Kamis, 03 Juli 2014

ASEAN Economic Community dan Gagasan tentang Ekonomi Islam



Asean Economic Community (AEC) merupakan salah satu dari tiga pilar dalam konsep kerjasama AC ( Asean Community) yang bertujuan untuk menyatukan negara-negara anggota menjadi sebuah kawasan bebas hambatan dan  menciptakan kawasan yang aman, damai sejahtera dan leluasa bagi masyarakat negara anggotanya.Ini adalah follow up dari pembentukan organisasi kawasan ASEAN, untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. AEC menjadi satu konsentrasi penting disamping APSC (ASEAN Political and Security Community), dan ASCC (ASEAN Socio-Cultural Community). Jika APSC memfasilitasi kerjasama dalam bidang politik, keamanan dan hukum, maka AEC berusaha untuk membangun kawasan yang kompetitif dalam hal ekonomi, sekaligus untuk membendung pengaruh kuat ekonomi dari China dan India. Sementara itu ASCC diproyeksikan untuk  mengembangkan isu-isu sosial seperti pemberdayaan manusia, kesejahteraan sosial, keadilan sosial, dan termasuk di dalamnya adalah membangun identitas ASEAN.
ASEAN Community  ini akan resmi diterapkan di negara-negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei, Vietnam, Kamboja, Filipina dan Vietnam) tahun depan.
Setiap pengambilan kebijakan politik berdampak luas bagi masyarakat dan seorang intelektual muslim seharusnya bersikap kritis agar bisa memberikan gagasan terbaik untuk self positioning di tengah konstelasi perpolitikan global.

Realitas Kebijakan AEC dan Tantangannya bagi Indonesia

            Secara konsep, AEC dibentuk sebagai wadah yang menyatukan negara negara anggotanya untuk mewujudkan tujun bersama yakni menjadi kawasan yang bebas hambatan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Namun ketidakjelasan pembagian antara aturan bersama dengan legitimasi domestik suatu negara, menyebabkan mengemukanya iklim kompetisi antar negara. Bagi Indonesia, AEC ini juga dikritisi sebagai bentuk kekalahan kita sebagai negara berkembang dalam perang kebijakan global. Kekalahan tersebut disebabkan ketidakmampuan  dalam menghasilkan kebijakan yang unggul dikarenakan ketidakmengertian pada substansi kebijakan publik dan tidak adanya analisis kebijakan, artinya kalaupun kebijakan politik ini dikemas dalam sebuah sistem perundang-undangan formal, namun substansi dan semangatnya tidak sedikit yang melenceng dari cita cita luhurnya untuk memberikan kesejahteraan rakyat dan membangun kemandirian.
Demikian pula perlu kita cermati prinsip-prinsip yang bisa berlaku dalam zona perdagangan bebas. Dalam zona perdagangan bebas dikenal prinsip reciprocity ( timbal balik).Dengan skema pasar tunggal, barang dan jasa bisa saling bertukar posisi di seluruh negara anggota ASEAN tanpa hambatan. Hal ini memungkinkan para dokter, pengacara, akuntan publik dari Malaysia, Singapura atau Thailand bisa masuk ke Indonesia, dan demikian pula dokter, dan tenaga ahli dari Indonesia pun juga bisa masuk ke negara tetangga. Ini sebuah tantangan besar bagi Indonesia yang secara umum tingkat penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa asing dan profesionalismenya masih di bawah kemampuan negara koleganya.
Prinsip lain dalam perdagangan bebas adalah non discrimination, yang meniscayakan dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff ( Tariff and non-tariff barriers).Misalnya dalam hal harga migas, kemungkinan pertama: Jika harga migas di Indonesia lebih murah daripada di Singapura,maka pihak Singapura boleh membeli migas dari Indonesia dengan harga sama dengan volume berapapun. Jika ini terjadi, maka besar kemungkinan akan mengancam terpenuhinya kebutuhan migas dalam negri, jika stok terbatas. Kemungkinan kedua: jika harga pasar harus disamakan di seluruh wilayah ASEAN, maka standar harga akan sama dan ini memungkinkan melonjaknya harga migas dalam negri mengikuti harga pasar ASEAN. Implikasinya, akan terjadi kenaikan harga komoditas lain dan bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia.

Perspektif Islam Tentang Ekonomi
            Sistem ekonomi berbasis syariah terbukti selama berabad abad mewujudkan tatanan ekonomi dunia yang adil dan produktif.Tentu kita perlu tahu bagaimana konsepsi dasarnya agar bisa menjadi referensi alternatif untuk memecahkan persoalan ekonomi saat ini.Ekonomi syariah memberikan panduan lengkap tentang mekanisme proses untuk membangun sistem perdagangan internasional yang produktif baik di dalam negri maupun luar negri, baik bagi warga muslim maupun non muslim.

Pengaturan Sistem Perdagangan Internasional dalam Islam
            Pengakuan seorang sejarawan barat Will Durant dalam bukunya, Tarikh al Hadharah menunjukkan bagaimana gambaran sistem perdagangan pada masa Khilafah abbasiyyah di era Khalifah Harun ar-Rasyid:        
           “Perdagangan domestik ketika itu sangat luas. Bergerak melewati sungai dan terusan. Harun ar-Rasyid berpikir untuk mengebor terowongan, yang bisa menghubungkan dua laut, yaitu Laut Tengah dan Laut Merah di tempat Terusan Suez. Dia pun telah merancangnya, namun Yahya al-Barmaki tidak memberinya dukungan untuk mengebor terowongan tersebut, karena beberapa alasan yang kita tidak tahu. Boleh jadi, karena alasan keuangan. Tetapi di atas sungai Dajlah di Baghdad, di mana lebarnya mencapai 750 kaki, telah berhasil dibangun tiga jembatan.. “

Dia melanjutkan:

“Ketika itu perdagangan besar telah melalui jalur-jalur ini. Di antara keistimewaan ekonomi yang dinikmati oleh wilayah Asia Barat (Timur Tengah) adalah adanya satu pemerintahan yang menguasai kawasan ini, di mana sebelumnya telah terbelah menjadi empat negara. Dampak dari kesatuan wilayah ini adalah hilangnya semua halangan tarif dan tax, serta halangan-halangan perdagangan yang lain di dalam negeri. Ini ditambah dengan fakta, bahwa bangsa Arab tidak seperti bangsawan Eropa yang selalu memalak pedagang dan memeras mereka..

Perbatasan seperti Baghdad, Bashrah, Aden, Kairo, dan Iskandariah telah mengirim ekspedisi perdagangan untuk mengarungi lautan luas. Perdagangan Islam pun menguasai negeri-negeri di Laut Tengah hingga terjadinya Perang Salib. Bergerak dari Syam dan Mesir di satu sisi, ke Tunisia, Shaqliyah, Marakesh (Maroko) hingga Spanyol di sisi lain. Perdagangan tersebut melintasi wilayah-wilayah Yunani, Italia dan Gala.

Dominasi atas Laut Merah tersebut telah dipindahkan dari wilayah Ethopia, meninggalkan Laut Khazar hingga Mongolia, naik di Sungai Volga; Finlandia, Skandinavia dan Jerman. Di sana, meninggalkan jejak beribu keping uang Islam…

Aktivitas perdagangan ini terus berlanjut, dan berhasil menghembuskan kehidupan yang kuat di seluruh penjuru negeri hingga puncaknya pada abad ke-10. Di saat Eropa masih mengalami kemunduran hingga pada level terendah. Ketika perdagangan ini telah tiada, jejak-jejaknya masih tersisa dan tampak jelas dalam sejumlah bahasa Eropa, di mana  sejumlah kosakata telah masuk di dalamnya. Seperti Tariff, Magazine, Cravan dan Bazaar.”

Tariff dan Magazine, adalah serapan dari bahasa Arab yaitu, Ta’rifah dan Makhzan. Sedangkan Cravan dan Bazaar berasal dari bahasa Persia. (Will Durat, Tarikh al-Hadharah, Juz XIII, hal. 109-110)

Syariah Islam mengatur perdagangan baik dalam negri maupun luar negri bukan melihat pada aspek barang yang diperdagangkan, namun melihat subjek yang melakukan perdagangan. Ada tiga klasifikasi subjek perdagangan menurut negara asalnya yaitu: (1) kafir harbi yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang memusuhi negara dan kaum muslim. (2) kafir Mu’ahad yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara (3) warg negara islam.
           Warga negara point 1. Diperbolehkan melakukan perdagangan di dalam negri dengan visa khusus baik terkait dengan diri maupun harta mereka. Warga negara point 2, maka pergadangan dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara khalifah dengan negara mereka. Sementara warga negara islam, baik muslim atau non muslim diberi kebebasan melakukan perdagangan baik domestik maupun luar negri. Hanya saja untuk komoditas strategis yang dibutuhkan dalam negri yang bisa melemahkan kekuatan negara dan menguatkan negara musuh tentu tidak boleh di ekspor ( masyru’ ad Dustuur pasal 157).

Kekuatan ekonomi sebuah negara terletak pada keberlangsungan sumber perekonomiannya, yang dalam hal ini tampak dalam empat hal yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Perdagangan memainkan fungsi strategis sebagai mekanisme distribusi hasil produksi.           

Kekuatan Ekonomi dalam Negri dengan Syariah Islam
           
            Islam memiliki sistem dan kebijakan ekonomi yang mampu mewujudkan  kesejahteraan. Ada tiga aspek dalam sistem ekonomi syariah,yaitu:
a.       Kepemilikan, dibagi menjadi  kepemilikan pribadi, kepemilikan  umum dan kepemilikan negara. Masing-masing kepemilikan ini  telah ditetapkan oleh syariah. Contohnya, lahan pertanian sebagai milik pribadi, tidak bisa dinasionalisasi. Sebagaimana kepemilikan umum, seperti migas, tambang dan lain-lain tidak bisa diprivatisasi  atau dimiliki oleh negara. Karena masing-masing telah diatur dan ditetapkan kepemilikannya oleh syariah.
b.      Pengelolaan kepemilikan , baik pembelanjaan  maupun pengembangan kepemilikan, harus mengikuti hak yang melekat pada kepemilikan harta tersebut. Karena hak mengelola harta itu merupakan konsekuensi dari kepemilikan. Contohnya: harta pribadi, bisa digunakan untuk pemiliknya, tetapi tidak oleh publik karena bukan milik mereka. Sebaliknya, harta milik umum, bisa dimanfaatkan oleh pribadi, karena izin yang diberikan oleh syariah kepadanya.
c.       Distribusi kekayaan di masyarakat. Distribusi kekayaan ini merupakan kunci dari masalah ekonomi. Jika distribusi kekayaan terhenti, akan menimbulkan masalah ekonomi. Maka distribusi kekayaan ini harus lancar, hingga sampai ke tangan individu per individu, agar masalah ekonomi teratasi. Karena itu, Islam melarang keras praktek menimbun harta, emas, perak dan mata uang. Tujuannya adalah, agar harta tersebut berputar di tengah-tengah masyarakat dan bisa menggerakkan roda ekonomi.

            Sistem ini ditopang dengan kebijakan ekonomi yang ideal, agar produksi dan distribusi dengan baik dan benar. Dalam hal Produksi, agar produksi domestik negara tinggi, dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, maka kebijakan negara terkait dengan sumber perekomian benar-benar diterapkan dengan baik dan benar. Sumber tersebut meliputi: (1) Pertanian; (2) Perdagangan; (3) Industri; (4) Jasa.
Dalam hal ini, negara akan memastikan seluruh sumber tersebut benar-benar bisa menghasilkan barang dan jasa, sehingga bisa menjamin produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat. Untuk itu negara menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian, atau membiarkan lahan pertanian tidak dikelola lebih dari 3 tahun,melarang praktik riba dalam perdagangan karena bisa merusak perekonomian. Negara juga memastikan, industri kepemilikan umum tidak boleh dikelola oleh swasta, baik domestik maupun asing. Ini juga untuk menjamin tingkat produksi demi menjamin kemakmuran rakyatnya.
 Dengan tingkat produksi yang tinggi, satu hal penting yang harus dipastikan oleh negara, yaitu terdistribusikannya barang dan jasa tersebut dengan baik di tengah-tengah masyarakat, sehingga setiap kepala bisa dipastikan telah terpenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.
                Indonesia, nampaknya perlu belajar dari sistem syariah jika menginginkan tatanan ekonomi yang kuat apalagi kekuatannya sudah terbukti dalam sejarah peradaban selama ribuan tahun. Identitas politik yang jelas, sangat dibutuhkan untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi. Semua tidak lain adalah untuk mencapai tujuan agar kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Menyeluruh bagi warganya muslim maupun non muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar