Jumat, 06 Juni 2014

KETERKAITAN ANTARA KEPENTINGAN SEKSIONAL TERHADAP POLITIK DEMOKRASI BESERTA ANALISIS KONTEKSTUALNYA



Sejak digulirkannya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara masif dan luas di Indonesia. Hampir semua negara di dunia meyakini demokrasi sebagai “ tolok ukur tak terbantahkan dari keabsahan politik”. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi.
Sistem politik demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Sistem politik demokrasi diyakini mampu menjamin hak kebebasan warga negara, membatasi kekuasaan pemerintahan dan memberikan keadilan.
Indonesia sejak awal berdiri sudah menjadikan demokrasi sebagai pilihan sistem politiknya. Namun pada perkembangannya, demokrasi di Indonesia mengalami masa pasang surut, sesuai dengan konteks zamannya. Landasan negara Indonesia sebagai negara demokrasi terdapat dalam :
a.                  Pembukaan UUD 1945 pada alenia 4 yaitu “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara RI yang terbentuk dalam suatu susunan Negara RI yang berkedaulatan rakyat….”
b.                  Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan UUD. 

Demokratisasi memang telah menjadi isu global, namun demikian, masa depan demokrasi bergantung pada persyaratan – persyaratan agar ia tetap eksis. Faktanya, Praktek politik yang terjadi menyimpang dan jauh dari cita – cita demokrasi. Berbagai konflik dalam proses demokratisasi politik terjadi, diantaranya adalah menggejalanya kepentingan seksional yang memengaruhi corak dan warna politik demokrasi.

Antara Kepentingan Seksional dan Politik demokrasi
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki.
Duane Swank, Ph.D menyatakan,” Democracy is a form of government,  a way of life, a goal or ideal and a political philosophy. The term also refers to a country that has a democratic form of government. The word “democracy” means rule by the people. United States President, Abraham Lincoln described such self government as government of the people, by the people, for the people[1].
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada  abad pertengahan Eropa, Era pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat maupun Revolusi Perancis.
        Menurut Hennry B. Mayo, sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil – wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan – pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Menurut Samuel Huntington, sistem politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Secara substantif, prinsip utama dalam demokrasi ada dua, yaitu kebebasan / persamaan (freedom / equality) dan kedaulatan rakyat (people’s sovereignity). Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari penguasa. Jadi, bagian tak terpisahkan dari ide kebebasan adalah pembatasan kekuasaan penguasa politik. Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi kebebasan warganya sekaligus memberi tugas pemerintah untuk menjamin kebebasan tersebut. Demokrasi pada dasarnya merupakan pelembagaan dari kebebasan.
.Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Kepentingan seksional adalah kepentingan yang mengutamakan diri dan segelintir orang terdekat, berakar kuat pada imajinasi elitisme identitas dan hasrat kekayaan. Elitisme identitas merupakan posisi istimewa dalam struktur sosial, diperoleh melalui justifikasi moral historis seperti trah raja atau tokoh besar ( Novri Susan, Distorsi Kekuasaan Demokratis). Kepentingan seksional juga bisa direpresentasikan oleh dominasi kelompok elite kapital besar atau partai politik yang bekerja dan mengabdi pada kepentingan mereka sendiri dan menafikkan kepentingan publik.
Tidak bisa dipungkiri, di era demokratisasi saat ini politik kepentingan seolah seperti rumput dalam rumpun padi. Dia seperti gulma politik dalam pesemaian demokrasi yang sedang digadang-gadang masyarakat sebagai gambaran politik ideal di negeri ini. Nilai nilai ideal demokrasi nyaris tak menemukan fakta idealnya, karena kepentingan seksional mendominasi ranah praktis perpolitikan.
Dalam ide politik demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, namun faktanya kekuasaan rakyat yang diwakilkan kepada para anggota legislatif maupun eksekutif ini seringkali dibajak dengan money politics, yang kemudian ketika sang wakil telah berkuasa, kepentingan dan hak-hak rakyat diabaikan bahkan mereka sibuk memakmurkan orang-orang terdekatnya, keluarganya atau kepentingan partai dan perusahaannya. Keadaan ini diperparah dengan dipeliharanya pembodohan politik sehingga dimana-mana menggejala floating mass agar suara mereka mudah dibeli dengan selembar dua lembar rupiah. Adapun pada kalangan yang melek politik, sebagian terjebak pada sikap apatis kepada parpol yang menyebabkan meningkatnya jumlah golput, meskipun tidak bisa dipukul rata bahwa golput berarti apatis.
Demikian pula ketika ada idealisme pada beberapa tokoh grass root untuk mewakili kepentingan rakyat, mereka terjebak pada birokrasi perpolitikan yang sarat kapital, di level pusat hingga level daerah. Akibatnya para tokoh ini melakukan kompromi- kompromi politik untuk bisa naik ke jabatan yang diinginkan baik di legislatif maupun eksekutif, yang ujungnya adalah mengabdi kepada kepentingan seksional para pemilik modal dan partai yang mensponsorinya. Apa jadinya jika seorang pemimpin/wakil rakyat/birokrat bukan memperjuangkan rakyat, tapi memperjuangkan kepentingan seksional pemodal dan parpol? Mungkinkah kesejahteraan yang menjadi hak rakyat bisa dipenuhi?
Maka clear, pendidikan politik menjadi kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah ini. Rakyat yang selama ini termarginalisasi dalam proses pembangunan, harus dibina dengan pendidikan politik yang masif. Pendidikan politik yang dimaksud bukan hanya sebatas memahamkan mereka terhadap proses pemilu agar tidak salah memilih wakil, namun juga mencakup pemahaman tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, dan kewajiban mereka untuk ikut mengawal proses legislasi kebijakan  pemerintah. Disamping itu konsolidasi dikalangan para tokoh akar rumput yang menyadari pentingnya memenuhi hak -hak rakyat sangat dibutuhkan agar terbentuk kekuatan yang berbasis dan berpihak pada kepentingan publik.Kekuatan ini akan menjadi harapan baru bagi masyarakat.


Analisis Kontekstual Pengaruh Kepentingan seksional terhadap Politik demokrasi pada Ranah Lokal
Kasus terkait kebijakan publik yang mengabdi pada kepentingan seksional yang saya angkat dalam artikel ini adalah pemberlakuan UU BPJS untuk mereformasi kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. BPJS adalah  lembaga yang dibentuk  berdasarkan  UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).  BPJS menjadi lembaga  superbody yang memiliki kewenangan  luar biasa di negara ini untuk mengambil dana dari  rakyat.

Tidak hanya kepada para buruh, tapi sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia.  Kedua UU tersebut  mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004  pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan  berdasarkan prinsip asuransi sosial.            

Pada faktanya, UU BPJS dan SJSN  ini memaksa rakyat sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memaksa, karena UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi. Maka patut dikritisi  jika dikatakan bahwa UU  ini akan  membawa  kesejahteraan bagi  rakyat. Sebaliknya rakyat akan  terbebani oleh kewajiban yang ditetapkan oleh UU tersebut.

Kedua undang-undang tersebut  akan mengokohkan  hak sosial rakyat yaitu terjaminnya kesehatan yang menjadi kebutuhan pokok ( dlaruriyah) yang berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan aturan ini akan mengeksploitasi rakyat demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditas bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual.Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, di mana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan  kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan  usaha asuransi.       

Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia.Institusi bisnis asuransi multinasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b di mana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi.Maka sudah seharusnya, pemerintah dan DPR mencabut kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Sebuah bukti nyata bahwa kepentingan seksional mengaburkan prinsip politik demokrasi yang mengutamakan kepentingan publik.- ( disusun untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Ilmu Politik)


[1] Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu-ilmu Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar