Minggu, 19 Januari 2014

Pelajaran hari ini...

Hari ini saya berkesempatan mengisi forum diskusi, berdampingan dengan kepala Bidang Penanganan Medik sebuah RSUD di kabupaten saya. Kami membahas persoalan "Kesehatan dari sisi pandang pemerintah saat ini vs Jaminan Kesehatan Era Islam". Senang, selalu ada ilmu baru setiap kali saya berdampingan dengan para narsum profesional. kapan ya saya bisa se- profesional mereka. Alhamdulillah, Itulah mengapa saya tidak pernah menolak menjadi narsum meskipun ilmu masih amatiran. Yah, untuk belajar dan belajar. Belajar bisa dimulai dari menerima tantangan baru. Tentu ga boleh gegabah juga tanpa persiapan. Persiapan maksimal, tawakkal dan pede aja. 

Btw, membahas soal kebijakan BPJS, saya dapat ilustrasi kongkret dari beliau Ibu Rr. Rusti Sakundhari. Lulusan Kesehatan Masyarakat UNAIR itu memang sehari harinya mengurusi masalah Jaminan Kesehatan Nasional di RSU. BPJS ini mengcover jaminan kesehatan baik bagi peserta ASKES, JAMSOSTEK,TNI/POLRI, Jamkesmas maupun SKTM dan masyarakat umum. Semuanya dibawah satu payung yaitu JKN yang melayani persoalan penanganan medis bagi pasien, meskipun dari unsur -unsur tadi ada yang disubsidi dan ada yang murni dari masyarakat. Jadi intinya sampai tahun 2019 nanti diharapkan seluruh masyarakat Indonesia sudah terdaftar sebagai peserta BPJS dan mendapatkan layanan kesehatan yang terjamin dengan hanya membayar Rp. 25.500 perbulan untuk ruang perawatan kelas 3, Rp. 42.500,- untuk ruang perawatan kelas 2 dan Rp. 59.500,- untuk dapat ruang perawatan kelas 1. 

Sampai kapan bayarnya? ya tiap bulan sampai akhir hayat by name by address yak. so ga boleh minjam punya sodara. Seorang peserta forum mengacungkan tangan," trus bagaimana Bu kalau kami misalnya nih, daftar BPJS nya kalau pas sakit, trus kalau sudah sembuh berhenti. bagaimana? trus kalau mau sakit lagi daftar lagi, apa boleh?" Wahh ternyata ga boleh,. Jadi meskipun ga sakit ya tetaaap bayar. Kan prinsipnya gotong-royong, biayain yang lain . Bahkan kalau macet bayar, bisa kena pasal looh. ada sanksi pidananya. hmmm....

Kalau seluruh keluarga dengan ayah-ibu dan dua anak jadi berapa bayarnya perbulan? ya tinggal ngalikan saja, kalau mau kelas 3 ya Rp. 25.500 x 4. Itung sendiri laah. sakit ga sakit bayar loh yaa. Ada lagi peserta yang komentar," Bu, katanya gas harganya dinaikkan juga untuk dialokasikan dana subsidinya buat kesehatan, lah kesehatan ko dinaikkan juga? Bahkan kemarin saya nyimak di TV, Presiden mau menaikkan subsidi jaminan kesehatan pejabat agar bisa berobat di luar negri?". " Bu, apakah bayar premi ini sama dengan nabung?" dan sangat banyak pertanyaan yang akhirnya menjadi jawaban bagi peserta forum sendiri, betapa kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat.

Memang,seharusnya kesehatan jangan dikomersialisasi ya. Soalnya ini termasuk 6 diantara kebutuhan pokok masyarakat. So kebutuhan pokok mah ga cuma sandang, pangan dan papan saja. tapi juga termasuk kesehatan, pendidikan dan keamanan. Itu kalau dalam kacamata Islam ya. Yang namanya kebutuhan pokok, ya mesti dipenuhi artinya yang bertanggungjawab menjaminnya ya negara. Kan negara itu pelayannya masyarakat. Kalau masa Islam dulu, dana untuk kebutuhan pokok masyarakat  tersebut diambil dari yang namanya "baitul maal". Sumber dana baitul maal darimana? ya dari zakat, fa'i,  hasil pengelolaan sumberdaya alam oleh negara. So, ga sampe deh masyarakat diharuskan "gotong royong" untuk menanggung biaya kesehatan sesama warga. Beda urusan intinya mah. 

Yang menarik dari Islam untuk saya uraikan itu adalah tentang upaya preventif berbasis sistemik. Saya tertarik dengan bagaimana komprehensifnya islam menjamin kebutuhan pokok masyarakat dengan serangkaian aturan yang berkaitan satu sama lain. jadi INTINYA gini. 

Jauh sebelum orang itu sakit, islam sudah ngatur dulu pola hidup masyarakat biar ga rentan sakit. Coba, ada gak aturan yang mikirin pola makan halal dan thoyyib biar masyarakat ga gampang sakit. Ada ga aturan yang ngurusin pola pergaulan agar ga terjerumus seks bebas sehingga mencegah timbulnya wabah penyakit menular. Ada ga aturan selain islam yang menjelaskan bagaimana hukum orang yang tinggal di daerah epidemi wabah, dimana dia ga boleh keluar dari daerah itu agar ga bawa penyakit tersebut keluar wilayah?. Ada ga aturan lain selain Islam yang mengatur pola aktivitas manusia dengan break sholat 5 waktu sehari agar ga stress dengan pekerjaan. Wajar jika pada masa Islam jaya dulu umat ga gampang sakit. Disamping tersedianya fasilitas kesehatan yang tiap kabupaten menyediakan 7-8 RS, rumah sakit keliling dengan tenaga profesional yang kompeten, available, continuous dan accessible.( cb baca ya:'" Hospital in islamic civilization, E.Ragheb)

Bukti nyata ketika Islam diterapkan, kita pernah baca bagaimana dokter yang dikirim kaisar Romawi, selama setahun berpraktek di Madinah, kesulitan nemuin orang yang sakit.

Peserta pun termangu, kami rindu Islam menaungi kami. Di sini... kami terpaksa ikut asuransi, agar kesehatan yang harusnya jadi hak rakyat, harus dibiayai oleh mereka sendiri.

Jumat, 17 Januari 2014

JALAN KE SURGA


Ada kisah menarik tentang semangat dakwah, yang disampaikan oleh DR. Muhammad Ratib an-Nabulsy saat Khuthbah Jumat tertanggal 2 Juli 2010. Sebuah kisah inspiratif terjadi di Amsterdam yang sangat menarik untuk disimak. Berikut ini Penulis paparkan dengan terjemah bebas dan sedikit diringkas.

“Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah,

“Saya sudah siap, Ayah!”

“Siap untuk apa, Nak?”

“Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!”

“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian

Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri.

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah.

Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya?

Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi,tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: arrisalah.net

Kamis, 16 Januari 2014

Jilbaban Kok harus Gamis, kenapa?



Pakaian syar’iy untuk perempuan itu dalil-dalil syara’nya jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan dari sisi adat kebiasaan, sehingga jika masyarakat terbiasa dengannya maka dipakai, dan jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka tidak ada. Akan tetapi pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan:

Syara’ telah mewajibkan pakaian syar’iy tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya ke kehidupan umum. Syara’ telah mewajibkan atas perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum. 

Syara’ mewajibkan atas perempuan agar ada jilbab, dengan maknanya yang syar’iy, yang ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Dan jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjaminya maka ia tidak sah keluar tanpa mengenakan jilbab. Dan jika ia keluar tanpa mengenakan jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah terhadapnya. Ini dari sisi pakaian bawah bagi perempuan. Sedangkan dari sisi pakaian atas maka ia harus mengenakan kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher dan bukaan pakaian di dada. Dan ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum, artinya pakaian kehidupan umum dari atas. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi sebab tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali.

Adapun dalil atas wajibnya kedua pakaian untuk kehidupan umum tersebut, adalah firman Allah SWT tentang pakaian dari atas:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)


dan firman Allah SWT tentang pakaian bawah:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Dan apa yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah bahwa ia berkata:

«أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»

Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan di hari Idul Fitri dan Idul Adhha, para perempuan yang punya halangan, perempaun yang sedang haidh dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haidh, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslimin. Aku katakan: ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab. Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya jilbab miliknya”. (HR Muslim)

Dalil-dalil ini jelas dalam dalalahnya atas pakaian perempuan di kehidupan umum. Jadi dalam dua ayat ini, Allah SWT telah mendeskripsikan pakaian yang Allah wajibkan atas perempuan agar ia kenakan di kehidupan umum dengan deskripsi yang dalam, sempurna dan menyeluruh. Allah SWT berfirman tentang pakaian perempuan dari atas:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)

Yakni hendaknya mereka mengulurkan penutup kepala mereka di atas leher dan dada mereka, untuk menutupi apa yang tampak dari bukaan baju, dan bukaan baju dari leher dan dada. Dan Allah berfirman terkait pakaian perempuan dari bawah:

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Yakni hendaknya mereka menjulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka yang mereka kenakan di atas pakaian untuk keluar, hendaknya mereka julurkan ke bawah. Allah berfirman tentang tatacara umum yang berlaku atas pakaian ini:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (TQS an-Nur [24]: 31)

Yakni hendaknya mereka tidak menampakkan anggota-anggota tubuh yang merupakan tempat perhiasan seperti kedua telinga, kedua lengan bawah, kedua betis dan selainnya kecuali apa yang bisa nampak di kehidupan umum ketika ayat ini turun, yakni pada masa Rasul saw, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dan dengan deskripsi yang mendalam ini maka menjadi jelas sejelas-sejelasnya, apa pakaian perempuan di kehidupan umum dan apa yang wajib atas pakaian itu. 

Dan datang hadits Ummu ‘Athiiyah menjelaskan secara gamblang wajibnya perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw: “salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab”. Lalu Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya dari jilbab punyanya”. Artinya ketika Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul: jika ia tidak memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya untuk keluar, lalu Rasul saw memerintahkan agar saudarinya meminjaminya jilbab punyanya. Dan maknanya bahwa jika ia tidak dipinjami maka tidak sah/tidak boleh untuknya keluar. Dan ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadits ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Dan jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar.

Dan dalam hal jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Sebab Allah SWT berfirman dalam ayat tersebut:

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)

Yakni hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Sebab kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian) akan tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dan karena diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw bersabda:

«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ»

“Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak memandangnya pada Hari Kiamat”. Lalu Ummu Salamah berkata: “lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya”. Rasul menjawab: “hendaknya mereka menjulurkannya sejengkal”. Ummu Salamah berkata: “kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka”. Rasulullah pun menjawab: “maka hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya”. (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih)

Jadi hadits ini gamblang bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, maka yang demikian itu belum cukup untuk tidak menjulur jilbab itu ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan). Dan tidak harus jilbab itu menutupi kedua kaki dan kedua kaki itu tertutup.

 Akan tetapi disitu harus ada irkha’, yakni jilbab itu harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki secara nyata yang darinya diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum, dan di dalamnya tampak irkha’ yakni terpenuhi di dalamnya firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan).

Dan seperti yang Anda lihat, pakaian perempuan itu merupakan pakaian yang sudah dibatasi dengan pembatasan yang jelas dengan nas-nas yang gamblang (sharih) tidak ada kerancuan dan keraguan dalam dalalahnya sehingga Rasulullah saw ketika ditanya oleh Ummu ‘Athiyah tentang keluar jika perempuan tidak punya jilbab maka Rasulullah saw menjawabnya agar perempuan itu meminjam jilbab dari tetangganya atau ia tidak keluar. Dan ini adalah dalalah yang kuat yang menunjukkan wajibnya pakaian ini sebagai kewajiban syar’iy.

Selasa, 14 Januari 2014

kekuatan doa itu nyata

Kali ini pertahananku benar benar jebol. Aku ga sanggup menahan tangis ketika melihat si kecil 4.5 tahun jatuh tertelungkup dengan mulut berdarah- darah. Sebenarnya bukan kali ini saja ku mengalami suasana ini. Belum lama juga sikecil kena kecelakaan kecil, dahinya terbentur bibir ranjang dan berdarah darah juga. Tapi kali ini.... oh bibir atasnya bukan sobek lagi, tapi dagingnya lepas sebagian. Bukan biaya atau batalnya acara yang sudah tersusun rapi hari ini yang berkecamuk dlm benakku, tapi mikir bagaimana itu bibir bisa dikembalikan seperti semula. 

Ya, hari ini ada dua kegiatan yang sudah terjadwal, sehingga sejak pagi sekali aku sudah memasak dan menyiapkan keperluan anak anak selama aku pergi. Hari libur adalah hari favorit organisasi, karena kegiatan bisa di pusatkan hari itu. Si kecil memang cukup aktif.Tapi kali ini  benar benar diluar perkiraan, karena ia duduk manis sambil kusuapin, pas ketika kutinggal ke dapur dia berjalan didepan TV dan terjatuh. Allah Maha Berkehendak. Mungkin hari ini aku harus di rumah. Karena hari minggu kemarin aku sudah seharian di luar kota. 

Kuambil handuk tebal untuk menghentikan darahnya,  tidak lama darahnya terhenti dan tak lupa beberapa kali kutetesi propolis. Si kecil masih menangis. aku ga paham, gmana lagi caranya menambal bibir ini. Gimana kalau cacat?, Sesaat ngeblank, akhirnya logikaku pulih. Daging lepas ini ga boleh lama lama dibiarin, Lewat dua jam, dia akan sulit disatukan kembali. Artinya ini waktu yang tepat untuk memperbaiki kondisinya. Baiklah, akhirnya aku menelpun pak mantri yang biasa menjadi dokter keluarga.

 Sesaat kemudian pak mantripun muncul. Berharap bisa di "lem" atau apalah, yang penting bisa di gabungkan dengan sukses bibir mungil itu. Tapi... belum sampai memegang, Pak mantri bilang," maaf Mba, saya ga bisa nangani. harus di jahit ini. bawa ke rumah sakit aja. kalau dijahit disini, ga ada yang megangi. Anaknya kan tenaganya kuat". What?? Jadi dia harus diperlakukan seperti itu? dipegangi banyak orang untuk dijahit bibirnya? Kayak mana aku bisa tahan melihat dia seperti itu? menahan sakit sendirian dan anak sekecil itu?

Entahlah, bayangan anak anak Palestina tiba -tiba berkelebatan di hadapanku. Mereka yang mengalami luka parah bahkan jauh lebih parah dari kondisi yang kuhadapi saat ini, terancam hari harinya dengan ketakutan bahkan nyawanya . Bagaimana perasaan ibu ibu mereka. Aku tergugu. ya Allah, aku ga akan sanggup... aku ga akan sanggup.Melihat buah hatiku kesakitan dan menyaksikannya. Tiba -tiba tenagaku hilang, dan aku sangat lemah. Aku berharap ada yang disampingku, menguatkan aku. tapi ya sudahlah, lupakan saja.

Aku harus bisa, waktunya ga lama. Kubangun kembali sugesti, anakku harus sembuh. Ya, sakit untuk sembuh. Diantar paman dan pengasuh si kecil, kubawa dia ke IGD. Yah, mainan. Dia pasti suka kalau dibujuk dengan mainan. hari ini akan kuajak dia ke toko mainan, biar dia pilih mainan terbaik yang dia mau. Selembar "uang merah" ternyata manjur untuk menenangkan hatinya, menghilangkan ketakutannya. Alhamdulillah si kecil mulai enjoy dengan langkah penanganannya.

Dia terbaring santai di ruang UGD, sambil menungguku mengurus administrasi. " Mas, Dokternya udah dateng blom?" tanyaku ke petugas yang duduk didepanku. "sudah" katanya pendek. " mana?". "Lah itu..., ini..." jawab si Mas sambil menunjuk dirinya sendiri." Oalah njenengan ini dokter to?". jadi malu saya. Ya sekalian diskusi tentang beberapa hal terkait menangani si kecil. " tolong ya Dok, sesegera mungkin dikerjakan, sudah agak lama itu, khawatir susah pulih". Alhamdulillah penanganannya lumayan cepat.

Sempat ragu karena aku mikir, tahan ga melihat si kecil di jahit bibirnya. Tapi kalau aku ga mendampingi dia, apa yang akan dirasakan anakku? Akhirnya kuputuskan, aku harus mendampingi. Bayangan pak Mantri bahwa anaknya harus dipegangin ternyata tidak terjadi. Kubacakan tanpa henti doa doa agar Allah memudahkan urusan ini. " Allaahumma laa sahla illa ma ja'altahu sahla, wa anta taj'alal hazna idza syi'ta sahla", isyfi ....syifa'an 'aajilan bi barokatil fatihah".  Hanya kuelus kakinya yang dingin, kupegang telapak tangannya, kutunjukkan  padanya bahwa aku ada disampingnya sambil memalingkan muka ( karena ga tahan sebenarnya). sesaat dia memandangku. Tangannya meraih wajahku, " ummi". " Iya sayang, kamu sabar ya, nanti habis dibenerin bibirnya kita beli mainan yuk". Dia pasrah. Tidak ada satu kalimatpun terucap darinya. Satu persatu proses operasi kecil itu berjalan dengan baik. Dzikirpun tak putus kulafalkan, karena aku yakin Dia ada dihadapanku, dan menyaksikan upayaku. Tidak ada kepanikan, tidak ada tangisan. Si kecil hanya beberapa kali menarik nafas panjang sesaat setelah 6 suntik bius lokal satu persatu ditusukkan ke bibirnya.

Selanjutnya kegiatan operasi berjalan lancar, bahkan saya sempat ngobrol banyak dengan perawat yang menangani proses itu. Bahas tentang kebijakan BPJS yang kontroversial itu, tentang keharaman asuransi dan seperti biasa tentang riba yang menggurita salah satunya dari perputaran premi asuransi yang  dibayarkan oleh masyarakat. Para tenaga medis memang sangat lekat pengetahuannya tentang kebijakan baru ini. " kasihan rakyat ya mba", ujar salah seorang perawat. " sepertinya mba ini aktivis ya?".yah begitulah. jawabku. kapan kapan semoga mereka bisa hadir dalam kegiatan islam. aamiin.

Alhamdulillah dengan berharap berhasil, operasi itu berjalan sukses. jauh lebih mudah dari yang disangka. Hingga ketika sudah lewat toko mainan dan mau berhenti, sikecil bilang," ga jadi beli mainan aja Um, duitnya jangan dihabiskan, ditabung saja". Alhamdulillah ya Allah. Banyak hal yang  kudapat dari peristiwa ini.
Tentang qadla Allah, jika Dia berkehendak, tak perlu ada alasan, apapun bisa terjadi, maka jangan merasa aman dari pengawasan-Nya. Tentang Doa, bahwa dia adalah kekuatan tak terlihat yang mampu merubah apasaja. Tentang tawakkal, tidak ada yang mencukupkan dan memudahkan ursan kecuali Dia.

Sebuah fragmen kecil, kadang menyimpan banyak makna....