Selasa, 17 Juni 2014

PENUTUPAN GANG DOLLY, DILEMATIS?




                Penutupan Gang Dolly tinggal beberapa saat lagi. Berbagai perlawanan terjadi ditengah riuhnya pro kontra capres cawapres. Maka persoalan gang Dolly ini sedikit banyak menjadi issu yang dipertimbangkan dalam pemihakan seseorang terhadap capres mereka. Dan memang persoalan ini menjadi pelik ketika urusannya bukan sekedar soal dosa pahala, namun lebih cenderung kepada implikasi ekonomi ribuan orang yang selama ini mengais rejeki di lokalisasi terbesar se Asia Tenggara itu. 
Adalah pemkot Surabaya yang menjadi tempat bernaungnya lokalisasi ini, merencanakan untuk menutup gang Dolly ini karena  dinilai bertentangan dengan perda no 7 tahun 1999, yang berisi aturan tentang  tidak diperbolehkannya menggunakan dan mendirikan bangunan untuk tujuan asusila.  Pemkot surabaya di bawah kepemimpinan Bu Risma berencana maka mengalihfungsikan lokalisasi prostitusi ini menjadi tempat penjualan produk kerajinan dgn menutup dan menegosiasi para PSK dan mucikari agar beralih usaha ke sektor yang lebih bermoral. Namun rencana penutupan ini menuai perlawanan dari warga setempat dengan alasan  pemkot belum menawarkan solusi kongkrit,  bahkan janji kompensasi pun belum terealisasi. Issu lain adalah tentang tidak sepadannya kompensasi yang diberikan oleh pemkot Surabaya jika dibandingkan dengan penghasilan para psk  selama ini. Layaknya sebuah berita, distorsipun terjadi, karena menurut pemkot Surabaya, banyak psk yang sengaja menolak pesangon alias mempersoalkan kompensasi biaya yang dberikan oleh pemkot. Mungkin  fenomena ini terasa ganjil, mengingat kita dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama, sedangkan prostitusi adalah haram dalam sudut pandang agama manapun.Bagaimana ini bisa terjadi, dan apa solusi yang seharusnya diberikan, tulisan sederhana ini berusaha mengupasnya.

Prostitusi menjadi lahan bisnis
Gang Dolly adalah potret  ketika kemaksiatan  telah menggurita menjadi menjadi kebutuhan dan kepentingan sebagian orang dan  sudah menjadi budaya yang dianggap biasa. Benar,jika dikatakan bahwa “kebiasan dan tingkah laku yang diulang ulang akan berubah menjadi aturan dalam sebuah masyarakat”. Mungkin pada awalnya prostitusi dianggap sebagai suatu hal yang tabu, namun  ketika sebuah kemaksiatan ini didiamkan dan  tidak dihadapi oleh kebaikan yang terorganisir, tidak ada yang berani mengingatkan, ia akan tumbuh meraksasa dan menjelma menjadi  kepentingan  dan kebutuhan tak terelakkan. Maka wajar ketika  ada wacana penutupan gang Dolly, yang protes terhadap kebijakan ini bukan hanya para pelaku seks bebas atau penghuninya namun juga para pedagang, pengusaha laundry, penjual baju dan lain lain di sekitar lokalisasi ini. Semua dianggap wajar dan sah, hingga ada kaidah  Ham, kaidah agama yang juga dijadikan dalil untuk menolak penutupannya. Begitulah kira kira fenomena gang Dolly. Ia tumbuh besar dan akarnya kemana mana, sulit mencerabutnya karena ibarat pohon ia sudah menjadi pohon tua yang meraksasa. Kepentingan  bisnis beromset besar sudah menjadi penopangnya sehingga sebagian orang bermodal ikut bermain untuk menghentikan rencana penutupannya. Maka alasan kesejahteraanpun menjadi lumrah menutupi sekian alasan bisnis lain yang sudah jamak diketahui khalayak.

Jika kepentingan  Ekonomi bebas nilai
Dalam sistem yang menganut kebebasan ala kapitalisi liberal, ekonomipun digerakkan oleh kuasa pasar, dan prinsip ekonomi, yakni memperoleh keuntungan sebesar- besarnya dengan pengorbanan sekecil kecilnya. Demikian pula berlaku asas manfaat yaitu nilai guna suatu barang /jasa ditentukan oleh permintaan pasar tanpa memperhatikan unsur lainnya.  Maka demikian halnya dengan prostitusi atau miras. Selama ada pihak yang merasakan adanya manfaatnya, dia akan tetap bertahan di pasar karena masih memiliki nilai. Dimana letak moral, agama dan iman? Jangan ditanya karena sistem ekonomi ini bukan buatan Tuhan tapi buatan manusia yang menganut asas kebebasan.  Sistem ini akan menjadi dilema apabila diterapkan dalam masyarakat muslim yang notabene mengenal konsep halal-haram dalam kehidupan. Yaitu bahwa hak hidup dan hak memiliki harta tidak boleh menghalalkan segala cara, dan bahwa barang dan jasa yang digunakan sebagai alat pemuas kebutuhan juga tidak boleh keluar dari koridor syariah. Apa yang akan terjadi?Tentu  saja akan terjadi gesekan dan tumbukan antara kepentingan agama dan motif ekonomi ini. Inilah sulitnya mempertemukan prinsip islam dengan prinsip liberal, karena pasti akan ada prinsip yang dikorbankan, dalam hal ini islam yang akan di marginalisasi.

Islam : Solusi tuntas
Jelas bahwa islam adalah agama sempurna yang aturannya tidak memerlukan intervensi sistem lain  termasuk kapitalistik. Intervensi ini justru  akan melemahkan ajarannya. Berbeda dengan kapitalistik yang memang merupakan  sistem hidup berorientasi duniawi, maka ia sangat mudah bergandengan dengan agama nasrani atau yahudi yang  lebih fokus terhadap aturan ibadah dan tidak memiliki aturan hidup yang khas. Hanya islam sekuler yang bisa bergandengan tangan dengan kapitalistik ini, karenanya nilai islam yang menyentuh aspek sosial akan tergusur.
Ketika Islam dipahami sebagaimana pandangan orientalis memahami agama, maka banyak sekali ajaran islam yang tidak bisa diterima dalam ranah sosial politik. Hanya ranah ritual dan sebagian akhlaq yang bisa diterapkan karena ia lebih bersifat privat. Sedangkan ranah publik tak tersentuh oleh Islam kecuali sebagian kecilnya saja. Oleh karena itu dalam kasus prostitusi yang terlokalisasi ini, nilai islam akan sulit bermain dan menjadi dilematis untuk diterapkan. Sebab, secara sosial prostitusi ini dianggap justru meminimalisir bahaya seks bebas dengan dikhususkannya pada lokal tertentu saja alias tidak tercecer di jalanan. Mungkin akan ada yang menggunkan kaidah fiqh “ memilih diantara dua keburukan yang paling ringan akibatnya”.  Padahal seharusnya sebagai sebuah bentuk pelnggaran syariah, prostitusi itu tidak boleh ditoleransi, masyarakat tidak boleh mencari nafkah dari jalan yang haram dan syubhat.
Kembali pada prinsip islam kaffah akan menjadi standar baku untuk mengenyahkan segala kemaksiatan bermotif ekonomi ini. Karenanya semua lini harus dirubah total. bukan hanya mencukupkan diri dengan penutupan lokalisasi. Hablumminallah, dalam hal ini memperbaiki aqidah dan meningkatkan kualitas ibadah masyarakat harus dilakukan.Hablum binafsih yaitu mengkonsumsi hanya makanan dan minuman halal, akhlak yang baik juga di benahi, dan tidak lupa hablumminannaas dalam segala aspek juga harus dirubah mengikuti syariah. Untuk itu peran individu yang bertaqwa, masyarakat yang cerdas dan peduli serta negara yang responsif  dan pemimpin transformatif sangat diperlukan . Islam itu rahmat bagi seluruh alam, bagi seluruh umat manusia, aturannya bersifat universal dan menghargai hak asasi manusia, maka ia cocok untuk segala jaman dan tempat. Dengannya, masyarakat  madani akan terbentuk. Bukan hanya lokalisasi ala gang Dolly yang bisa di atasi, tapi seluruh pemasalahan umat. Memang bukan perkara  mudah namun harus dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar