak pernah tercapai, dan berubah-ubah  dalam implementasi. Sehingga gagal mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi. 
Tentu dibutuhkan mekanisme sistem ekonomi yang lebih baik yang bisa mengatasi berbagai kondisi yang muncul saat ini sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi yang diharapkan menggantikan system yang ada sekarang tentulah sebuah sistem ekonomi yang sudah teruji kadar keberhasilannya secara empiris. Dan semua mekanisme paripurna itu ada di dalam Sistem Ekonomi Islam. Sebuah mekanisme pengaturan berekonomi yang terbukti selama dalam kurun 13 abad mampu memimpin dunia dalam kesejahteraan, mewujudkan sistem ekonomi dunia yang stabil, tidak rentan krisis, membawa produktifitas dalam perdagangan internasional yang jujur dan kompetitif. Di atas semua itu, keunggulan yang tidak pernah dimiliki oleh sistem ekonomi selain Islam adalah kemampuan sistem ekonomi Islam dalam mewujudkan kesejahteraan secara materiil sekaligus menjaga nilai-nilai luhur dan mulia, yang semestinya memang tidak boleh hilang dari sosok manusia. 
            Indonesia, sekalipun memiliki sangat banyak kekayaan sumber daya alam, dalam kenyataannya Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk miskin yang sangat besar.
Pertanyaan yang muncul mengapa terjadi kontradiksi ? Mengapa kekayaan sebesar itu tidak cukup untuk memakmurkan rakyat Indonesia? Jawabannya adalah bahwa sebagian besar kekayaan tersebut telah dikuasai oleh swasta, terutama perusahaan swasta asing melalui perusahaan transnasional. 
            Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam ini. 
Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy Sayukani, Nayl al Authar, halaman 1140)
Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Pengelolaan negara terhadap sumber daya alam ini menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Kedua, negara bisa berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Pengeluaran negara dari sumber daya alam ini bisa dialokasikan untuk berbagai kebutuhan. Antara lain:
· Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
·         Dikembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik sumber daya alam itu. Khalifah boleh dan bisa membagikannya secara langsung dalam bentuk benda yang memang diperlukan atau dalam wujud layanan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan murah juga infrastuktur lainnya.

Dengan politik ekonomi Islam, kekayaan alam Indonesia akan menjadi pos penerimaan negara yang sangat besar. Ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang di mana pos penerimaan negara dalam APBN justru didominasi oleh pajak. Hasil kekayaan alam justru dinikmati oleh swasta, baik lokal maupun asing, sedangkan rakyatnya tetap menderita. Kondisi ini tidak akan terjadi jika sistem ekonomi Islam mengaturnya.  Perhitungan matematis bisa menunjukkan potensi luar biasa itu.

Tabel Penerimaan APBN Syariah Sektor Kepemilikan Umum         
KEPEMILIKAN UMUM                                            
PENERIMAAN
(Juta Dinar)
PENERIMAAN
(Triliun Rupiah)
Minyak                  
121,5
182,25
Gas
178,9
268,35
Batubara
127,5
191,25
Emas Dan Mineral
33,5
50,25
BUMN Kelautan
48,9
73,35
Hasil Hutan
666
999
JUMLAH
1.176,3
1.764,45

Jika Indonesia diasumsikan memberlakukan konsep APBN Syariah (Baitul Mal) dalam sistem keuangan negaranya, maka akan didapati pemasukan dari sektor kepemilikan umum sebesar Rp.1.764,45 triliun. Jumlah yang jauh melampaui angka Rp.1.104 triliun yang terdapat dalam pemasukan APBN konvensional tahun 2011. Itu pun belum termasuk pemasukan dari pos zakat dan pos fa`i dan kharaj.
*dikutip dari tulisan Nida saadah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar