Jumat, 06 Juni 2014

KELUARGA, BENTENG TERAKHIR GENERASI



Keluarga adalah tempat bagi setiap anggotanya untuk mendapatkan curahan cinta dan kasih sayang, serta pendidikan. Keluarga juga menjadi tempat bagi anggotanya untuk menjaga kebaikan serta membentengi dari berbagai bentuk kerusakan. Walhasil keluarga adalah institusi yang sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang sekaligus bagi masyarakat. Karenanya keluarga harus dilindungi dari kehancuran dan dijamin segala aspeknya agar fungsinya bisa berjalan dengan baik.
          Sayangnya potret keluarga di negeri muslim terbesar ini, jauh dari harapan tersebut, terlebih di semester pertama tahun 2014 ini. Kemiskinan makin menjerat kehidupan keluarga Indonesia. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis tingkat kemiskinan Indonesia setiap tahunnya, Suryamin, menyatakan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah (konferensi pers di kantor pusat BPS, 2/1/2014). Suryamin menambahkan bahwa persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah dan persentase karena ada dimensi lain, yaitu tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
          Kemiskinan ini menjadikan ayah sulit menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari usahanya mencari nafkah. Akibatnya, untuk meraih kesejahteraan keluarga, ayah harus melakukan apa saja. Bagi yang tidak kuat iman, jalan pintas dengan melakukan kriminalitas pun ditempuh.
          Pada sebagian keluarga lainnya, para ibunya berbondong-bondong keluar rumah, meninggalkan pengasuhan dan pendidikan buah hatinya, untuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Berbagai alasan yang kompleks memicu munculnya fenomena ini: mulai dari sulitnya para ayah –yaitu kaum laki-laki– mencari lapangan pekerjaan yang memadai, gaya hidup konsumtif yang menjangkiti keluarga, hingga adanya program pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebagai dampaknya, anak-anak menjadi kehilangan sosok Ibu. Ibu adalah pendidik pertama dan utama, serta sumber cinta dan kasih sayang dalam keluarga. Dialah tempat jiwa anak berlabuh ketika menemui persoalan. Ketika Ibu “tidak berfungsi” –bahkan tidak ada– saat anak membutuhkan, maka anak akan lari ke pihak lain.
          Inilah fenomena yang terjadi pada anak-anak remaja Indonesia. Pornografi dan pornoaksi, kriminalitas dan kekerasan, serta konsumerisme dan hedonisme melingkupi kehidupan remaja yang sedang mencari jati diri dan belum mampu melindungi diri. Akibatnya mereka terseret dalam arus tersebut. Pergaulan bebas remaja yang merambah hingga ke desa-desa, kasus remaja Surabaya menjadi mucikari, serta kasus sodomi dengan jumlah yang mengerikan di Jawa Barat beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa remaja Indonesia berada dalam titik kritis perilaku.
          Sungguh, realita keluarga Indonesia yang menuju kehancuran seperti di atas adalah buah pahit dari Demokrasi. Demokrasi adalah sistem politik yang menjadikan kebebasan sebagai prinsip dan meletakkan akal sekelompok manusia –yaitu wakil rakyat di parlemen dan kepala pemerintahan– sebagai sumber peraturan dan UU. Hakikat demokrasi ini meniscayakan lahirnya berbagai UU, peraturan, kebijakan, program yang justru merusak masyarakat. Sebab duduknya seseorang dalam parlemen atau menjadi kepala pemerintahan membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Untuk mendapatkan biaya dan menutup biaya yang telah dikeluarkan, maka menerima kepentingan korporasi dalam pembuatan UU dengan imbalan uang adalah hal yang otomatis terjadi dalam sistem Demokrasi. UU dan kebijakan pemerintah bukanlah demi kemaslahatan rakyat, melainkan demi kepentingan korporasi yang telah membayarnya.
          Realitas ini sangat mudah kita lihat dari berbagai UU dan kebijakan yang sama sekali tidak berpihak ke rakyat, bahkan menjatuhkan rakyat ke jurang kehancuran. UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Kelistrikan dan berbagai UU lain justru memberikan kekayaan alam dan energi Indonesia yang berlimpah kepada asing. Rakyat yang seharusnya bisa sejahtera, harus membiayai sendiri kebutuhan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya melalui pajak.
          Realita kerusakan kebijakan produk Demokrasi juga bisa kita lihat dari pornografi dan pornoaksi yang dibiarkan, bahkan dipermudah aksesnya. PadahaLl berbagai penyimpangan dan kasus seksual sudah demikian dahsyat bentuk dan jumlahnya di negeri ini. Kasus pedofilia yang mencuat dan berentetan beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa sudah saatnya menghentikan berbagai kebijakan yang justru memicu perkara seksual semacam ini. Terlebih, jelas pedofilia itu akan menghancurkan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya, serta keluarganya. Namun hingga hari ini kita melihat bahwa sistem Demokrasi tidak melakukan apapun untuk memberlakukan sistem pergaulan/sosial yang benar –tentu karena tidak ada korporasi yang mensponsorinya–.
          Realita rusaknya kebijakan buah Demokrasi juga bisa kita lihat dari berbagai kebijakan pendidikan yang menjadikan anak-anak Indonesia tercetak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar alias menjadi buruh dan pekerja bagi para Kapitalis.
Pembiaran lokalisasi dengan alasan demi kesejahteraan perempuan juga menunjukkan bahwa kebijakan ini jelas-jelas bukan untuk kebaikan rakyat.
          Demikianlah, Demokrasi menjadi biang dari berbagai persoalan yang menimpa keluarga dan akan membawa keluarga-keluarga muslim pada kehancuran jika terus dibiarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar