Rabu, 21 Januari 2015

Tentang Feminisme di Indonesia, Apa Kabar?



Feminisasi dalam sosiologi, merupakan pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam kelompok, masyarakat, atau organisasi ke arah fokus pada feminin. Ini adalah kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas.  Feminisasi ini menjadi kampanye global tidak saja di Negara-negara Barat, namun juga di negeri-negeri muslim.  Feminisasi ini merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan gender yang dianggap menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat dunia, dengan kata lain, feminisasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Deklarasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women) sebagai pencanangan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 dan berbagai konferensi perempuan yang diselenggarakan pada tahun-tahun berikutnya, menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan.  Hal ini makin nyata setelah Konvensi Internasional Kependudukan (International Conference Population and Development-ICPD), September 1994 di Kairo.  Konferensi tersebut merupakan batu loncatan penting yang mencetuskan bahwa “perempuan” adalah kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk.  ICPD ini melahirkan program aksi bertemakan Empowerment of Women” (pemberdayaan perempuan).  Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap sebagai sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapat peluang berkiprah lebih besar di berbagai bidang.Aksi ini dilanjutkan dengan Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995, yang menghasilkan BPFA (Beijing Platform for Action).  Dari sinilah lahir konsep  pengarus utamaan gender atau PUG. Pada saat itu, berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah, dan organisasi yang relevan untuk memastikan bahwa rencana aksi di berbagai area kritis dapat dilaksanakan dengan efektif agar segera terwujud kesetaraan gender.

JALAN PERUNDANG-UNDANGAN

Mengingat Kesetaraan gender mengharuskan adanya pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek yang benar-benar setara dan adil, maka sudah jelas bahwa ide ini bertentangan dengan Islam, baik secara filosofis maupun ideologis. Meski laki-laki dan perempuan sebagai manusia sama dalam pandangan Islam, namun Islam menetapkan peran yang berbeda terkait dengan keberadaan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan.  Sebagai contoh Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah hanya pada laki-laki sementara perempuan sebagai pengatur rumah dan ibu generasi.  Islam juga menetapkan bagian waris laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.  Selain itu, islam menetapkan adanya masa iddah hanya bagi perempuan baik karena perceraian maupun kematian suaminya.  Sebaliknya, islam membolehkan laki-laki untuk melakukan poligami hingga empat istri, dan menetapkan bagi perempuan hanya boleh memiliki satu suami.  Dengan demikian kesetaraan gender hanya akan terwujud bila aturan Islam ditinggalkan dan pembuatan aturan diserahkan kepada manusia.  Dengan kata lain, terwujudnya kesetaraan gender mengharuskan penerapan akidah sekulerisme dan sekulerisasi dalam kehidupan masyarakat

Perbedaan yang sangat mendasar tersebut menyebabkan sulitnya upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tengah kehidupan masyarakat.  Sementara di sisi lain,   berbagai konvensi dan rencana aksi yang telah disepakati dalam sejumlah konperensi tingkat global tersebut harus diterapkan oleh semua Negara anggota PBB termasuk Indonesia.  Oleh karena itu, upaya yang paling jitu adalah melalui undang-undang yang ditetapkan oleh Negara.     UU membuat upaya terwujudnya kesetaraan gender dapat lebih sistemis karena UU memiliki legalitas untuk memaksa rakyat untuk menerapkannya.  Apalagi pada kenyataannya, masih ada kesenjangan gender di Indonesia. 

Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam inpres tersebut dinyatakan tujuan PUG adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Dan strategi PUG ditempuh dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan PUG maka semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan, serta dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan.  Strategi ini dirumuskan agar desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program di seluruh ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat terwujud.   Berbagai peraturan lain juga dibuat untuk memperlancar pelaksanaan PUG baik tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam hal pembuatan anggaran responsif gender pada berbagai Kementerian  Negara dan Lembaga Negara.

Rupanya sebelum PUG diluncurkan, Negara sudah memberikan pengakuan atas hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia yang ditetapkan melalui Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita).  

Pada tahun 2005 dibentuklah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Perpres nomor 65 tahun 2005, yang salah satu nilai dasarnya adalah keadilan dan kesetaraan gender.  Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk mempercepat penghapusan kekerasan pada perempuan yang diyakini merupakan akibat ketidaksetaraan relasi laki-laki dan perempuan.

Selain itu, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Diantaranya adalah UU No. 23/2004  tentangPKDRT. Demikian juga dengan kewajiban kuota 30% dalam menentukan anggota legislatif melalui  UU  no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik Dan UU no 10 tahin 2008 tentang Pemilu, juga No 8 tahun 2012 tentang Parpol.  

Namun demikian masih ada banyak UU yang dianggap belum sesuai dengan kesetaraan gender.   Tahun 2009, Komnas Perempuan telah melaporkan undang-undang dan peraturan yang bdiskriminatif terhadap perempuan. KUHP (1/1946), UU Perkawinan (1/1974), dan UU Ketenagakerjaanb (13/2003) merupakan contoh undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian pula dianggap banyak terjadi kontroversi menyangkut UU Pornografi No. 44/2008 dan UU Kesehatan (36/2009). Kedua undang-undang ini dianggap berisi pasal yang berpotensi mengabaikan hak perempuan dalam menentukan pilihannya terkait kesehatan dan kebebasan berekspresi   Tahun 2010, Komnas Perempuan mengidentifikasi 63 dari sekitar 154 peraturan yang dikeluarkan di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa dari tahun 1999 hingga 2009 melanggar hak perempuan untuk berekspresi, memperoleh perlindungan dan bekerja Bahkan saat ini sedang diupayakan lahirnya UUKesetaraan Gender untuk memperkuat landasan hukum bagi pencapaian kesetaran gender.  RUU KG ini masih akan ditargetkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015 setelah gagal dalam Prolegnas tahun 2014.

PROMOSI IDE FEMINISME ISLAM

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya tidak cukup dengan jalan perundang-undangan,  Apalagi berbagai usulan revisi UU yang dianggap bias gender ternyata masih mendapatkan penentangan dari kaum Muslim.  Oleh karena itu,  perlu ada upaya diluar jalur UU yang dapat langsung bersinggungan dengan masyarakat.   Munculnya berbagai LSM ‘Islam’ sesungguhnya adalah jalur lain untuk promosi ide feminisme Islam.  LSM seperti Rahima berada di garis depan dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam bingkai Islam.  Bahkan Rahima yang memfokuskan kerjanya sebagai pusat pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan Pendidikan Orang Dewasa, secara intensif mengadakan PUP (Pendidikan Ulama Perempuan) di berbagai kota di Indonesia.

Pada November 2014 yang baru lalu PUP telah masuk edisi ke 8, dengan sasaran para mubalighoh dan kalangan pesantren.  Jejaring yang dibentuk dengan berbagai LSM termasuk ormas dan pesantren, membuat sosialisasi dan pemasyarakatan ide-ide feminisme Islam dapat dengan mudah tersebar.Demikian juga dengan Fahmina yang berdiri tahun 2000 di Cirebon.  Fahmina  bekerja untuk penyadaran publik dengan tiga isu utama yakni Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan gender (Isgen) serta Islam dan otonomi komunitas (Iskom) yang didekati dari sudut Islam dan tradisi keilmuan pesantren.

Dalam upaya menyuarakan ide kesetaraan gender, ada individu-individu yang menjadi  tokoh feminis muslim yang ada di garis depan diantaranya adalah Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin.
Pada tahun 2004, sebuah kelompok kecil yang menamakan dirinya Tim PUG Depag, dan diketuai oleh Siti Musdah Mulia meluncurkan buku kecil berjudul “ Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi hukum Islam”.  Isi buku tersebut menimbulkan penetangan masyarakat karena banyak aspek di dalamnya yang bertentangan dengan hukum Islam misalnya melarang poligami, membolehkan adopsi anak, membolehkan nikah kontrak, membolehkan wanita menjadi wali nikah, menyamakan waris anak laki-laki dan perempuan, menyamakan kesaksian laki-laki dengan wanita, memberikan masa tunggu untuk pria yang bercerai, membolehkan perkawinan beda agama dan lain-lain. Hukum-hukum ‘baru’ tersebut jelas dibuat bukan dengan semangat melaksanakan hukum Islam, namun justru dilakukan dengan pendekatan gender, pluralisme dan HAM .Karena itu bisa dipahami bila banyak permasalahan yang justru bertentangan dengan hukum Islam.

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya  tidak hanya menggunakan jalur UU dan LSM dengan individu-individu feminis muslim. Mediamassa menjadi kekuatan penting untuk mengintroduksi dan menguatkan ide gender di tengah masyarakat. Media elektronik yang menjangkau masyarakat terpencil dan masuk ke ruangan-ruangan pribadi di rumah-rumah telah menjadi sarana yang mengemas ide serius menjadi bahan tontonan yang menyenangkan.  Walaupun media kadangkala hipokrit karena sering mengeksploitasi perempuan namun perannya amat strategis dalam upaya feminisasi. Penyebarluasan perlawanan terhadap ide patriarkal dan stereotipikal gender perlahan-lahan mendapatkan simpati publik. Mata media tidak pernah berkedip mengawasi dan memberitakan bagaimana pelaksanaan perda syariah di Aceh selalu merugikan dan mengancam hak-hak perempuan. Perda terkait larangan perempuan duduk mengangkang saat berkendara motor, kewajiban menutup aurat, berbusana Islami dan larangan khalwat adalah peraturan syariah yang sering menjadi sorotan media, termasuk media internasional karena dianggap melanggar HAM kaum perempuan Aceh.  

Akibat pemberitaan massif media, berbagai pengusung ide gender terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap praktek yang menghalangi implementasi feminisasi Islam. Seperti Lembaga HAM internasional (Human Rights Watch) yang sejak 2010 mendesak pemerintah lokal di Aceh dan pemerintah pusat Indonesia agar mencabut dua aturan Perda Syariah mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana muslim.  Kedua aturan itudianggap telah melanggar HAM dan konstitusi Indonesia. Pemberitaan media yang cenderung mendiskreditkan syariah Islam, tentu saja memudahkan kerja kalangan liberal tersebut.Tujuannya, tiada lain untuk memunculkan ketakutan masyarakat saat hendak menerapkan Islam sebagai jalan hidup.

DAMPAK PADA KELUARGA

Ide kesetaraan gender yang mulai diterapkan diberbagai kementerian atau lembaga negara dan diadopsi sebagian masyarakat membuat perubahan kehidupan kaum perempuan termasuk para ibu.  Salah satu indikatornya, jumlah kaum perempuan pekerja semakin banyak dari tahun ke tahun.  Pada 2003 jumlah PNS perempuan adalah 1.475.720 orang, kemudian tahun 2013 yang lalu meningkat menjadi 2.102.197 orang.Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif  yang menyebutkan bahwa salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak  berwujud  Day Care /Tempat Penitipan Anak.  Penyediaan day care  jelas membuat para ibu merasa lebih nyaman karena anaknya berada di tangan yang tepat.

Sisi negatif perempuan bekerja juga makin terasa nyata.  Keluarga makin tidak harmonis, ditandai dengan makin meningkatnya jumlah perceraian. Pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.  Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik.Dan 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan.

KDRT ternyata juga makin meningkat jumlahnya.Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan sejak tahun 2011 kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga termasuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan. Ketidak harmonisan keluarga juga memicu remaja untuk mengkonsumsi narkobaBerdasarkan hasil Survei Badan Narkotika Nasional(BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekira 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air adalah pengguna narkobaKesibukan orangtua dalam bekerja juga mengakibatkan fungsi keluarga tidak berjalan, sehingga terjadilah fenomena keluarga terminal.Tak jarang jika fenomena keluarga terminal menjadi penyebab kasus lainnya.  Seperti pernyataan Bendri Jaisyurrahman, aktivis Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang mengatakan bahwa keluarga terminal dapat merubah orientasi seks anak.

Di sisi lain, kekerasan pada anak juga makin meningkat,  KPAI bahkan menyebut  tahun 2013  sebagai tahun darurat kekerasan terhadap anak.  Yang lebih menggenaskan, pelaku kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual ternyata sebagian besar adalah orang yang dekat dengan anak.  Kondisi tersebut menandakan bahwa keluarga tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat berlindung bagi anak-anak.

Kondisi itu diperburuk dengan permasalahan yang terjadi pada remaja.  Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa.  jumlah seks bebas dikalangan remaja mengalami peningkatan. Usiapelaku seks bebas kian lebih muda.  Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14 tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19 tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.Tak hanya itu, perilaku tawuran di kalangan pelajar juga tak kalah miris. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2013 jumlah pelajar tewas sia sia karena tawuran mencapai 20 orang. Bahkan di tahun 2014 tawuran pelajar menjadi  kasus paling menonjol dan banyak menyita perhatian publik.

Demikianlah, feminisasi adalah perilaku sesat dan jahil. Buktinya, feminisasi di Indonesia tidak mampu mensejahterakan perempuan.  Bahkan sebaliknya, feminisasi hanya membawa kerusakan dan kehancuran keluarga, perempuan dan generasi.  Sesuatu yang pasti terjadi karena manusia telah meninggalkan hukum Allah. Padahal, hukum Allah adalah yang terbaik jika manusia mau melakukannya.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) - dr. Arum Harjanti

Minggu, 11 Januari 2015

Tantangan Pariwisata di Era Neolib



Demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu tiga tahun, pemerintah memprioritaskan menggarap sektor-sektor primadona di Indonesia. Keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made), menjadikan pariwisata menjadi salah satu sektor penting yang perlu segera ditangani. Bahkan koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Betapa tidak, sektor pariwisata yang menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni  menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk Domestik Bruto).  Angka itu mencapai 23 persen dari total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013.

Menteri Pariwisata Arief Yahya, dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019.  Penargetan ini sejalan dengan program liberalisasi ekonomi  Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi. Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia.Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa.  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara (wisman)  dengan penghitungan satu wisman akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar  per tahun. 

Pariwisata sebagai Sarana transfer nilai
Sebagai varian sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi mendasar konsep ini. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan berselarasan dengan kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta kebebasan beragama (sekularisasi).

Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia.Saat ini dalam tataran diplomasi hubungan antar negara, mekanisme yang dikenal sebagai people to people conectivity sangat diandalkan selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya.  Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.

Sekalipun hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas memiliki tempat istimewa bagi Australia.Demikian juga negara-negara kapitalistik lain. Namun tantangan penanaman nilai-nilai sekuler kapitalistik masih harus dihadapi Barat, mengingat mayoritas muslim Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada asing dan proses penjarahan sumber daya alam  tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di Indonesia.Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Liberalisasi Budaya Indonesia
Format Indonesia yang demikian selaras dengan pembentukan ASEAN Community (Masyarakat ASEAN) pada tahun 2015.  Masyarakat ASEAN yang terdiri dari  Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),  MasyarakatPolitik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (MSA). Dalam pembentukan Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud adalah tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM, sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.

Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai.  Sekalipun Rusia, China,  Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat, namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi.  Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur dengan bangsa Barat seperti Australia, Eropa atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood. Tulisan Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan yang dimuat di harian Kompas 10/12/2014 menyebutkan bahwa kedekatan ASEAN dan Korsel turut dibangun oleh industri popnya.

Realitas berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini - terutama generasi mudanya- sudah terseret arus liberal. Bali, sebagai destinasi
wisata utama telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktivis penanggulangan AIDS nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang.Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun (sebanyak 3812 kasus) dan 30-39 tahun (358 kasus).

Tidak bisa dinafikkan, industri wisata dalam masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras, seksual dan hiburan. Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti ini berarti  makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT, pemerintah neolib kurang peduli dengan maraknya kemaksiatan itu, bahkan makin memperluasnya.  Semua itu disebabkan satu alasan yaitu uang.  Demi uang kepedulian terhadap kerusakan generasi menjadi hilang bersamaan dengan berkembangnya rasa apatis sekaligus kekuatiran masyarakat.  Padahal seharusnya pemerintah merupakan pelayan dan pelindung bagi  kepentingan umat.  Fungsi pelayanan saat ini berubah menjadi fasilitator atau regulator saja.

Pariwisata pada Masa Peradaban Islam
Dalam perspektif Islam, Negara bertanggung jawab dalam mencegah  terbukanya pintu kemaksiatan di dalam masyarakat. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.Obyek wisata yang mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan sejarah Islam bisa dipertahankan.  Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.

Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya.Sementara bagi wisatawan non-Muslim, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.

Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka negara bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan umat non Islam, maka harus dilihat, Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.

Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang.Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.

Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.

Dengan demikian, Negara sebagai negara tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.

Kamis, 08 Januari 2015

MENGKRITISI KOTA LAYAK ANAK, UPAYA LIBERALISASI DINI?



Salah satu program yang  dikembangkan oleh  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kemeneg PPPA) adalah pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak  atau KLA.  Pada tanggal 19 Desember 2014 yang lalu, Deputi Tumbuh Kembang Anak  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,  Lenny Nurhayanti , menyatakan bahwa pada tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mentargetkan terwujudnya 100 kota/kabupaten layak anak (KLA), dan  hingga Nopember telah mencapai  190 kabupaten dan kota yang sedang mempersiapkan diri menuju kota layak anak.Kota layak anak merupakan bentuk investasi untuk membangun generasi penerus bangsa agar mereka lebih sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, cinta tanah air serta terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.Hal ini disebabkan karena anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi.

Apa sebenarnya Kabupaten/kota Layak Anak dan mengapa dikembangkan?  Benarkah KLA menjadi solusi pemenuhan hak anak?

Latar Belakang  KLA
Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak.  Ratifikasi KHA  disahkan dengan Keppres no 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5 Oktober 1990.Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak diawali dengan pengesahan UUno 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, Undang-undang ini  berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.  Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World FitFor ChildrenDeclaration  (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak(DLA)pada tanggal 10 Mei 2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children).

Pada tahun 2004, Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015”. Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia.Terdapat 4 (empat) bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC,  yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berdasarkan prinsip umum Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan terpenuhinya hak-hak dasar anak (hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi).Untuk mempercepat komitmen ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).Indonesia menjadikan perlindungan anak menjadi urusan wajib di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Untuk memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.  Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. 

Sebagai pedoman lebih lanjut dalam mengembangkan kabupaten/kota Layak anak, maka diterbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Tingkat Provinsi dan Peraturan Menteri  Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  Republik Indonesia  nomor 11 tahun 2011  tentang  Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan nomor 14 tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak.  Kementerian PP-PA telah merintis pembentukan kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk dapat dikategorikan sebagai kota layak anak daerah harus memenuhi persyaratan sebanyak 31 indikator yang diwujudkan,yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak untuk mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadikan kepentingan terbaik anak menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, program, dan anggaran pemerintah kabupaten/kota.

Di dalam Permen nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak,

Pengembangan KLA menurut pasal 5 Permen tsb adalah  berdasakan prinsip tata pemerintahan yang baik,  non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,  hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, dan   penghargaan terhadap pandangan anak.  Sementara Kebijakan Pengembangan KLA menurut pasal 6 diarahkan pada pemenuhan hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan;  lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif;  kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Adapun Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam setiap proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dan dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Landasan KLA bertentangan dengan Islam

Negara yang sudah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak mempunyai konsekuensi untuk mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak, membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak dan membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 2 tahun segera setelah meratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun.Bahkan PBB membuat suatu badan khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap Negara, yaitu Committee on the Rights of the Child.Sementara itu, Komitmen untuk mewujudkan DLAjuga merupakan upaya untuk makin mengokohkan implementasi KHA dalam mewujudkan hak anak.

Dengan demikian ratifikasi KHA dan DLA merupakan cara untuk memaksa dan  mengontrol Negara di dunia termasuk Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh dunia internasional melalui berbagai konvensi yang ditetapkan oleh PBB.  Semua produk hukum dari Negara yang telah meratifikasi konvensi PBB tersebut diharuskan sesuai dengan konvensi internasional tersebut. Adanya mekanisme pelaporan secara periodik kepada Committee on the Rights of the Child  menjadi bukti kontrol dunia internasional yang diwakili oleh PBB. Fakta bahwa sampai saat ini AS menjadi satu-satunya Negara yang belum meratifikasi KHA, meski sudah menandatanganinya pada tahun1995, menimbulkan  tanda tanya, mengingat AS terlibat secara aktif dan memberikan peran yang besar pada proses pembentukan KHA. 

Nilai-nilai yang saat ini sangat gigih ditanamkan kepada penduduk dunia termasuk kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia adalah konsep HAM dan kesetaraan gender.  Nilai inilah yang juga diupayakan  ditanamkan pada anak-anak melalui KHA dan semua upaya global untuk mewujudkan hak anak seperti DLA.  Padahal secara konseptual, HAM dan kesetaraan gender bertentangan dengan Islam.

Dalam pasal 6 Permen no 11/201  disebutkan bahwa Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini bila dikaitkan dengan KHA Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam KLA. Sementara Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.

HAM juga membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus  yang dikampanyekan secara global.  Praktek agama yang dianggap membahayakan hak anak misalnya, sering dikaitkan dengan aturan Islam terkait dengan sunat perempuan dan pernikahan.Begitu pentingnya mengarahkan pemahaman agama terhadap terhadap pemenuhan hak anak nampak dengan adanya program konsultasi seperti yang diadakan bulan Nopember 2014 yang lalu.

Kementrian PPPA bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Hak Anak.Meneg PP-PA menyatakan,tujuan konsultasi ini adalah untuk mengidentifikasi praktek-praktek budaya dan ritual agama yang membawa dampak bagi pemenuhan hak anak baik dampak positif maupun negatif sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang responsif anak dalam bidang agama dan budaya.Sebagai konsekuensi konsultasi ini, maka praktek agama yang berlandaskan ajaran agama akan dilarang ketika dianggap bertentangan dengan tujuan pemenuhan hak anak menurut KHA. Hal ini juga ditegaskan dalam point 23 resolusi PBB tentang World Fit for children.Hal ini akan membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Sang Pencipta, namun mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan KHA sebagai rujukan.

Kebebasan berpendapat juga mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA.dalam Pasal 5 Permen 11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya

Hal ini sejalan dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya tentang semua hal.Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi ruang yang sangat besar.Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat, melalui Peraturan PresidenNomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004.  Berbagai forum tersebut  diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan organisasi non pemerintah internasional. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi.Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. 

 Islam memang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut  tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran Islam.  Adanya banyak forum bebas berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan Islam.

KLA juga menjadi sarana tercapainya kesetaraan gender.Dalam resolusi Majelis Umum no S-27/2.tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan :
The achievement of goals for children, particularly for girls, will be advanced if women fully enjoy all human rights and fundamental freedoms, including the right to development, are empowered to participate fully and equally in all spheres of society and are protected and free from all forms of violence, abuse and discrimination. We are determined to eliminate all forms of discrimination against the girl child throughout her life cycle and to provide special attention to her needs in order to promote and protect all her human rights, including the right to be free from coercion and from harmful practices and sexual exploitation. We will promote gender equality and equal access to basic social services, such as education, nutrition, health care, including sexual and reproductive health care, vaccinations, and protection from diseases representing the major causes of mortality, and will mainstream a gender perspective in all development policies and programmes. 

Secara nyata tercapainya pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender. Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak.Hal ini makin jelas ketika dalam Point 24 dinyatakan perlunya merubah peran laki-laki dalam masyarakat.

We also recognize the need to address the changing role of men in society, as boys, adolescents and fathers, and the challenges faced by boys growing up in today’s world. We will further promote the shared responsibility of both parents in education and in the raising of children, and will make every effort to ensure that fathers have opportunities to participate in their children’s lives.

Makna sesungguhnya dalam perubahan peran laki-laki dalam masyarakat adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender, bukan sekedar memberi kesempatan ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.Namun agar ibu memiliki lebih banyak waktu sehingga dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan dan memiliki kebebasan dalam masyarakat.

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa pengembangan KLA yang berlandaskan kepada KHA dan DLA bertentangan dengan  nilai-nilai Islam.  Dengan demikian KLA akan membuat anak-anak sejak dini dijauhkan dari Islam dan diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai global.  

KLA menanamkan Liberalisasi sejak dini

Dengan mencermati program pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui pengembangan KLA.

Pengesahan KHA dan DLA menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global yang bertentangana dengan Islam.langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang.  Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat aturan.  Dengan demikian anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu pemikiran,  dan KLA dengan segala macam forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental.  

 Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi anak-anak muslim.  Apalagi Secara eksplisit dalam naskah akademik PNBAI 2015 dinyatakan bahwaPenyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs)”.

Sesungguhnya Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam.  Berbagai macam cara telah dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam apalagi penerapan Islam sebagai sistem kehidupan.  Secara sistematis, Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahama Islam’ kaum muslim.  Rupanya upaya itu tidak hanya menyasar muslim dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA.   Dan dunia global memastikan keberhasilan upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara yang harus dikirimkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan –kecuaali AS tentunya karena Negara ini belum meratifikasi KHA.Maka sangat jelas KLA menjadi alat untuk menancapkan hegemoninya dalam menyiapkan generasi seperti yang mereka kehendaki, yaitu generasi yang mengemban nilai-nilai global yang justru menghancurkan Islam.  Dengan demikian KLA justru akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, karena akan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan aturan Allah dalam kehidupannya.  Wallahu a’lam