Jumat, 23 Mei 2014

MEMPERTANYAKAN KONSEP HUMANISME POLITIK DEMOKRASI



Mengikuti perkembangan Pileg menuju Pilpres 2014-2019 ini, kita menyaksikan gonjang ganjingnya panggung perpolitikan di level elite partai.  Lobi- lobi politik berjalan tidak terduga dan  seolah berlaku  hukum “tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh abadi dan yang ada adalah kepentingan abadi”. Ironisnya, partai-partai berbasis massa islam yang notabene kurang mendapatkan suara ditengah rendahnya partisipasi politik masyarakat, posisinya saat ini hanya seperti mendorong mobil mogok, berkoalisi untuk memenangkan capres cawapres yang bukan dari partainya bahkan berseberangan secara misi dengan partai koalisinya. Ada sebuah ungkapan di berbagai media tentang partai berbasis massa islam  yang menggelitik, “ dulu kami dilarang golput, alasannya agar Indonesia tidak dikuasai kafir sekuler, tapi setelah kami memilih, kok sekarang malah mengusung capres sekuler”, suara rakyat yang kecewa setelah partai pujaannya tidak lagi berdiri di atas visi misinya. Sudah tidak ada lagi idealisme partai yang menjadi AD/ART , tidak ada lagi suara rakyat karena saat ini yang berperan adalah para elite politik partai. Kemana rakyat sekarang, untuk siapa kemenangan partai nanti dan dimana janji menyejahterakan rakyat sudah tidak ada dalam pertimbangan politik.

Politik Yang Tidak Humanis

Menurut Pangki T Hidayat(Direktur Eksekutif dan peneliti politik Research Center For Democratic Education, Yogyakarta),  orientasi politik saat ini sudah tidak lagi berfokus pada humanisme atau tidak lagi memperhatikan aspek moral (deon) namun hanya terfokus pada strategi meraih kekuasaan ( telos). Sehingga terjadi eleminsi aspirasi rakyat dalam koalisi parpol ini. Kepentingan seksional partai mendominasi perpolitikan  sehingga apa yang ingin diwujudkan rakyat dalam kekuasaan tidak tercapai. Beliau menjelaskan bahwa  Martha Nussbaum, seorang filsuf politik kontemporer dalam  bukunya “Not for Profit, Why Democracy Needs The Humanities (2011)” menjelaskan bahwa hilangnya humanisme di ranah politik akan membuat demokrasi tidak memanusiakan manusia. Ranah  kesejahteraan sosial, ekonomi, maupun  politik akan semakin jauh dari kehendak rakyat . Nampaknya apa yang dinyatakan Nussbaum menemukan realitanya saat ini.  Kondisi kesejahteraaan rakyat dari tahun ke tahun pasca pemilu legislatif maupun eksekutif tidak nampak secara signifikan menghasilan perubahan berarti menjadi lebih baik. Pendidikan kita masih terpuruk, pemerataan kesempatan ekonomi masih sangat buruk, kesenjangan terjadi dimana mana, hingga persoalan etos kerja wakil rakyat yang tidak optimal. Ini terbukti dari data RUU tahun 2013 saja dari 76 RUU program legislasi nasional hanya 15 RUU yang terbahas menjadi UU. Dan pada sidang ke dua hanya 33 RUU  yang terbahas. Belum lagi merebaknya kasus korupsi yang terjadi secara sistemik di negeri ini.

Kesalahan Pada Tataran Konsep?

Jika demikian halnya, kita perlu mengkritisi, adakah yang salah dalam praktek perpolitikan kita ataukah  kesalahan itu bukan  lagi dalam  tataran praktis, namun  sudah  pada tataran konsep? Secara konsep, politik demokrasi yang kita terapkan saat ini menekankan pada kehendak  rakyat sebagai fokus perpolitikan. Rakyatlah yang menentukan wakilnya dan wakil rakyatlah yang menjalankan amanah rakyat untuk memimpin mereka. Adakah yang  salah dalam  teori ini?dalam proses pemilihan wakil rakyat, kapital menjadi dominan  sehingga yang terjadi adalah  keinginan segelintir manusia untuk menguasai orang lain yang didorong oleh kepentingan seksional. Maka kapital menjadi perlu dan menentukan arus perpolitikan karena ketika seseorang berhasil meraih kekuasaan, dia akan dengan  mudah  menentukan aturan bagi rakyat. Mengapa? Karena dalam politik demokrasi, kedaulatan ada di tangan  rakyat  yang diwakilkan  kepada  mereka. Kewenangan  membuat hukum dan aturan ada di tangan  manusia.Sangat jarang manusia yang membuat aturan  tidak menguntungkan diri dan kelompoknya. Maka dengan kekuasaan jualah ambisi meraih kapital yang lebih tinggi menjadi nyata.
Di sisi lain, rakyat masih awam dengan  perpolitikan sarat kepentingan ini, sehingga mereka memilih wakilnya bukan didasarkan pada kapabilitas ( capabilities approa), namun lebih dikarenakan ketertarikan personal dan kemasan pemasaran diri yang menarik. Akibatnya ketika mereka terpilih menjadi wakil rakyat, banyak terjadi kekeliruan dalam pengaturan  urusan  rakyat, gagap dalam  menjalankan tugas dan fungsinya, penyalahgunaan wewenang terjadi dimana mana.
Nampaknya pandangan kita perlu berfokus pada pilar pilar kebebasan yang dijamin dalam demokrasi. Ada empat pilar kebebasan yang menyangga demokrasi ini yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berpemilikan dan kebebasan beragama. Akar masalahnya justru berasal dari konsep kebebasan yang meskipun dijamin dan dibatasi oleh undang undang tetap saja bersifat relatif. Karena undang undang bisa memihak siapa saja yang berkuasa. Jika pun yang membatasi kebebasan ini adalah konvensi umum yang berlaku di masyarakat dan kekuatannya melebihi kekuatan konstitusi, kita tetap perlu menengok seberapa tangguh  masyarakat yang terbentuk, setinggi apa kekuatan pemikiran  yang dominan di masyarakat, dan bagaimana standar perasaan yang dimiliki masyarakat. Apabila standar standar yang dimiliki masyarakat sudah  lemah, pengaruh intervensi budaya rusak menjadi kuat dan aturan  yang dibuat sudah bermasalah maka kebebasan ini akan menjadi self destructive. Kenyataannya akar konsep demokrasi tidak bisa berkompromi dengan humanisme, mudah terdistorsi dengan kepentingan seksional, memiliki standar yang nisbi. Jika demikian, bagaimana keabsahan demokrasi tidak dipertanyakan ?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar