Kamis, 15 Mei 2014

KETIKA PENA, MENGUBAH WAJAH DUNIA



Merubah wajah dunia dengan pena? Bukan mustahil bahkan telah terbukti, dengan data- data yang tertera dalam berbagai media, betapa pena benar benar lebih tajam dari pada pedang. Ia adalah satu  senjata peradaban selain lisan. Pena sebagaimana para ulamaa terdahulu, menuliskan kegemilangan sejarah dengan mahakarya berupa ilmu-ilmu fiqh, hingga teknologi yang diturunkan kepada generasi abad ini adalah penyambung lidah yang tak berbatas waktu, bahkan sampai penulisnya kembali kepada Allah SWT. Sebutlah Imam maliki pengarang kitab Al Muwatta’dan penulis kitab-kitab hadis lain seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al Shafi’i, Al Bukhari, Imam Muslim  atau para ilmuwan muslim seperti Al Khawarizmi, Ar Razi, Ibnu Sina,  dan sederet ulamaa yang juga ilmuwan prestisius, mereka telah melahirkan ribuan karya monumental dalam sejarah peradaban Islam dengan kekuatan pena. Maka wajar apabila di akhirat nanti, tinta ulamaa akan ditimbang dengan darah para syuhada.Tentu, jujurnya lisan dan teguhnya pena untuk menorehkan kebenaran, akan menjadi amal shaleh yang pahalanya tidak akan putus, sebaliknya bisa juga menjadi deposit dosa yang tak terhenti bagi para penulisnya apabila menorehkan suatu keburukan. Yah, memang apa yang kita kerjakan tak pernah luput dari rekaman Sang Maha Pengawas.
Sebagaimana  Para Ilmuwan muslim menjadikan tinta sebagai sarana untuk menyampaikan pesan peradaban Islam, demikian pula peradaban lain di dunia ini pun menggunakan pena untuk mengekalkan dominasi mereka terhadap dunia. Tersebutlah untuk melanggengkan paham Amerikanisme ( kapitalisme), pemilik peradaban ini  (baca:AS) melakukan serangkaian  aktivitas untuk merekayasa sistem informasi dengan memasang 6.000 pengumuman, mengutus 75.000 penceramah , 755.190 orator kepada 300 juta  orang, mengirim majalah mingguan ke 600.000 guru, serta mencetak 200.000 film, poster, stiker dan iklan ( Walter lippman, kolumnis di New York Herald Tribune dalam Influental Book Public Opinion, 1992).
 Sayangnya masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa menulis adalah pekerjaan sampingan dan membaca  bukanlah hal urgen dalam hidup mereka. Bahkan berdasarkan data dari UNESCO tahun 2012, disebutkan bahwa minat baca masyarakat  Indonesia masih 0,001. Ini berarti diantara 1000 orang Indonesia, yang membaca hanya satu orang. Padahal, menurut UNICEF, sebuah negara dikatakan memiliki minat baca yang baik adalah apabila setiap satu buku dibaca oleh minimal 5 orang. 93.4% rakyat Indonesia lebih menyukai televisi dari pada membaca koran yang saat ini peminatnya menyusut hingga 15% saja di delapan kota di Indonesia. ( www.republika.com).
Bagaimana peran tulisan di media online? Rupanya peminat facebook di Indonesia masuk peringkat ke dua di dunia setelah AS, dan peringkat ke tiga sebagai pengguna twitter. Bahkan Indonesia masuk peringkat ke delapan jumlah pengguna internet yaitu sebanyak 71.19 juta jiwa tahun 2013. (www.merdeka.com). Media adalah alat yang ampuh untuk menyampaikan pesan, membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat serta mengaruskan opini apapun yang diinginkan oleh penguasa media. Maka sudah semestinya media bisa menjadi penyambung lisan kebenaran, bukan malah menjerumuskan manusia menuju sesatnya pemikiran dan rusaknya peradaban. Seperti saat ini, ketika media tidak lagi bisa menyampaikan kebaikan, didominasi pesan pesan kerusakan yng diinginkan oleh orang orang yang berorientasi pada nafsu duniawi dan kekayaan yang tidak halal. Maka media, tulisan, maupun lisan pun menjadi penerus lidah kerusakan, menyerukan kebebasan berekspresi yang berujung pada nestapa akibat pornografi dan tayangan /cerita kekerasan. Karena ia bisa mengubah wajah dunia, maka wahai para pemilik kemuliaan ummat ini, mari menulis, menorehkan tinta kebaikan agar kemuliaan laksana kehidupan para ulamaa terdahulu bisa kita raih kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar