Jumat, 30 Mei 2014

BUKAN SEKEDAR REVISI UNDANG-UNDANG PA



Setahun lalu, tepatnya pada bulan Desember 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)telah  menetapkan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual.  Ketua KPAI saat itu -Badriyah Fayumi- mengatakan kekerasan seksual  telahberada pada titik yang sangat sadis dan di luar nalar sehat.Sejak tahun 2010, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.
Setengah tahun berlalu, pencanangan itu justru menuai ironi.   Kasus kekerasan seksual pada anak-anak Indonesia  makin mengerikan.  Laporan kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) sepanjang tiga bulan pertama tahun 2014 sebanyak 252 kasus.Arist Merdeka Sirait –Ketua Komnas PA- mengungkapkan  42 sampai 62 persen di antara kasus kekerasan anak terlapor adalah kekerasan seksual.

Peningkatan kasus hari per hari menumbuhkan keprihatinan yang sangat.Hampir semua pihak menganggap kasus berulang karena hukuman bagi pelaku kejahatan itu tidak mampu memberi efek jera. Mayoritas solusi mengerucut pada keinginan untukmerevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, merevisi UU memang sangat diperlukan atas desakan  masyarakat.   Impelentasi hukuman maksimal 15 tahun bagi penjahat pedofilia tidak pernah dipergunakan, bahkan mereka juga merasakan remisi sehingga hanya menjalani hukuman 5-6 tahun.

Hukum positif yang diberlakukan di negri ini memang dianggap tidak mewakili kebutuhan masyarakat.Maklum, pasal 289 KUHP hanya mengancam pelaku kekerasan yang memaksa seseorang untuk melakukan ataumenyerang kesusilaan, hanya diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.Bahkan pasal 290 KUHP hanya mengancam  pidana paling lama 7 tahun.  Sedangkan ketentuan pidana terhadap kejahatan seksual yang tertuang pada pasal 81 sampai 82 dalam UU PA  menjatuhkan penjara 3-15 tahun dan denda dari Rp 60 juta hingga 300juta rupiah.

Untuk sementara ini, masyarakat menganggap revisi UU PA memang baru bermain di tataran penghukuman berat bagi pelaku kejahatan.  Kegeraman publik hanya berujung pada penambahan masa hukuman, mewacanakan hukuman mati,suntik hormon antiandrogen-untuk melemahkan hormon testoteron sehingga hasrat seksual pelaku akan menurun bahkan hilang - atau “cap khusus”  pada tubuh penjahat pedofilia. Namun  sayangnya, tawaran-tawaran solusi itu dikuatirkan tidak akan mampu menyelesaikan masalah kejahatan seksual secara tuntas. Seperti biasanya, pemerintah dan mayoritas publik baru bereaksi setelah kasus membesar dan menguatirkan.  Pencegahan terhadap berbagai masalah sosial, khususnya kejahatan seksual sering kali diabaikan.Tentu setiap pihak ingin agar kasus-kasus semacam ini selesai dengan tuntas.Agar tak berulang, jelas dibutuhkan pembacaan yang jeli dan tepat untuk mengurai permasalahan.Masalahnya, ternyata visi mendasar dari UU PA turut berperan secara tidak langsung dalam menumbuhkan perilaku bebas (liberal) dalam memandang masalah seksual. 

Indonesia Darurat Liberalisme 

Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Hotman M. Siahaan menyatakan bahwa kekerasan seksual terjadi akibat kondisi anomi dalam masyarakat.Kondisi anomi adalah kondisi masyarakat yang tidak stabil akibat runtuhnya nilai dan norma sehingga individu kehilangan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.  Keyakinan terhadap norma dan nilai cenderung tergerus danmasyarakat  mulai mengejar apapun yang memberi harapan (kompas, 13/5/2014).  

Fatalnya, Hotman menambahkan, kondisi anomi ini diperkuat hal lain, termasuk ketiadaan kontrol informasi dan media.Beberapa agresivitas pelaku kejahatan seksual ternyata diinspirasi oleh tayangan  porno pelecehan seksual yang yang sumbernya  berasal dari sinetron, iklan, infotainment, maupun video klip.  Karena itu berbagai pihak, termasuk KPAI mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk memerangi kejahatan seksual, khususnya pada anak dan memerangi seluruh pemicunya, seperti pornografi, seks bebas, perbuatan cabul, homoseksual dan perilaku seks menyimpang lainnya.

Namun semua itu tidak mungkin terselesaikan secara tuntas mengingat kondisi anomi, kebebasan informasi bahkan kebebasan seksual justru berakar pada liberalisme.Liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu sehingga paham ini menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.  Karena itu, liberalisme akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi, disebabkan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.Demokrasi memuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan HAM merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis  pasti menjaga konsistensi  ‘penghormatan’ terhadap HAM.

Realitas inilah yang sedang terjadi di Indonesia.Nilai HAM menjadi komoditas penting yang bahkan menjadi rencana strategis negara dalam kerangka demokratisasi.Keseriusan pemerintah dalam promosi dan perlindungan HAM difokuskan pada tiga bidang.Pertama, memperkuat kerangka kerja legislatif di bidang HAM.Kedua, mengembangkan kerangka kerja institusional untuk perlindungan dan promosi HAM, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional.Ketiga, memperkuat kerjasama dengan semua pihak yang terkait dalam promosi dan perlindungan HAM, seperti  bermitradengan masyarakat sipil yang dinamis dan media massa yang bebas dalam memajukan HAM.

Pada poin pertama, UU PA menjadi salah satu perangkat legal formal bagi implementasi nilai-nilai HAM, khususnya hak asasi anak-anak.Bahkan sejak 2008 pemerintah telah mengadopsi ratifikasi protokol-protokol opsional dari Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Karena itu filosofi tentang HAM tampak jelas pada latar belakang legalisasi UU ini.Pemerintah mengklaim akan melakukan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.  Dan negaramemberikan jaminan terhadap  pemenuhan hak-hak mereka dan menjamin perlakuan tanpa diskriminasi.

Semua itu justru menguatkan agenda liberalisasi dalam membentuk karakter anak, sebagai generasi harapan bangsa.Apalagi rujukan untuk membuat UU PA di antaranya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of DiscriminationAgainst Women/CEDAW) dan  Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).  Sungguh tidak bisa dinafikan bahwa visi HAM adalah visi liberal yang membebaskan manusia berpikir, bertindak dan berperilaku dengan satu catatan : tidak merugikan orang lain.  Padahal paradigma ‘tidak merugikan orang lain’ makin bias, bahkan hanya dianggap begitu jika ukurannya sesuai paradigma sekularis liberal.  Maka ketika nilai-nilai Barat universal yang dijadikanfilosofi penyusunan UU PA, tak dapat dipungkiri jika hal itu justru ‘melegalkan’  liberalisasi yang menjadi tertuduh utama penyebab kejahatan seksual.

Muatan Liberal dalam UU PA 

Pendekatan liberal memang sengaja dilakukan oleh pengusung liberalism, termasuk dalam pembentukan karakter generasi masa depan.  Mereka berdalih,  konsep kebebasan dalam mendidik generasi merupakan hal yang sangat penting karena anak adalah  pelaku aktif ,  bukan obyek yang diperintah dan diatur seenaknya oleh orang tua, guru, pemuka agama atau pemerintah.  Karena itu kebebasan individu anak dalam proses  perkembangannya mesti dijamin.  Mereka menganggap pendidikan konservatif membuat individu-individu  menjadi kurang progresif, kurang aktif dan selalu gamang  dalam menentukan dan menjawab tuntutan zaman.

Pasal 1 UU PA ayat 1 mengakomodir paham itu dengan menyatakan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan  dandiskriminasi”.   Teks ayat 2  pasal 1 makin mengguatkan prinsip dasar UU itu dengan menegaskan “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.”  

Walaupun jika ditelaah secara keseluruhan, pasal-pasal dalam UU PA masih ‘sewarna dengan muatan lokal Indonesia’, namun tidak dapat dinafikan bahwa kelahiran UU PA menjadi konsekuensi yang harus dilakukan Indonesia karena telah meratifikasi kovenan liberal seperti  CEDAW dan Konvensi Hak Anak PBB.   Karena itu prinsip-prinsip dasar HAM seperti  non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan  serta penghargaan terhadap pendapat anakdituangkan pada  ayat 12 pasal 2yang sekaligus menjadi  amanat Konvensi Hak-Hak Anak.

UU ini menegaskan  sekali lagi bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif, termasuk  karena perbedaan ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, suku bangsa, latar belakang sosial atau politik, status lahir atau karena keterbelakangan fisik atau mental (pasal 13).Bahkan mereka perlu mendapatkan pendidikan pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi (pasal 50).Bahkan UU ini menegaskan jaminan anak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (pasal 16). Frasa ‘perlindungan dari diskriminasi’atau penghargaan terhadap ‘hak asasi’ diulang beberapa kali untuk menegaskan semangat ‘yang membebaskan’, yakni  liberalisasi.  Tujuannya, bila seorang anak terbiasa untuk tidak didiskriminasi/dibedakan, dia akan berkembang menjadi pribadi yang terbuka dan penuh toleransi terhadap semua perbedaan.  Kelak dalam pergaulan sosial, sikap dan perbuatannya  melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau yang tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.  Dia akan tumbuh menjadi karakter yang moderat, pluralis dan toleran, sebagai antitesa karakter konservatif, fundamentalis dan intoleran.
 
Generasi seperti itulah yang diharapkan lahir dari rahim ibu pertiwi  dengan penduduk muslim terbesar sedunia sebagaimana rancangan Barat.  RAND Corporation–sebuah lembaga think tank yang dilibatkan pemerintah Amerika Serikat dalam proyek penanganan terorisme- telah menerbitkan hasil penelitian yang berjudul Building Moderate Muslim Network (2007) yang terfokus untuk menciptakan "Jaringan Muslim Moderat" di berbagai belahan dunia.  Tujuannya untuk meredam, meminimalisir, bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai "ekstremis/ radikal Islam" dan menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat.  Untuk itu dikembangkan karakter Islam moderat, yang menurutRAND adalah Muslim yang mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM -termasuk kesetaraan jender, keberadaan kelompok LGBTI dan kebebasan beragama-, menghormati sumber hukum yang non sektarian, dan menentang terorisme.Bukankah karakter itu sejalan dengan semangat kelahiran UU PA?

Saat ini dunia internasional amat gencar mengampanyekan kebebasan tingkah laku, termasuk  sepertiyang dilakukan UNWomen.  Institusi gender PBB itu sebagaimana lembaga pluralis di Barat, setiap tanggal 17 Meimemperingati  Hari Internasional Melawan Homophobia dan Transphobia yang dimaksudkan untuk  menuju kesetaraan dan kebebasan untuk Lesbian , Gay , Biseksual , Transgender dan Interseks (LGBTI).  Tidak aneh jika Indonesia juga diarahkan menjadi seperti mereka, toh Indonesia terkenal sebagai bangsa yang amat lentur dalam menerima cara hidup apapun.  Apalagi jika moderasi dalam bersikap sudah dibina sejak masa kanak-kanak.  Kelak ketika dewasa mereka akan terbiasa untuk menerima kelompok ganjil (querr) itu.  Kalau  kelompok ‘yang dianggap sebagai pendosa oleh agamanya’ saja bisa mereka terima, apalagi jika sekedar menerima kebebasan berpakaian, budaya pergaulan bebas antar laki-laki perempuan, atau produk ‘budaya’ seperti film, iklan, novel, dan produk-produk lain yang secara Islam mengandung materi pornografi dan pornoaksi.

Bila masyarakat berkembang demikian, lalu dimana aspek pencegahan yang seharusnya menjadi aksi pertama bagi pemerintah dan kelompok sipil dalam masyarakat?  Sayangnya, karena standar berpikir dan bertindak mereka adalah ideologi kebebasan, maka seakan-akan mereka menjadihipokrit : mengutuk habis-habisan perilaku pedofilia namun ‘membolehkan’ perilaku homo jika dilakukan suka sama suka.

Sebenarnya, hipokrisi juga terjadi pada hal mendasar, yakni dalam mendefinisikan anak. Pasal 1 dalam bab I Ketentuan Umum menyatakan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Padahal dalam hukum fiqh islam, definisi anak tidak tergantung pada usia, namun terkait dengan status baligh seseorang yang ditentukan oleh ihtilam bagi laki-laki dan haidl bagi perempuan.  Klausul itudiperkuat lagidalam pasal 26 ayat 1 yang mengharuskan  orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk  mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.  Artinya, UU PA melarang perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun walaupun anak dan orang tuanya melakukannya karena dorongan keimanan.

Nyatanya, Barat tidak hanya mendiskriminasikan (definisi  anak dalam khazanah) fiqh Islam, namun dalam maksud itu tercium aroma kapitalistik yang sangat kuat.  Barat telah menyiapkan perangkat, termasuk aspek legal formal dalam undang-undang, demi ketersediaan SDM dalam industri mereka.Karena itu membiarkan perkawinan di bawah usia 18, akan membawa akibat terhentinya proses pendidikan formal dan selanjutnya proses perekrutan tenaga kerja.  Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi dunia usaha karena menyusutkan ketersediaan potensi tenaga kerja.Apalagi tenaga kerja perempuan terbukti lebih menguntungkan daripada laki-laki.  Karena itu dokumen CEDAW, BPfA dan kesepatan-kesepakatan terbaru lainnya  -termasuk pencanangan “Hari Malala setiap 12 Juli”- menganggap perkawinan anak adalah bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan dan harus dihentikan.

Itulah yang mendasari laporan bertajuk Voice and Agency: Empowering Women and Girls for Shared Prosperity  yang dikeluarkanBank Dunia bersama  Mantan Menlu AS Hillary Clinton, dan Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo- Ngcuka pada tanggal 14 Mei 2014.Laporan itu menyebutkan bahwa sekitar 65 persen perempuan yang hanya mendapat pendidikan dasar atau kurang dari itu dinikahkan saat masih anak-anak  akanmengalami kemiskinan.  Laporan itu juga menunjukkan bahwa perempuan yang mendapatkan pendidikan yang tinggi atau lebih baik akan cenderung untuk tidak lekas-lekas menikah dan memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Tentu saja premis yang mereka buat mendukung aksi penolakan terhadap pernikahan dini sekaligus menuntut perluasan akses pendidikan.Hal itu sejalan dengan pasal 53 ayat 1UU PA yang membebankan tanggung jawab kepada  pemerintah untuk memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.  Tujuannya tidak hanya ‘menggugurkan’ kewajiban sebagai pemerintah, namun lebih dari itu adalah menjamin ketersediaan SDM demi industri masa depan.  Inilah liberalisasi jenis lain : liberalisasi ekonomi yang menyasar kebutuhan pokok industri sejak masa kanak-kanak.

Hentikan Kejahatan Atas Nama HAM

Tak henti-hentinya Indonesia didera malapetaka yang mengancam pembentukan generasi.Akar masalah sebenarnya jelas mengerucut pada praktek-praktek liberal yang menjadi strategi pokok kapitalis untuk menyebarkan ideologinya.  Setahap demi setahap mereka meliberalkan generasi masa depan, wa bil khusus anak-anak kaum muslimin untuk menjadi pengekornya.  Atas nama HAM, kebebasan berkeyakinan, berbicara  dan bertindak menjadi kelaziman.

Pemerintah juga diberondong dengan keharusan melaporkan kemajuan pelaksanaan HAM di tingkat nasional hingga lokal.Yang terakhir adalah dialog interaktif pembahasan laporan inisial dan periodik pertama Indonesia terkait implementasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) dengan Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya selaku treaty body/badan pemantau ICESCR di Jenewa pada tanggal 1 Mei 2014. Komite itu mencatat masih banyak tantangan yang dihadapi Indonesia,  baik terkait dengan kerangka hukum, kebijakan ataupun kapasitas negara.  Karena itu pemerintah harus meningkatkan pemenuhan hak-hak sesuai dengan ketentuan Kovenan.Wajar jika keinginan melakukan revisi UU PA menguat karena UU itu masih dipandang perlu ditingkatkan agar memenuhi hak asasi anak-anak.

Ide Liberalisasi yang mengatasnamakan HAM, tidak hanya membahayakan keimanan dan keterikatan terhadap hukum syariat, namun juga mengancam keamanan dan ketentraman dalam masyarakat.  Disadari atau tidak, ide ini akan membentuk tatanan masyarakat ala Barat dengan karakter kehidupan sosial yang individualistis, hedonis dan pragmatis.  Jangan salah jika akan tercipta manusia-manusia  liberalyang menjadikan kebebasan individu -termasuk didalamnya kebebasan seksual- sebagai hal yang diagung-agungkan, dan siapapun harus menjaminnya, termasuk negara dan institusi internasional. Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain.

Oleh karena itu, untuk menghentikan kejahatan atas nama HAM, tidak ada cara lain kecuali harus mengubah paradigma kebebasan dan standarisasi  dalam menentukan benar-salah.   Inilah upaya  preventifsebagai pencegahan yang mendasar.  Negara harus melakukan pencegahan yang bersifat komprehensif dan sistemis dalam semua bidang kehidupan.  Negara mesti  melarang infiltrasi, apalagi implementasi secara sadar pemahaman yang membahayakan ini.  Tentu saja dibutuhkan kedaulatan negara secara mutlak, kedigdayaan sebuah negara adidaya untuk bersikap tegas terhadap pemaksaan nilai-nilai HAM.  Sayangnya, tak satupun negara (muslim) mampu bersikap lantang menentang penjajahan atas nama HAM.  Hanya Khilafah Islamiyyah yang akan mampu mengambil posisi itu.

Bila Khilafah nanti akan berdiri, Departemen Luar Negeri  Khilafah akan membatalkan segala konvensi internasional yang membahayakan masyarakat.  Kebijakan luar negeri tersebut harus selaras dengan kebijakan yang berlaku di  dalam Negeri. Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, baik sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang berkepribadian Islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat; menerapkan sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; danmenerapkan sistem sanksi yang membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah.Jadi pencegahannya tidak sekedar memberi sanksi berat atau memberangus sarana dan media-media penyedia pornografi-pornoaksi saja.Hanya itulah solusi tuntas dalam memberantas kejahatan seksual yang menimpa anak-anak.  Karena, dalam negara  Khilafah, ketaqwaan individu bersinergi dengan kontrol melekat masyarakat dan penerapan komprehensif yang dilakukan negara.  Pilar-pilar itulah yang menjadi jaminan ketentraman dan keamanan setiap masyarakat, individu per individu, baik muslim ataupun non muslim. 

*diambil dari artikel penulis Pratma Julia S

Kamis, 29 Mei 2014

PELAJAR DIPLOMAT: BRAIN WASHING?



Bagi pelajar, menjadi diplomat adalah sesuatu yang membanggakan. Betapa tidak untuk kondisi sekarang, selain dianggap keren, diplomat termasuk profesi yang menguntungkan dari sisi materi. Apalagi saat ini semakin banyak penawaran beasiswa dan kursus-kursus untuk jurusan ini yang diinisiasi secara langsung oleh Kementrian Luar Negeri.
Tahun lalu misalnya, kegiatan diplomasi publik goes to school yang dilaksanakan di Semarang telah menyedot perhatian 240 peserta yang terdiri dari kalangan pelajar dan guru SMA se-Jawa Tengah, para mahasiswa se-Jawa Tengah, dan akademisi Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro Semarang. Kegiatan besar ini terselenggara atas kerjasama Kementerian Luar Negeri RI c.q. Direktorat Diplomasi Publik dengan SMAN 3 Semarang dan FISIP Universitas Diponegoro Semarang.
Sementara di Jakarta, Junior Short Diplomatic Course yang diadakan oleh Universitas Budi Luhur bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri RI, c.q. Ditjen IDP pada 6 Mei 2014 juga telah menarik perhatian 200 peserta SMA se-Jabodetabek. Dalam kursus ini para pelajar diberi kesempatan untuk melakoni peran sebagai presidents, ministers for foreign affairs, delegates, dan co-chair. Selain belajar menyampaikan statements, rights of reply, arguments dan counter-arguments secara elegan dalam bahasa Inggris, para pelajar juga mempelajari tata cara persidangan, menejemen waktu dan protokol simulasi sidang.
Di tahun ini pula, pemerintah Indonesia akan mengirimkan 21 pelajar dan mahasiswa berprestasi sebagai  peserta program "Outstanding Students for the World" ke AS. “Mulai 2 hingga 19 November nanti, mereka akan dikirim ke AS untuk bertemu, berdiskusi dan melakukan presentasi di sekolah-sekolah, universitas, markas besar PBB dan sejumlah lembaga di AS” demikian tutur Direktur Diplomasi Publik Kemlu, Kusuma Habir. Tiga hari sebelum berangkat ke AS, para peserta akan mengikuti pembekalan/orientasi dalam negeri.
Di AS, mereka mendapatkan kesempatan untuk melakukan presentasi ilmiah di beberapa sekolah/ universitas di AS, melihat praktik diplomasi di beberapa perwakilan di AS termasuk di Markas besar PBB di New York dan diskusi interaktif dengan  beberapa institusi Pemerintah (Departemen Luar negeri, dan Departemen Pendidikan AS). Mereka juga diagendakan untuk beraudiensi dengan "Indonesia Caucus" di Parlemen AS, mengunjungi Museum NASA/Smithsonian dan mengikuti  kuliah mengenai Kepemudaan/Pendidikan di Markas Besar PBB New York. Selain itu, mereka akan mengunjungi beberapa Universitas ternama di Boston (Harvard, MIT, dan Tufts), dialog interaktif di beberapa sekolah di Pittsburgh, dan berkunjung ke Silicon Valley dan markas besar Apple /Google di San Fransisco. (http://www.dnaberita.com/berita-47049-konstituen-diplomasi-di-kalangan-muda-kemlu-kirim-21-pelajar-berprestasi-ke-as.html)

Pelajar Berdiplomasi: Dari Aksi Hingga Substansi

Gencarnya sosialisasi pemerintah terhadap diplomasi publik ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Bukannya tanpa sebab, pasalnya sosialisasi ini menjadi lebih deras arusnya pasca kedatangan Obama ke Indonesia tahun 2012 silam. Tanggal 13 Desember 2012, Direktur Eksekutif AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation), Mike McCoy, dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri Indonesia (Pusdiklat KEMLU) Huzairin Pohan, telah menandatangani perjanjian baru untuk mendukung beasiswa pendidikan tingkat tinggi. Kemitraan dalam bidang pendidikan tingkat tinggi ini mencerminkan komitmen jangka panjang Presiden Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperluas, mempererat, dan meningkatkan pertukaran pelajar antara AS dan Indonesia. (http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/embnews_19122012.html)
Pendidikan merupakan  ikatan yang senantiasa mempererat hubungan antara AS dan Indonesia. Dubes AS saat itu, Scot Marciel, menguatkan hal ini. Dia menyatakan program ini adalah wujud kerjasama peningkatan hubungan antar masyarakat di kedua negara. Marciel menuturkan bahwa hubungan antar masyarakat, terutama di bidang pendidikan, menjadi prioritas AS.  Ditambahkan, keyakinannya program ini akan dapat meningkatkan pemahaman antara masyarakat AS dan Indonesia. (http://www.dnaberita.com/berita-47049-konstituen-diplomasi-di-kalangan-muda-kemlu-kirim-21-pelajar-berprestasi-ke-as.html)
Namun sayangnya, pendidikan yang menjadi prioritas AS ini bukanlah untuk memajukan bangsa Indonesia atau membantu pemuda Indonesia agar lebih pandai dan cerdas. Sebab yang menjadi prioritas AS adalah pendidikan yang mengandung upaya untuk transformasi nilai antar bangsa. Sementara pendidikan diluar itu seperti teknologi tidak menjadi prioritas AS untuk melakukan pertukaran pelajar dengan Indonesia.
Ini terlihat pada fakta yang terjadi. Mayoritas negara memahami diplomasi sebagai  seni, teknik, dan cara bagaimana kita mengadakan pendekatan atau perundingan (negosiasi) untuk memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara dan langkah-langkah yang diambil untuk mengamankan kepentingan tersebut, disamping membina hubungan dan kerjasama yang baik dengan negara-negara lain (Prof. Dr. Boer Mauna, 2002). Sehingga karena memahaminya seperti diatas, mayoritas melihat diplomasi publik yang dikembangkan pemerintah saat ini adalah suatu hal yang positif. Apalagi jika dikaitkan dengan fakta di lapangan dimana para pelajar diminta untuk mempromosikan kesenian daerah, kuliner khas suatu daerah bahkan menggunakan batik dan mengajarkan bahasa Indonesia untuk mempromosikan Indonesia ke kancah internasional.
Nyatanya, disisi lain para pelajar diplomat dianjurkan (baca: dipaksa) untuk mempromosikan Indonesia dengan citra sebagai negara yang demokratis, negara dengan mayoritas muslim moderat dan negara pluralistik. Diplomasi dengan tiga ciri itu ternyata tidak bergerak di ruang kosong, namun dikembangkan justru ditengah masyarakat yang sedang bertransformasi menjadi lebih transparan dan partisipasif. (Herning Suryo, Total Diplomasi dan Pencitraan Indonesia, Transformasi vol. XIV no 22 tahun 2012)
Tiga ciri inilah yang sebenarnya menjadi prioritas AS untuk mentransformasikan  nilai-nilai Barat ke Indonesia. Artinya mindset para pelajar ini dibentuk agar mereka melihat negaranya dengan sudut pandang demokrasi, pluralisme dan moderat. Aksi-aksi yang ditampilkan dalam kompetisi, menunjukkan indikasi ini dengan sangat jelas, bagaimana para pelajar harus berbicara dengan bahasa dan gaya mereka, cara memberi counter terhadap pendapat yang berbeda, melakukan persidangan seperti kebiasaan mereka dan sebagainya. Kemudian ini diperkuat dengan kunjungan ke berbagai tempat yang dianggap sebagai representasi dari AS.
Fakta-fakta diatas jelas menunjukkan bahwa diplomasi yang dikembangkan dalam pertukaran pelajar, baik dari sisi substansi maupun aksinya, ternyata mengandung unsur –unsur yang mengarah pada pencucian otak para pelajar.  Sehingga kelak mereka akan menjadi boneka AS yang ditanam di negerinya sendiri.

Diplomasi Publik: Strategi AS Menguasai Kaum Muslimin
Dalam sebuah dokumen yang berjudul Changing Minds Winning Peace: a new strategic direction for u.s. public diplomacy in the arab & muslim world, terlihat dengan jelas bahwa diplomasi publik adalah strategi terbaru AS untuk mendominasi kaum muslimin yang ada di negara-negara berkembang dan Timur Tengah. Dalam dokumen itu disebutkan pada halaman 13 bahwa
First and foremost, public diplomacy requires a new strategic direction informed by a seriousness and commitment that matches the gravity of our approach to national defense and traditional state-to-state diplomacy. This commitment must be led by the political will of the President and Congress and fueled by augmented financial and human resources.
Ini menunjukkan bahwa diplomasi publik yang dikembangkan saat ini adalah program unggulan yang sengaja dirancang untuk diterapkan di negara-negara muslim dan Arab, termasuk Indonesia. Dan skenario ini telah berjalan dengan mulus tanpa halangan yang berarti. Komprehensif partnership yang disepakati oleh Obama dan SBY beberapa tahun yang lalu menjadi salah satu pintu masuk dari program ini. Kemitraan ini memang menunjukkan adanya political will dari penguasa kedua negara ini. Berarti program yang digulirkan ke Indonesia ini, khususnya bidang pendidikan, harus dibaca sebagai sebuah program yang sudah di desain agar Indonesia masuk dalam perangkap AS.
AS sendiri telah melihat bahwa pendidikan adalah salah satu celah untuk mentransformasikan nilai-nilai yang diinginkannya. Maka upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai Barat ini dilakukan dengan perombakan pada kurikulum. Sejak tahun 2003 ada beberapa kali perubahan kurikulum, yakni kurikulum CBSA-KBK tahun 2004, kemudian berganti menjadi KTSP pada tahun 2006, dan terakhir kurikulum 2013. Disebutkan dalam dokumen itu pada halaman 14.
The most effective programs of public diplomacy - the ones most likely to endure and have  long-term impact - are those that are mutually beneficial to the United States and to the Arab and Muslim countries. We urge that care be taken to emphasize programs that build bridges and address the regions weaknesses, especially in education, while at the same time advancing the American message and building a constituency of friendship and trust
Indonesia menjadi sasaran empuk AS. Sebab selain memiliki kelemahan di bidang pendidikan, AS memiliki kepentingan terhadap populasi muslim di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang didominasi muslim ini ternyata sangat mempengaruhi opini dunia.  Jika Indonesia berani bersuara menentang AS dengan kemampuan opininya ini, pastilah AS akan semakin jatuh di mata dunia internasional. Itulah sebabnya mengapa AS sangat gencar menyetir penguasa Indonesia. Analisa ini didasarkan pernyataan dalam dokumen tersebut pada halaman 19 yang menyebutkan,
The bottom has indeed fallen out of support for the United States. In Indonesia, the country with the largest Muslim population in the world, only 15 percent view the United States favorably, compared with 61 percent in early 2002. In Saudi Arabia, according to a Gallup poll, only 7 percent had a very favorable view of the U.S. while 49 percent had a ve ry unfavorable view. In Turkey, a secular Muslim, non-Arab democracy that is a stalwart member of NATO and a longtime supporter of America, favorable opinion toward the U.S. dropped from 52 percent three years ago to 15 percent in the spring of 2003, according to the Pew Research Center. The problem is not limited to the Arab and Muslim world. In Spain, an ally in the war in Iraq, 3 percent had a very favorable view of the United States while 39 percent had a very unfavorable view.
Disisi lain, secara ekonomi, AS akan kehilangan pasar yang besar jika negara-negara muslim dan arab tidak lagi merasa diuntungkan dengan keberadaan AS. Ketakutan inilah yang menyebabkan AS mengubah strateginya menjadi lebih soft. Dan AS menyasar kalangan muda, karena di masa depan kalangan muda inilah yang akan melanjutkan kepemimpinan di negara-negara muslim dan Arab. Sungguh ini adalah sebuah strategi yang harus dipahami dengan benar oleh generasi muda muslim.
Transformasi nila-nilai Barat dalam diplomasi publik menjadi tidak terbantahkan ketika jelas disebutkan di halaman 23 dokumen tersebut sebagai berikut:
Unlike powerful nations of the past, the United States does not seek to conquer but to spread universal ideals: liberty, democracy, human rights, equality for women and minorities, prosperity, and the rule of law. Specifically, according to our values and principles, the American vision for the Arab and Muslim world is for it to become a peaceful, prosperous region working toward participatory government, with democracy, social justice, human dignity, and individual freedom for all; a region where extremism, in either a secular or religious cloak, is marginalized and where the zone of tolerance is expanded. In more concrete terms, stated American policy toward the Arab and Muslim world on issues like those below, needs to be more fully communicated:
  • peaceful settlement of conflicts between the Arabs and Israelis, in Kashmir, and in the Western Sahara;
  • peace in Afghanistan and Iraq;
  • regional security cooperation ;
  • global energy security;
  • free, open, representative, and tolerant political systems;
  • economic growth through private market economies, free trade, and investment;
  • education systems that prepare students to participate constructively in civil society and the global marketplace;
  • a free press, with public and private media that educate, inform, and entertain, with careful attention to accuracy and respect for the diversity of the region;
  • full participation of women and minorities in society.

Inilah yang harus dipahami generasi muda. Tujuan AS adalah untuk menyebarkan nilai-nilai yang mereka anut. Nilai-nilai yang kental dengan ideologi Kapitalisme Liberalisme. Nilai-nilai inilah yang akan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Agar seluruh dunia menerapkan ideologi ini dan mereka akan menangguk keuntungan yang luar biasa diatas penderitaan hampir sebagian besar bangsa yang ada di dunia ini. Sungguh ini adalah kejahatan yang di desain sedemikian rupa sehingga tak nampak bagi sebagian besar orang.
Penutup
Mencermati fakta diatas, menunjukkan bahwa Barat menggunakan kurikulum sebagai senjata untuk menjajah kaum muslimin dan dengan kurikulum itulah Barat membalikkan segala hal. Mengubah sudut pandang kaum muslimin terhadap kehidupan, mengubah pandangannya terhadap nilai-nilai yang diemban oleh Islam dan mengubah pandangannya terhadap hukum-hukum Islam itu sendiri. Wal hasil, jika ini dibiarkan dan generasi muda digiring untuk mengikuti program cuci otak ini, maka akan sangat sulit bagi kaum muslimin bangkit dan merebut kembali kejayaannya dulu.
Maka harus ada upaya yang kuat untuk menyampaikan keburukan program ini di tengah-tengah masyarakat. Dan ini tidak lain hanya bisa dilakukan dengan dakwah yang menggugah. Dakwah yang mampu mengubah kembali sudut pandang masyarakat yang kebarat-baratan menjadi sudut pandang Islam, mengubah kembali pandangan masyarakat tentang nilai-nilai Barat dan mengubah kembali perasaan masyarakat akan hukum-hukum Islam. Dakwah semacam ini tidak mungkin dilakukan jika tidak memiliki sebuah ideologi yang kuat dan bersih dari pemikiran pemikiran barat. Sebab dakwah seperti inilah nantinya yang akan mengantarkan pada penerapan hukum Islam secara sempurna di masyarakat.



disadur dari tulisan : dr. Estyningtias P* dengan sedikit editing