Selasa, 30 Juni 2015

Apa solusi masalah Prostitusi Artis?



Setelah terungkap prostitusi online, wacana kontroversial lokalisasi dan sertifikasi PSK, kini terkuak praktik prostitusi artis dengan bayaran fantastis. Bila prostitusi online bisa menebar kerusakannya kepada siapa saja tanpa batas waktu dan tempat, prostitusi artis tak kalah dahsyat akibatnya. Kerusakannya akan sangat besar mempengaruhi gambaran model perilaku dan orientasi hidup generasi. Terbukti benarlah apa yang ditegaskan Islam bahwa prostitusi adalah perilaku keji dan seburuk-buruk jalan.

Masyarakat Indonesia sedang mengalami darurat gaya hidup liberal dan permissif, yaitu bebas dan lepas dari tuntunan agama serta menganggap boleh perilaku dan bisnis apapun tanpa peduli halal dan haram. Akibatnya  ketakwaan rendah dan tuntutan gaya hidup konsumtif lagi mewah melahirkan masalah maraknya prostitusi. Faktanya  gaya hidup ini justru  lahir akibat diadopsinya sistem demokrasi yang menjunjung kebebasan perilaku.

Prostitusi adalah perilaku terlarang menurut pandangan agama dan norma manapun. Dalam pandangan Islam prostitusi adalah aktifitas zina yang haram dan termasuk dosa besar. Dan setiap yang bertentangan dengan agama hanya akan melahirkan bahaya dan kerusakan. Oleh karena itu melegalkan prostitusi dan hanya mengurangi risiko kriminalitas dan penyakit semacam HIV/AIDS atau bahkan menganggapnya sebagai bagian dari perwujudan Hak Asasi (HAM) hanya akan memarakkan kemaksiatan dan melahirkan berbagai persoalan baru.

Ada lima solusi yang semestinya ditempuh untuk mengatasi maraknya prostitusi. Bila  negara melaksanakannya secara simultan, bukan hanya salah satu dan sepotong-sepotong maka semua faktor yang mendorong terjadinya prostitusi bisa dieliminasi bahkan dihilangkan. Kita tentu menyadari bahwa tindak asusila bisa saja terjadi, namun kemaksiatan itu tidak terjadi secara marak karena pintu-pintunya telah ditutup rapat.

1. penyediaan lapangan kerja. Faktor kemiskinan yang seringkali menjadi alasan utama PSK terjun ke lembah prostitusi tidak perlu terjadi bila negara memberikan jaminan kebutuhan hidup setiap anggota masyarakat, termasuk penyediaan lapangan pekerjaan –terutama bagi kaum laki-laki. Penyediaan lapangan pekerjaan berarti adanya kemudahan masyarakat untuk pekerjaan yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarga yang ada dalam tanggungannya. Negara memberi kemudahan permodalan bagi yang membutuhkan dan tanpa bunga. Iklim usaha kondusif juga diperlukan. Lain halnya dengan saat ini dimana lapangan kerja terbatas dan pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga menjadi masalah besar di tengah masyarakat. Perempuan semestinya tidak menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya.

2. Pendidikan/edukasi yang sejalan. Pendidikan bermutu dan bebas biaya harus disediakan oleh negara. Kurikulumnya harus mampu memberikan bekal ketakwaan selain kepandaian dan keahlian pada setiap orang agar mampu bekerja dan berkarya dengan cara yang baik dan halal. Pendidikan juga menanamkan nilai dasar tentang benar dan salah serta standar-standar hidup yang boleh diambil dan tidak. Alasan PSK yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan ketrampilan karena lebih sulit mendapat uang dari hasil menjahit dibanding melacur tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang standar benar dan salah.

3. Aspek sosial. Pembinaan masyarakat untuk membentuk keluarga yang harmonis merupakan penyelesaian jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian pemerintah. Bila keluarga harmonis maka tidak banyak laki-laki yang membutuhkan untuk mencari kesenangan ke tempat pelacuran atau ingin mendapat kasih sayang dengan mengencani PSK. Hal lain adalah pembentukan lingkungan sosial  agar masyarakat tidak permisif terhadap kemaksiatan sehingga pelaku prostitusi akan mendapat sanksi dan kontrol sosial dari lingkungan sekitar. Kasus apartemen Kalibata City yang diketahui masyarakat sebagai tempat mesum namun dibiarkan adalah contoh nyata perlunya kepedulian masyarakat untuk menghilangkan kemaksiatan.

4. penegakan hukum/sanksi tegas kepada semua pelaku prostitusi/zina.  Tidak hanya mucikari atau germonya. PSK dan pemakai jasanya yang merupakan subyek dalam lingkaran prostitusi harus dikenai sanksi tegas. Hukuman di dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kali jika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di akhirat ia disiksa di neraka. Sanksi yang menakutkan ini akan membuat siapapun berfikir ribuan kali agar tidak jatuh pada tindak mesum tersebut

5. Politik. Penyelesaian prostitusi membutuhkan diterapkannya kebijakan yang didasari syariat Islam. Harus dibuat undang-undang yang tegas mengatur keharaman bisnis apapun yang terkait pelacuran. Tidak boleh dibiarkan bisnis berjalan berdasar hukum permintaan dan penawaran belaka tanpa pijakan benar dan salah sesuai syariat. Negara tidak hanya harus  menutup semua lokalisasi, menghapus situs prostitusi online  tapi juga melarang semua  produksi yang memicu seks bebas seperti pornografi lewat berbagai media. 

Penyelesaian masalah prostitusi membutuhkan pemahaman utuh terhadap akar masalah mudah dan ringannya orang melakukan kemaksiatan dan kerusakan. Baik karena faktor internal maupun eksternal. Selanjutnya harus ditempuh langkah-langkah integral untuk menutup semua pintu terjadinya pelacuran. Karenanya usaha mengatasi masalah ini hanya dengan melaksanakan sebagian perbaikan tanpa menyadari sumber kerusakannya bisa dikatakan sebagai tindakan gagal memahami akar masalah. Kegagalan ini sama artinya dengan membiarkan berkembangnya masalah menjadi semakin kompleks. Sadarilah bahwa seluruh masyarakat sesungguhnya membutuhkan negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dan negara  yang mampu menerapkan syariat Islam ini dalam bentuk Khilafah Islamiyah.

Negara  Khilafah adalah satu-satunya institusi yang mampu untuk menerapkan seluruh panduan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dalam kehidupan.  Terkait dengan maraknya perzinaan, negara khilafah memiliki tanggungjawab sebagai berikut :
  1. Memastikan fungsi keluarga berjalan sempurna hingga terwujud keharmonisan hubungan suami istri dan pendidikan anak-anak dalam keluarga tak terabaikan. Khilafah juga memberikan jaminan agar setiap keluarga mampu mencukupi seluruh kebutuhannya melalui penyediaan lapangan kerja bagi para kepala keluarga.  Dengan jaminan ini, ibu tidak perlu ikut bersusah payah mencari nafkah dan dapat berkonsentrasi pada tugasnya mendidik anak-anak.   Begitu pula tidak ada perempuan yang melacurkan diri dengan alasan faktor ekonomi, karena nafkah mereka telah ditanggung oleh para wali atau oleh negara.
  2. Menerapkan sistem pendidikan yang mampu membentuk individu-individu yang  beriman dan berkepribadian Islam, serta menjauhkan mereka dari ide-ide sesat seperti kapitalisme, liberalism dan sekulerisme.  Output sistem pendidikan Islam ini akan mampu mencukupi kebutuhan ekonominya dengan cara halal juga tak mudah tergiur perilaku dan bisnis haram yang dilarang Islam.
  3. Memastikan relasi laki-laki dan perempuan  berjalan sesuai aturan syara’.  Maka Negara menerapkan aturan-aturan syara’ yang mengatur hubungan pergaulan laki-laki dan perempuan dengan mengadopsinya sebagai hukum negara.  Negara juga menerapkan sistem sanksi bagi orang-orang yang malanggar aturan tersebut.  Bagi aturan-aturan yang syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu, negara menyerahkan keputusan kepada hakim.  Seperti sanksi untuk khalwat, perempuan yang bertabarruj, atau perempuan yang tidak menutup aurat.  Sedang sanksi tegas yang sudah ditetapkan syari’at, negara tinggal menerapkannya, seperti sanksi berzina. 
  4. Mewujudkan lingkungan Islami bagi masyarakat.  Negara mengawasi seluruh kebiasaan, pendapat, dan sarana-sarana lain yang berpeluang untuk merusak generasi.  Maka negara akan melarang kafe, klub, atau hotel yang menjadi tempat maksiat.  Negara melarang peredaran miras, narkoba, dan film-film porno.  Negara melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap media massa seperti koran, majalah, buku, televisi dan jaringan internet agar tidak menjadi sarana penyebarluasan pornografi dan pemikiran-pemikiran sesat. Wallahu a'lam

Senin, 01 Juni 2015

MEMATAHKAN MITOS BARAT TENTANG HAREM



Barat telah berhasil berbohong, mengubah fakta dan unggul dalam membuat rangkaian cerita yang memaksa orang lain untuk melihat segala sesuatu hanya melalui sudut pandang mereka. Mereka sengaja menyesatkan kaum Muslim tentang sejarah Islam untuk mengubur fakta-fakta tertentu, dan untuk mencemarkan nama baik aturan dan hukum-hukum Islam. Mereka memasarkan pemikiran dan konsep-konsep mereka sebagai cahaya sementara konsep-konsep lain adalah kegelapan.

Barat juga telah berhasil mengopinikan kebohongan dan tuduhan-tuduhan palsu, terutama penggambaran palsu tentang perempuan di bawah naungan negara Utsmani, yakni pada masa yang disebut Alharamlek. Kaum orientalis tidak melihat para perempuan secara langsung, namun mereka tetap saja berani untuk menggambarkan mereka dengan hina dan sebagai penari telanjang.
 

Mereka mengolok-olok sejarah besar bangsa kita (umat Islam). Sebuah sejarah yang telah diambil dari narasi-narasi palsu dan fantasi yang tidak ada realitanya! Apakah logis mengambil versi sejarah kita dari musuh?! Lantas menggunakannya untuk membentuk pandangan kita tentang sejarah pada masa itu?! Bukti bahwa kaum orientalis mengatakan sejarah yang palsu adalah bahwa orang-orang yang mengumbar narasi-narasi ini sesungguhnya tidak pernah diizinkan untuk mengganggu kehidupan pribadi para Muslimah. Bukti lebih lanjut adalah kontradiksi antara cerita-cerita mereka dan cerita-cerita dari kaum orientalis perempuan yang benar-benar masuk ke dalam rumah-rumah kaum Muslim.

Lady Eliza Beth Kriven mengatakan dalam bukunya "Perjalanan melalui Alkiram ke Alqustanteenah(konstantinopel)" (1789) - "Cara Turki memperlakukan kaum perempuanya adalah contoh yang harus diikuti oleh semua bangsa, dan gaya hidup perempuan di sana sudah cukup untuk membuat mereka menjadi makhluk hidup yang paling bahagia di muka bumi."

Gambaran yang diambil melalui catatan-catatan kaum orientalis adalah gambaran yang palsu dan bertentangan dengan realitas lingkungan Hareem di Utsmani, dan pandangan sekilas atas rangkaian cerita yang diambil dari sejarah mereka mengungkapkan apa yang mereka ceritakan tentang para Muslimah. Sebaliknya, semua itu justru cocok dengan kehidupan para perempuan Eropa, bukan para perempuan Sultan; karena semua rangkaian cerita itu menunjukkan pencampuran antara laki-laki asing dan perempuan di dalam kondisi-kondisi yang tidak syar’i, hal yang tidak mungkin terjadi pada masa Khilafah Utsmani.

Pakaian-pakaian yang dikenakan dahulu pada zaman Khilafah Utsmani masih dapat dilihat sampai hari ini sebagaimana ditampilkan di museum Turki. Dan hal ini juga bertentangan dengan bagaimana para orientalis menggambarkan cara berpakaian para perempuan Alharamlak.

Akhirnya, kita harus mengatakan bahwa sejarah yang diopinikan oleh kaum orientalis hanyalah sekedar sebuah penutup yang harus ditarik dari mata kaum Muslim  untuk menyembunyikan kebenaran yang terang yang dapat memberikan mereka rasa percaya diri dan keyakinan kepada sejarah mulia mereka.

Seorang Muslim sesungguhnya cerdas dan berhati-hati, dan ia harus menyingkirkan penutup yang menutupi matanya. Ia harus berupaya keras untuk melihat lebih dalam pada masa lalunya untuk memisahkan kebohongan-kenohongan dari realita serta mengungkap kepalsuan tuduhan-tuduhan Barat. Kita seharusnya tidak melihat melalui mata para orientalis yang licik, tidak juga melalui mata para konspirator terhadap kaum Muslim. Slogan demi slogan digaungkan... Organisasi demi organisasi didirikan... Semua ini agar Barat dapat membangun gambaran kehidupan Muslimah yang menyedihkan. Buku demi buku ditulis.... Lukisan demi lukisan digambar... Pernyataan demi pernyataan diumumkan... bahwa Muslimah itu tertindas. Rangkaian cerita demi cerita dibuat... Kecaman demi kecaman banyak dituai... dari suatu periode yang disebut... "Al-Haramlak"

"Al-Haramlak" adalah sebuah konsep dari Era Yunani... tetapi mereka tidak berbicara tentang Yunani. Mengapa? Atau haruskah Harem Utsmani diterbitkan? Hareem As-Sultan. "... perempuan dihina... pada masa itu.. di tempat itu... apakah kalian ingin membawa kami ke masa itu???? Mereka merantai kita... dan dengan pemikiran-pemikiran yang salah mereka telah membelenggu kita... Hukum-hukum Islam menahan kita dari melangkah maju dalam kehidupan. 

Mereka telah membaca sejarah kita dengan cara mereka... dan menyajikannya kepada kita setelah dibungkus dengan pemikiran-pemikiran mereka... dan berhenti pada salah satu titik dari periode itu lantas mengkritiknya... untuk memalingkan kita dari berjalan menuju sistem kita menjadi menuju sistem mereka. Kaum orientalis menggambarkan Al-Haramlek dan melukiskan perempuan yang dihina... BAGAIMANA MUNGKIN? Perempuan-perempuan ini bahkan tidak pernah terlihat, mereka terhormat!!!

Islam adalah Agama yang besar, yang tidak seperti Agama lainnya, Islam melarang Penyimpangan. Agama ini dari Allah al-Khabir al-‘Alim... Yang Maha Memahami laki-laki dan perempuan… Dia adalah ar-Rahim al-Halim. Mengapa semua perhatian tertuju kepada Muslimah? Apakah untuk menghormatinya atau untuk memperdaya dirinya dan membuatnya meragukan hukum-hukum Allah?? Tidak. Kita tidak akan pernah dirantai dengan rantai mereka... dan menyerah pada mereka, menjadikan mereka majikan kita. 

Berhenti memanipulasi sejarah Agama yang mulia ini. Muslimah tidak akan pernah berpaling darinya. Karen Islam telah mengajarkan untuk hidup dalam kebahagiaan dan keberkahan melalui penerapan aturan-aturan Allah.

Rabu, 21 Januari 2015

Tentang Feminisme di Indonesia, Apa Kabar?



Feminisasi dalam sosiologi, merupakan pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam kelompok, masyarakat, atau organisasi ke arah fokus pada feminin. Ini adalah kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas.  Feminisasi ini menjadi kampanye global tidak saja di Negara-negara Barat, namun juga di negeri-negeri muslim.  Feminisasi ini merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan gender yang dianggap menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat dunia, dengan kata lain, feminisasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Deklarasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women) sebagai pencanangan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 dan berbagai konferensi perempuan yang diselenggarakan pada tahun-tahun berikutnya, menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan.  Hal ini makin nyata setelah Konvensi Internasional Kependudukan (International Conference Population and Development-ICPD), September 1994 di Kairo.  Konferensi tersebut merupakan batu loncatan penting yang mencetuskan bahwa “perempuan” adalah kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk.  ICPD ini melahirkan program aksi bertemakan Empowerment of Women” (pemberdayaan perempuan).  Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap sebagai sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapat peluang berkiprah lebih besar di berbagai bidang.Aksi ini dilanjutkan dengan Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995, yang menghasilkan BPFA (Beijing Platform for Action).  Dari sinilah lahir konsep  pengarus utamaan gender atau PUG. Pada saat itu, berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah, dan organisasi yang relevan untuk memastikan bahwa rencana aksi di berbagai area kritis dapat dilaksanakan dengan efektif agar segera terwujud kesetaraan gender.

JALAN PERUNDANG-UNDANGAN

Mengingat Kesetaraan gender mengharuskan adanya pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek yang benar-benar setara dan adil, maka sudah jelas bahwa ide ini bertentangan dengan Islam, baik secara filosofis maupun ideologis. Meski laki-laki dan perempuan sebagai manusia sama dalam pandangan Islam, namun Islam menetapkan peran yang berbeda terkait dengan keberadaan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan.  Sebagai contoh Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah hanya pada laki-laki sementara perempuan sebagai pengatur rumah dan ibu generasi.  Islam juga menetapkan bagian waris laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.  Selain itu, islam menetapkan adanya masa iddah hanya bagi perempuan baik karena perceraian maupun kematian suaminya.  Sebaliknya, islam membolehkan laki-laki untuk melakukan poligami hingga empat istri, dan menetapkan bagi perempuan hanya boleh memiliki satu suami.  Dengan demikian kesetaraan gender hanya akan terwujud bila aturan Islam ditinggalkan dan pembuatan aturan diserahkan kepada manusia.  Dengan kata lain, terwujudnya kesetaraan gender mengharuskan penerapan akidah sekulerisme dan sekulerisasi dalam kehidupan masyarakat

Perbedaan yang sangat mendasar tersebut menyebabkan sulitnya upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tengah kehidupan masyarakat.  Sementara di sisi lain,   berbagai konvensi dan rencana aksi yang telah disepakati dalam sejumlah konperensi tingkat global tersebut harus diterapkan oleh semua Negara anggota PBB termasuk Indonesia.  Oleh karena itu, upaya yang paling jitu adalah melalui undang-undang yang ditetapkan oleh Negara.     UU membuat upaya terwujudnya kesetaraan gender dapat lebih sistemis karena UU memiliki legalitas untuk memaksa rakyat untuk menerapkannya.  Apalagi pada kenyataannya, masih ada kesenjangan gender di Indonesia. 

Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam inpres tersebut dinyatakan tujuan PUG adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Dan strategi PUG ditempuh dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan PUG maka semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan, serta dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan.  Strategi ini dirumuskan agar desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program di seluruh ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat terwujud.   Berbagai peraturan lain juga dibuat untuk memperlancar pelaksanaan PUG baik tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam hal pembuatan anggaran responsif gender pada berbagai Kementerian  Negara dan Lembaga Negara.

Rupanya sebelum PUG diluncurkan, Negara sudah memberikan pengakuan atas hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia yang ditetapkan melalui Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita).  

Pada tahun 2005 dibentuklah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Perpres nomor 65 tahun 2005, yang salah satu nilai dasarnya adalah keadilan dan kesetaraan gender.  Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk mempercepat penghapusan kekerasan pada perempuan yang diyakini merupakan akibat ketidaksetaraan relasi laki-laki dan perempuan.

Selain itu, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Diantaranya adalah UU No. 23/2004  tentangPKDRT. Demikian juga dengan kewajiban kuota 30% dalam menentukan anggota legislatif melalui  UU  no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik Dan UU no 10 tahin 2008 tentang Pemilu, juga No 8 tahun 2012 tentang Parpol.  

Namun demikian masih ada banyak UU yang dianggap belum sesuai dengan kesetaraan gender.   Tahun 2009, Komnas Perempuan telah melaporkan undang-undang dan peraturan yang bdiskriminatif terhadap perempuan. KUHP (1/1946), UU Perkawinan (1/1974), dan UU Ketenagakerjaanb (13/2003) merupakan contoh undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian pula dianggap banyak terjadi kontroversi menyangkut UU Pornografi No. 44/2008 dan UU Kesehatan (36/2009). Kedua undang-undang ini dianggap berisi pasal yang berpotensi mengabaikan hak perempuan dalam menentukan pilihannya terkait kesehatan dan kebebasan berekspresi   Tahun 2010, Komnas Perempuan mengidentifikasi 63 dari sekitar 154 peraturan yang dikeluarkan di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa dari tahun 1999 hingga 2009 melanggar hak perempuan untuk berekspresi, memperoleh perlindungan dan bekerja Bahkan saat ini sedang diupayakan lahirnya UUKesetaraan Gender untuk memperkuat landasan hukum bagi pencapaian kesetaran gender.  RUU KG ini masih akan ditargetkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015 setelah gagal dalam Prolegnas tahun 2014.

PROMOSI IDE FEMINISME ISLAM

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya tidak cukup dengan jalan perundang-undangan,  Apalagi berbagai usulan revisi UU yang dianggap bias gender ternyata masih mendapatkan penentangan dari kaum Muslim.  Oleh karena itu,  perlu ada upaya diluar jalur UU yang dapat langsung bersinggungan dengan masyarakat.   Munculnya berbagai LSM ‘Islam’ sesungguhnya adalah jalur lain untuk promosi ide feminisme Islam.  LSM seperti Rahima berada di garis depan dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam bingkai Islam.  Bahkan Rahima yang memfokuskan kerjanya sebagai pusat pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan Pendidikan Orang Dewasa, secara intensif mengadakan PUP (Pendidikan Ulama Perempuan) di berbagai kota di Indonesia.

Pada November 2014 yang baru lalu PUP telah masuk edisi ke 8, dengan sasaran para mubalighoh dan kalangan pesantren.  Jejaring yang dibentuk dengan berbagai LSM termasuk ormas dan pesantren, membuat sosialisasi dan pemasyarakatan ide-ide feminisme Islam dapat dengan mudah tersebar.Demikian juga dengan Fahmina yang berdiri tahun 2000 di Cirebon.  Fahmina  bekerja untuk penyadaran publik dengan tiga isu utama yakni Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan gender (Isgen) serta Islam dan otonomi komunitas (Iskom) yang didekati dari sudut Islam dan tradisi keilmuan pesantren.

Dalam upaya menyuarakan ide kesetaraan gender, ada individu-individu yang menjadi  tokoh feminis muslim yang ada di garis depan diantaranya adalah Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin.
Pada tahun 2004, sebuah kelompok kecil yang menamakan dirinya Tim PUG Depag, dan diketuai oleh Siti Musdah Mulia meluncurkan buku kecil berjudul “ Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi hukum Islam”.  Isi buku tersebut menimbulkan penetangan masyarakat karena banyak aspek di dalamnya yang bertentangan dengan hukum Islam misalnya melarang poligami, membolehkan adopsi anak, membolehkan nikah kontrak, membolehkan wanita menjadi wali nikah, menyamakan waris anak laki-laki dan perempuan, menyamakan kesaksian laki-laki dengan wanita, memberikan masa tunggu untuk pria yang bercerai, membolehkan perkawinan beda agama dan lain-lain. Hukum-hukum ‘baru’ tersebut jelas dibuat bukan dengan semangat melaksanakan hukum Islam, namun justru dilakukan dengan pendekatan gender, pluralisme dan HAM .Karena itu bisa dipahami bila banyak permasalahan yang justru bertentangan dengan hukum Islam.

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya  tidak hanya menggunakan jalur UU dan LSM dengan individu-individu feminis muslim. Mediamassa menjadi kekuatan penting untuk mengintroduksi dan menguatkan ide gender di tengah masyarakat. Media elektronik yang menjangkau masyarakat terpencil dan masuk ke ruangan-ruangan pribadi di rumah-rumah telah menjadi sarana yang mengemas ide serius menjadi bahan tontonan yang menyenangkan.  Walaupun media kadangkala hipokrit karena sering mengeksploitasi perempuan namun perannya amat strategis dalam upaya feminisasi. Penyebarluasan perlawanan terhadap ide patriarkal dan stereotipikal gender perlahan-lahan mendapatkan simpati publik. Mata media tidak pernah berkedip mengawasi dan memberitakan bagaimana pelaksanaan perda syariah di Aceh selalu merugikan dan mengancam hak-hak perempuan. Perda terkait larangan perempuan duduk mengangkang saat berkendara motor, kewajiban menutup aurat, berbusana Islami dan larangan khalwat adalah peraturan syariah yang sering menjadi sorotan media, termasuk media internasional karena dianggap melanggar HAM kaum perempuan Aceh.  

Akibat pemberitaan massif media, berbagai pengusung ide gender terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap praktek yang menghalangi implementasi feminisasi Islam. Seperti Lembaga HAM internasional (Human Rights Watch) yang sejak 2010 mendesak pemerintah lokal di Aceh dan pemerintah pusat Indonesia agar mencabut dua aturan Perda Syariah mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana muslim.  Kedua aturan itudianggap telah melanggar HAM dan konstitusi Indonesia. Pemberitaan media yang cenderung mendiskreditkan syariah Islam, tentu saja memudahkan kerja kalangan liberal tersebut.Tujuannya, tiada lain untuk memunculkan ketakutan masyarakat saat hendak menerapkan Islam sebagai jalan hidup.

DAMPAK PADA KELUARGA

Ide kesetaraan gender yang mulai diterapkan diberbagai kementerian atau lembaga negara dan diadopsi sebagian masyarakat membuat perubahan kehidupan kaum perempuan termasuk para ibu.  Salah satu indikatornya, jumlah kaum perempuan pekerja semakin banyak dari tahun ke tahun.  Pada 2003 jumlah PNS perempuan adalah 1.475.720 orang, kemudian tahun 2013 yang lalu meningkat menjadi 2.102.197 orang.Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif  yang menyebutkan bahwa salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak  berwujud  Day Care /Tempat Penitipan Anak.  Penyediaan day care  jelas membuat para ibu merasa lebih nyaman karena anaknya berada di tangan yang tepat.

Sisi negatif perempuan bekerja juga makin terasa nyata.  Keluarga makin tidak harmonis, ditandai dengan makin meningkatnya jumlah perceraian. Pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.  Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik.Dan 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan.

KDRT ternyata juga makin meningkat jumlahnya.Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan sejak tahun 2011 kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga termasuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan. Ketidak harmonisan keluarga juga memicu remaja untuk mengkonsumsi narkobaBerdasarkan hasil Survei Badan Narkotika Nasional(BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekira 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air adalah pengguna narkobaKesibukan orangtua dalam bekerja juga mengakibatkan fungsi keluarga tidak berjalan, sehingga terjadilah fenomena keluarga terminal.Tak jarang jika fenomena keluarga terminal menjadi penyebab kasus lainnya.  Seperti pernyataan Bendri Jaisyurrahman, aktivis Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang mengatakan bahwa keluarga terminal dapat merubah orientasi seks anak.

Di sisi lain, kekerasan pada anak juga makin meningkat,  KPAI bahkan menyebut  tahun 2013  sebagai tahun darurat kekerasan terhadap anak.  Yang lebih menggenaskan, pelaku kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual ternyata sebagian besar adalah orang yang dekat dengan anak.  Kondisi tersebut menandakan bahwa keluarga tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat berlindung bagi anak-anak.

Kondisi itu diperburuk dengan permasalahan yang terjadi pada remaja.  Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa.  jumlah seks bebas dikalangan remaja mengalami peningkatan. Usiapelaku seks bebas kian lebih muda.  Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14 tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19 tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.Tak hanya itu, perilaku tawuran di kalangan pelajar juga tak kalah miris. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2013 jumlah pelajar tewas sia sia karena tawuran mencapai 20 orang. Bahkan di tahun 2014 tawuran pelajar menjadi  kasus paling menonjol dan banyak menyita perhatian publik.

Demikianlah, feminisasi adalah perilaku sesat dan jahil. Buktinya, feminisasi di Indonesia tidak mampu mensejahterakan perempuan.  Bahkan sebaliknya, feminisasi hanya membawa kerusakan dan kehancuran keluarga, perempuan dan generasi.  Sesuatu yang pasti terjadi karena manusia telah meninggalkan hukum Allah. Padahal, hukum Allah adalah yang terbaik jika manusia mau melakukannya.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) - dr. Arum Harjanti