Jumat, 30 Mei 2014

BUKAN SEKEDAR REVISI UNDANG-UNDANG PA



Setahun lalu, tepatnya pada bulan Desember 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)telah  menetapkan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual.  Ketua KPAI saat itu -Badriyah Fayumi- mengatakan kekerasan seksual  telahberada pada titik yang sangat sadis dan di luar nalar sehat.Sejak tahun 2010, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.
Setengah tahun berlalu, pencanangan itu justru menuai ironi.   Kasus kekerasan seksual pada anak-anak Indonesia  makin mengerikan.  Laporan kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) sepanjang tiga bulan pertama tahun 2014 sebanyak 252 kasus.Arist Merdeka Sirait –Ketua Komnas PA- mengungkapkan  42 sampai 62 persen di antara kasus kekerasan anak terlapor adalah kekerasan seksual.

Peningkatan kasus hari per hari menumbuhkan keprihatinan yang sangat.Hampir semua pihak menganggap kasus berulang karena hukuman bagi pelaku kejahatan itu tidak mampu memberi efek jera. Mayoritas solusi mengerucut pada keinginan untukmerevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, merevisi UU memang sangat diperlukan atas desakan  masyarakat.   Impelentasi hukuman maksimal 15 tahun bagi penjahat pedofilia tidak pernah dipergunakan, bahkan mereka juga merasakan remisi sehingga hanya menjalani hukuman 5-6 tahun.

Hukum positif yang diberlakukan di negri ini memang dianggap tidak mewakili kebutuhan masyarakat.Maklum, pasal 289 KUHP hanya mengancam pelaku kekerasan yang memaksa seseorang untuk melakukan ataumenyerang kesusilaan, hanya diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.Bahkan pasal 290 KUHP hanya mengancam  pidana paling lama 7 tahun.  Sedangkan ketentuan pidana terhadap kejahatan seksual yang tertuang pada pasal 81 sampai 82 dalam UU PA  menjatuhkan penjara 3-15 tahun dan denda dari Rp 60 juta hingga 300juta rupiah.

Untuk sementara ini, masyarakat menganggap revisi UU PA memang baru bermain di tataran penghukuman berat bagi pelaku kejahatan.  Kegeraman publik hanya berujung pada penambahan masa hukuman, mewacanakan hukuman mati,suntik hormon antiandrogen-untuk melemahkan hormon testoteron sehingga hasrat seksual pelaku akan menurun bahkan hilang - atau “cap khusus”  pada tubuh penjahat pedofilia. Namun  sayangnya, tawaran-tawaran solusi itu dikuatirkan tidak akan mampu menyelesaikan masalah kejahatan seksual secara tuntas. Seperti biasanya, pemerintah dan mayoritas publik baru bereaksi setelah kasus membesar dan menguatirkan.  Pencegahan terhadap berbagai masalah sosial, khususnya kejahatan seksual sering kali diabaikan.Tentu setiap pihak ingin agar kasus-kasus semacam ini selesai dengan tuntas.Agar tak berulang, jelas dibutuhkan pembacaan yang jeli dan tepat untuk mengurai permasalahan.Masalahnya, ternyata visi mendasar dari UU PA turut berperan secara tidak langsung dalam menumbuhkan perilaku bebas (liberal) dalam memandang masalah seksual. 

Indonesia Darurat Liberalisme 

Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Hotman M. Siahaan menyatakan bahwa kekerasan seksual terjadi akibat kondisi anomi dalam masyarakat.Kondisi anomi adalah kondisi masyarakat yang tidak stabil akibat runtuhnya nilai dan norma sehingga individu kehilangan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.  Keyakinan terhadap norma dan nilai cenderung tergerus danmasyarakat  mulai mengejar apapun yang memberi harapan (kompas, 13/5/2014).  

Fatalnya, Hotman menambahkan, kondisi anomi ini diperkuat hal lain, termasuk ketiadaan kontrol informasi dan media.Beberapa agresivitas pelaku kejahatan seksual ternyata diinspirasi oleh tayangan  porno pelecehan seksual yang yang sumbernya  berasal dari sinetron, iklan, infotainment, maupun video klip.  Karena itu berbagai pihak, termasuk KPAI mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk memerangi kejahatan seksual, khususnya pada anak dan memerangi seluruh pemicunya, seperti pornografi, seks bebas, perbuatan cabul, homoseksual dan perilaku seks menyimpang lainnya.

Namun semua itu tidak mungkin terselesaikan secara tuntas mengingat kondisi anomi, kebebasan informasi bahkan kebebasan seksual justru berakar pada liberalisme.Liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu sehingga paham ini menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.  Karena itu, liberalisme akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi, disebabkan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.Demokrasi memuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan HAM merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis  pasti menjaga konsistensi  ‘penghormatan’ terhadap HAM.

Realitas inilah yang sedang terjadi di Indonesia.Nilai HAM menjadi komoditas penting yang bahkan menjadi rencana strategis negara dalam kerangka demokratisasi.Keseriusan pemerintah dalam promosi dan perlindungan HAM difokuskan pada tiga bidang.Pertama, memperkuat kerangka kerja legislatif di bidang HAM.Kedua, mengembangkan kerangka kerja institusional untuk perlindungan dan promosi HAM, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional.Ketiga, memperkuat kerjasama dengan semua pihak yang terkait dalam promosi dan perlindungan HAM, seperti  bermitradengan masyarakat sipil yang dinamis dan media massa yang bebas dalam memajukan HAM.

Pada poin pertama, UU PA menjadi salah satu perangkat legal formal bagi implementasi nilai-nilai HAM, khususnya hak asasi anak-anak.Bahkan sejak 2008 pemerintah telah mengadopsi ratifikasi protokol-protokol opsional dari Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Karena itu filosofi tentang HAM tampak jelas pada latar belakang legalisasi UU ini.Pemerintah mengklaim akan melakukan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.  Dan negaramemberikan jaminan terhadap  pemenuhan hak-hak mereka dan menjamin perlakuan tanpa diskriminasi.

Semua itu justru menguatkan agenda liberalisasi dalam membentuk karakter anak, sebagai generasi harapan bangsa.Apalagi rujukan untuk membuat UU PA di antaranya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of DiscriminationAgainst Women/CEDAW) dan  Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).  Sungguh tidak bisa dinafikan bahwa visi HAM adalah visi liberal yang membebaskan manusia berpikir, bertindak dan berperilaku dengan satu catatan : tidak merugikan orang lain.  Padahal paradigma ‘tidak merugikan orang lain’ makin bias, bahkan hanya dianggap begitu jika ukurannya sesuai paradigma sekularis liberal.  Maka ketika nilai-nilai Barat universal yang dijadikanfilosofi penyusunan UU PA, tak dapat dipungkiri jika hal itu justru ‘melegalkan’  liberalisasi yang menjadi tertuduh utama penyebab kejahatan seksual.

Muatan Liberal dalam UU PA 

Pendekatan liberal memang sengaja dilakukan oleh pengusung liberalism, termasuk dalam pembentukan karakter generasi masa depan.  Mereka berdalih,  konsep kebebasan dalam mendidik generasi merupakan hal yang sangat penting karena anak adalah  pelaku aktif ,  bukan obyek yang diperintah dan diatur seenaknya oleh orang tua, guru, pemuka agama atau pemerintah.  Karena itu kebebasan individu anak dalam proses  perkembangannya mesti dijamin.  Mereka menganggap pendidikan konservatif membuat individu-individu  menjadi kurang progresif, kurang aktif dan selalu gamang  dalam menentukan dan menjawab tuntutan zaman.

Pasal 1 UU PA ayat 1 mengakomodir paham itu dengan menyatakan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan  dandiskriminasi”.   Teks ayat 2  pasal 1 makin mengguatkan prinsip dasar UU itu dengan menegaskan “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.”  

Walaupun jika ditelaah secara keseluruhan, pasal-pasal dalam UU PA masih ‘sewarna dengan muatan lokal Indonesia’, namun tidak dapat dinafikan bahwa kelahiran UU PA menjadi konsekuensi yang harus dilakukan Indonesia karena telah meratifikasi kovenan liberal seperti  CEDAW dan Konvensi Hak Anak PBB.   Karena itu prinsip-prinsip dasar HAM seperti  non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan  serta penghargaan terhadap pendapat anakdituangkan pada  ayat 12 pasal 2yang sekaligus menjadi  amanat Konvensi Hak-Hak Anak.

UU ini menegaskan  sekali lagi bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif, termasuk  karena perbedaan ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, suku bangsa, latar belakang sosial atau politik, status lahir atau karena keterbelakangan fisik atau mental (pasal 13).Bahkan mereka perlu mendapatkan pendidikan pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi (pasal 50).Bahkan UU ini menegaskan jaminan anak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (pasal 16). Frasa ‘perlindungan dari diskriminasi’atau penghargaan terhadap ‘hak asasi’ diulang beberapa kali untuk menegaskan semangat ‘yang membebaskan’, yakni  liberalisasi.  Tujuannya, bila seorang anak terbiasa untuk tidak didiskriminasi/dibedakan, dia akan berkembang menjadi pribadi yang terbuka dan penuh toleransi terhadap semua perbedaan.  Kelak dalam pergaulan sosial, sikap dan perbuatannya  melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau yang tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.  Dia akan tumbuh menjadi karakter yang moderat, pluralis dan toleran, sebagai antitesa karakter konservatif, fundamentalis dan intoleran.
 
Generasi seperti itulah yang diharapkan lahir dari rahim ibu pertiwi  dengan penduduk muslim terbesar sedunia sebagaimana rancangan Barat.  RAND Corporation–sebuah lembaga think tank yang dilibatkan pemerintah Amerika Serikat dalam proyek penanganan terorisme- telah menerbitkan hasil penelitian yang berjudul Building Moderate Muslim Network (2007) yang terfokus untuk menciptakan "Jaringan Muslim Moderat" di berbagai belahan dunia.  Tujuannya untuk meredam, meminimalisir, bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai "ekstremis/ radikal Islam" dan menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat.  Untuk itu dikembangkan karakter Islam moderat, yang menurutRAND adalah Muslim yang mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM -termasuk kesetaraan jender, keberadaan kelompok LGBTI dan kebebasan beragama-, menghormati sumber hukum yang non sektarian, dan menentang terorisme.Bukankah karakter itu sejalan dengan semangat kelahiran UU PA?

Saat ini dunia internasional amat gencar mengampanyekan kebebasan tingkah laku, termasuk  sepertiyang dilakukan UNWomen.  Institusi gender PBB itu sebagaimana lembaga pluralis di Barat, setiap tanggal 17 Meimemperingati  Hari Internasional Melawan Homophobia dan Transphobia yang dimaksudkan untuk  menuju kesetaraan dan kebebasan untuk Lesbian , Gay , Biseksual , Transgender dan Interseks (LGBTI).  Tidak aneh jika Indonesia juga diarahkan menjadi seperti mereka, toh Indonesia terkenal sebagai bangsa yang amat lentur dalam menerima cara hidup apapun.  Apalagi jika moderasi dalam bersikap sudah dibina sejak masa kanak-kanak.  Kelak ketika dewasa mereka akan terbiasa untuk menerima kelompok ganjil (querr) itu.  Kalau  kelompok ‘yang dianggap sebagai pendosa oleh agamanya’ saja bisa mereka terima, apalagi jika sekedar menerima kebebasan berpakaian, budaya pergaulan bebas antar laki-laki perempuan, atau produk ‘budaya’ seperti film, iklan, novel, dan produk-produk lain yang secara Islam mengandung materi pornografi dan pornoaksi.

Bila masyarakat berkembang demikian, lalu dimana aspek pencegahan yang seharusnya menjadi aksi pertama bagi pemerintah dan kelompok sipil dalam masyarakat?  Sayangnya, karena standar berpikir dan bertindak mereka adalah ideologi kebebasan, maka seakan-akan mereka menjadihipokrit : mengutuk habis-habisan perilaku pedofilia namun ‘membolehkan’ perilaku homo jika dilakukan suka sama suka.

Sebenarnya, hipokrisi juga terjadi pada hal mendasar, yakni dalam mendefinisikan anak. Pasal 1 dalam bab I Ketentuan Umum menyatakan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Padahal dalam hukum fiqh islam, definisi anak tidak tergantung pada usia, namun terkait dengan status baligh seseorang yang ditentukan oleh ihtilam bagi laki-laki dan haidl bagi perempuan.  Klausul itudiperkuat lagidalam pasal 26 ayat 1 yang mengharuskan  orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk  mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.  Artinya, UU PA melarang perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun walaupun anak dan orang tuanya melakukannya karena dorongan keimanan.

Nyatanya, Barat tidak hanya mendiskriminasikan (definisi  anak dalam khazanah) fiqh Islam, namun dalam maksud itu tercium aroma kapitalistik yang sangat kuat.  Barat telah menyiapkan perangkat, termasuk aspek legal formal dalam undang-undang, demi ketersediaan SDM dalam industri mereka.Karena itu membiarkan perkawinan di bawah usia 18, akan membawa akibat terhentinya proses pendidikan formal dan selanjutnya proses perekrutan tenaga kerja.  Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi dunia usaha karena menyusutkan ketersediaan potensi tenaga kerja.Apalagi tenaga kerja perempuan terbukti lebih menguntungkan daripada laki-laki.  Karena itu dokumen CEDAW, BPfA dan kesepatan-kesepakatan terbaru lainnya  -termasuk pencanangan “Hari Malala setiap 12 Juli”- menganggap perkawinan anak adalah bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan dan harus dihentikan.

Itulah yang mendasari laporan bertajuk Voice and Agency: Empowering Women and Girls for Shared Prosperity  yang dikeluarkanBank Dunia bersama  Mantan Menlu AS Hillary Clinton, dan Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo- Ngcuka pada tanggal 14 Mei 2014.Laporan itu menyebutkan bahwa sekitar 65 persen perempuan yang hanya mendapat pendidikan dasar atau kurang dari itu dinikahkan saat masih anak-anak  akanmengalami kemiskinan.  Laporan itu juga menunjukkan bahwa perempuan yang mendapatkan pendidikan yang tinggi atau lebih baik akan cenderung untuk tidak lekas-lekas menikah dan memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Tentu saja premis yang mereka buat mendukung aksi penolakan terhadap pernikahan dini sekaligus menuntut perluasan akses pendidikan.Hal itu sejalan dengan pasal 53 ayat 1UU PA yang membebankan tanggung jawab kepada  pemerintah untuk memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.  Tujuannya tidak hanya ‘menggugurkan’ kewajiban sebagai pemerintah, namun lebih dari itu adalah menjamin ketersediaan SDM demi industri masa depan.  Inilah liberalisasi jenis lain : liberalisasi ekonomi yang menyasar kebutuhan pokok industri sejak masa kanak-kanak.

Hentikan Kejahatan Atas Nama HAM

Tak henti-hentinya Indonesia didera malapetaka yang mengancam pembentukan generasi.Akar masalah sebenarnya jelas mengerucut pada praktek-praktek liberal yang menjadi strategi pokok kapitalis untuk menyebarkan ideologinya.  Setahap demi setahap mereka meliberalkan generasi masa depan, wa bil khusus anak-anak kaum muslimin untuk menjadi pengekornya.  Atas nama HAM, kebebasan berkeyakinan, berbicara  dan bertindak menjadi kelaziman.

Pemerintah juga diberondong dengan keharusan melaporkan kemajuan pelaksanaan HAM di tingkat nasional hingga lokal.Yang terakhir adalah dialog interaktif pembahasan laporan inisial dan periodik pertama Indonesia terkait implementasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) dengan Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya selaku treaty body/badan pemantau ICESCR di Jenewa pada tanggal 1 Mei 2014. Komite itu mencatat masih banyak tantangan yang dihadapi Indonesia,  baik terkait dengan kerangka hukum, kebijakan ataupun kapasitas negara.  Karena itu pemerintah harus meningkatkan pemenuhan hak-hak sesuai dengan ketentuan Kovenan.Wajar jika keinginan melakukan revisi UU PA menguat karena UU itu masih dipandang perlu ditingkatkan agar memenuhi hak asasi anak-anak.

Ide Liberalisasi yang mengatasnamakan HAM, tidak hanya membahayakan keimanan dan keterikatan terhadap hukum syariat, namun juga mengancam keamanan dan ketentraman dalam masyarakat.  Disadari atau tidak, ide ini akan membentuk tatanan masyarakat ala Barat dengan karakter kehidupan sosial yang individualistis, hedonis dan pragmatis.  Jangan salah jika akan tercipta manusia-manusia  liberalyang menjadikan kebebasan individu -termasuk didalamnya kebebasan seksual- sebagai hal yang diagung-agungkan, dan siapapun harus menjaminnya, termasuk negara dan institusi internasional. Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain.

Oleh karena itu, untuk menghentikan kejahatan atas nama HAM, tidak ada cara lain kecuali harus mengubah paradigma kebebasan dan standarisasi  dalam menentukan benar-salah.   Inilah upaya  preventifsebagai pencegahan yang mendasar.  Negara harus melakukan pencegahan yang bersifat komprehensif dan sistemis dalam semua bidang kehidupan.  Negara mesti  melarang infiltrasi, apalagi implementasi secara sadar pemahaman yang membahayakan ini.  Tentu saja dibutuhkan kedaulatan negara secara mutlak, kedigdayaan sebuah negara adidaya untuk bersikap tegas terhadap pemaksaan nilai-nilai HAM.  Sayangnya, tak satupun negara (muslim) mampu bersikap lantang menentang penjajahan atas nama HAM.  Hanya Khilafah Islamiyyah yang akan mampu mengambil posisi itu.

Bila Khilafah nanti akan berdiri, Departemen Luar Negeri  Khilafah akan membatalkan segala konvensi internasional yang membahayakan masyarakat.  Kebijakan luar negeri tersebut harus selaras dengan kebijakan yang berlaku di  dalam Negeri. Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, baik sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang berkepribadian Islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat; menerapkan sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; danmenerapkan sistem sanksi yang membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah.Jadi pencegahannya tidak sekedar memberi sanksi berat atau memberangus sarana dan media-media penyedia pornografi-pornoaksi saja.Hanya itulah solusi tuntas dalam memberantas kejahatan seksual yang menimpa anak-anak.  Karena, dalam negara  Khilafah, ketaqwaan individu bersinergi dengan kontrol melekat masyarakat dan penerapan komprehensif yang dilakukan negara.  Pilar-pilar itulah yang menjadi jaminan ketentraman dan keamanan setiap masyarakat, individu per individu, baik muslim ataupun non muslim. 

*diambil dari artikel penulis Pratma Julia S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar