Rabu, 21 Januari 2015

Tentang Feminisme di Indonesia, Apa Kabar?



Feminisasi dalam sosiologi, merupakan pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam kelompok, masyarakat, atau organisasi ke arah fokus pada feminin. Ini adalah kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas.  Feminisasi ini menjadi kampanye global tidak saja di Negara-negara Barat, namun juga di negeri-negeri muslim.  Feminisasi ini merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan gender yang dianggap menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat dunia, dengan kata lain, feminisasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Deklarasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women) sebagai pencanangan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 dan berbagai konferensi perempuan yang diselenggarakan pada tahun-tahun berikutnya, menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan.  Hal ini makin nyata setelah Konvensi Internasional Kependudukan (International Conference Population and Development-ICPD), September 1994 di Kairo.  Konferensi tersebut merupakan batu loncatan penting yang mencetuskan bahwa “perempuan” adalah kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk.  ICPD ini melahirkan program aksi bertemakan Empowerment of Women” (pemberdayaan perempuan).  Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap sebagai sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapat peluang berkiprah lebih besar di berbagai bidang.Aksi ini dilanjutkan dengan Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995, yang menghasilkan BPFA (Beijing Platform for Action).  Dari sinilah lahir konsep  pengarus utamaan gender atau PUG. Pada saat itu, berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah, dan organisasi yang relevan untuk memastikan bahwa rencana aksi di berbagai area kritis dapat dilaksanakan dengan efektif agar segera terwujud kesetaraan gender.

JALAN PERUNDANG-UNDANGAN

Mengingat Kesetaraan gender mengharuskan adanya pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek yang benar-benar setara dan adil, maka sudah jelas bahwa ide ini bertentangan dengan Islam, baik secara filosofis maupun ideologis. Meski laki-laki dan perempuan sebagai manusia sama dalam pandangan Islam, namun Islam menetapkan peran yang berbeda terkait dengan keberadaan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan.  Sebagai contoh Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah hanya pada laki-laki sementara perempuan sebagai pengatur rumah dan ibu generasi.  Islam juga menetapkan bagian waris laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.  Selain itu, islam menetapkan adanya masa iddah hanya bagi perempuan baik karena perceraian maupun kematian suaminya.  Sebaliknya, islam membolehkan laki-laki untuk melakukan poligami hingga empat istri, dan menetapkan bagi perempuan hanya boleh memiliki satu suami.  Dengan demikian kesetaraan gender hanya akan terwujud bila aturan Islam ditinggalkan dan pembuatan aturan diserahkan kepada manusia.  Dengan kata lain, terwujudnya kesetaraan gender mengharuskan penerapan akidah sekulerisme dan sekulerisasi dalam kehidupan masyarakat

Perbedaan yang sangat mendasar tersebut menyebabkan sulitnya upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tengah kehidupan masyarakat.  Sementara di sisi lain,   berbagai konvensi dan rencana aksi yang telah disepakati dalam sejumlah konperensi tingkat global tersebut harus diterapkan oleh semua Negara anggota PBB termasuk Indonesia.  Oleh karena itu, upaya yang paling jitu adalah melalui undang-undang yang ditetapkan oleh Negara.     UU membuat upaya terwujudnya kesetaraan gender dapat lebih sistemis karena UU memiliki legalitas untuk memaksa rakyat untuk menerapkannya.  Apalagi pada kenyataannya, masih ada kesenjangan gender di Indonesia. 

Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam inpres tersebut dinyatakan tujuan PUG adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Dan strategi PUG ditempuh dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan PUG maka semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan, serta dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan.  Strategi ini dirumuskan agar desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program di seluruh ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat terwujud.   Berbagai peraturan lain juga dibuat untuk memperlancar pelaksanaan PUG baik tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam hal pembuatan anggaran responsif gender pada berbagai Kementerian  Negara dan Lembaga Negara.

Rupanya sebelum PUG diluncurkan, Negara sudah memberikan pengakuan atas hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia yang ditetapkan melalui Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita).  

Pada tahun 2005 dibentuklah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Perpres nomor 65 tahun 2005, yang salah satu nilai dasarnya adalah keadilan dan kesetaraan gender.  Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk mempercepat penghapusan kekerasan pada perempuan yang diyakini merupakan akibat ketidaksetaraan relasi laki-laki dan perempuan.

Selain itu, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Diantaranya adalah UU No. 23/2004  tentangPKDRT. Demikian juga dengan kewajiban kuota 30% dalam menentukan anggota legislatif melalui  UU  no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik Dan UU no 10 tahin 2008 tentang Pemilu, juga No 8 tahun 2012 tentang Parpol.  

Namun demikian masih ada banyak UU yang dianggap belum sesuai dengan kesetaraan gender.   Tahun 2009, Komnas Perempuan telah melaporkan undang-undang dan peraturan yang bdiskriminatif terhadap perempuan. KUHP (1/1946), UU Perkawinan (1/1974), dan UU Ketenagakerjaanb (13/2003) merupakan contoh undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian pula dianggap banyak terjadi kontroversi menyangkut UU Pornografi No. 44/2008 dan UU Kesehatan (36/2009). Kedua undang-undang ini dianggap berisi pasal yang berpotensi mengabaikan hak perempuan dalam menentukan pilihannya terkait kesehatan dan kebebasan berekspresi   Tahun 2010, Komnas Perempuan mengidentifikasi 63 dari sekitar 154 peraturan yang dikeluarkan di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa dari tahun 1999 hingga 2009 melanggar hak perempuan untuk berekspresi, memperoleh perlindungan dan bekerja Bahkan saat ini sedang diupayakan lahirnya UUKesetaraan Gender untuk memperkuat landasan hukum bagi pencapaian kesetaran gender.  RUU KG ini masih akan ditargetkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015 setelah gagal dalam Prolegnas tahun 2014.

PROMOSI IDE FEMINISME ISLAM

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya tidak cukup dengan jalan perundang-undangan,  Apalagi berbagai usulan revisi UU yang dianggap bias gender ternyata masih mendapatkan penentangan dari kaum Muslim.  Oleh karena itu,  perlu ada upaya diluar jalur UU yang dapat langsung bersinggungan dengan masyarakat.   Munculnya berbagai LSM ‘Islam’ sesungguhnya adalah jalur lain untuk promosi ide feminisme Islam.  LSM seperti Rahima berada di garis depan dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam bingkai Islam.  Bahkan Rahima yang memfokuskan kerjanya sebagai pusat pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan Pendidikan Orang Dewasa, secara intensif mengadakan PUP (Pendidikan Ulama Perempuan) di berbagai kota di Indonesia.

Pada November 2014 yang baru lalu PUP telah masuk edisi ke 8, dengan sasaran para mubalighoh dan kalangan pesantren.  Jejaring yang dibentuk dengan berbagai LSM termasuk ormas dan pesantren, membuat sosialisasi dan pemasyarakatan ide-ide feminisme Islam dapat dengan mudah tersebar.Demikian juga dengan Fahmina yang berdiri tahun 2000 di Cirebon.  Fahmina  bekerja untuk penyadaran publik dengan tiga isu utama yakni Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan gender (Isgen) serta Islam dan otonomi komunitas (Iskom) yang didekati dari sudut Islam dan tradisi keilmuan pesantren.

Dalam upaya menyuarakan ide kesetaraan gender, ada individu-individu yang menjadi  tokoh feminis muslim yang ada di garis depan diantaranya adalah Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin.
Pada tahun 2004, sebuah kelompok kecil yang menamakan dirinya Tim PUG Depag, dan diketuai oleh Siti Musdah Mulia meluncurkan buku kecil berjudul “ Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi hukum Islam”.  Isi buku tersebut menimbulkan penetangan masyarakat karena banyak aspek di dalamnya yang bertentangan dengan hukum Islam misalnya melarang poligami, membolehkan adopsi anak, membolehkan nikah kontrak, membolehkan wanita menjadi wali nikah, menyamakan waris anak laki-laki dan perempuan, menyamakan kesaksian laki-laki dengan wanita, memberikan masa tunggu untuk pria yang bercerai, membolehkan perkawinan beda agama dan lain-lain. Hukum-hukum ‘baru’ tersebut jelas dibuat bukan dengan semangat melaksanakan hukum Islam, namun justru dilakukan dengan pendekatan gender, pluralisme dan HAM .Karena itu bisa dipahami bila banyak permasalahan yang justru bertentangan dengan hukum Islam.

Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia rupanya  tidak hanya menggunakan jalur UU dan LSM dengan individu-individu feminis muslim. Mediamassa menjadi kekuatan penting untuk mengintroduksi dan menguatkan ide gender di tengah masyarakat. Media elektronik yang menjangkau masyarakat terpencil dan masuk ke ruangan-ruangan pribadi di rumah-rumah telah menjadi sarana yang mengemas ide serius menjadi bahan tontonan yang menyenangkan.  Walaupun media kadangkala hipokrit karena sering mengeksploitasi perempuan namun perannya amat strategis dalam upaya feminisasi. Penyebarluasan perlawanan terhadap ide patriarkal dan stereotipikal gender perlahan-lahan mendapatkan simpati publik. Mata media tidak pernah berkedip mengawasi dan memberitakan bagaimana pelaksanaan perda syariah di Aceh selalu merugikan dan mengancam hak-hak perempuan. Perda terkait larangan perempuan duduk mengangkang saat berkendara motor, kewajiban menutup aurat, berbusana Islami dan larangan khalwat adalah peraturan syariah yang sering menjadi sorotan media, termasuk media internasional karena dianggap melanggar HAM kaum perempuan Aceh.  

Akibat pemberitaan massif media, berbagai pengusung ide gender terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap praktek yang menghalangi implementasi feminisasi Islam. Seperti Lembaga HAM internasional (Human Rights Watch) yang sejak 2010 mendesak pemerintah lokal di Aceh dan pemerintah pusat Indonesia agar mencabut dua aturan Perda Syariah mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana muslim.  Kedua aturan itudianggap telah melanggar HAM dan konstitusi Indonesia. Pemberitaan media yang cenderung mendiskreditkan syariah Islam, tentu saja memudahkan kerja kalangan liberal tersebut.Tujuannya, tiada lain untuk memunculkan ketakutan masyarakat saat hendak menerapkan Islam sebagai jalan hidup.

DAMPAK PADA KELUARGA

Ide kesetaraan gender yang mulai diterapkan diberbagai kementerian atau lembaga negara dan diadopsi sebagian masyarakat membuat perubahan kehidupan kaum perempuan termasuk para ibu.  Salah satu indikatornya, jumlah kaum perempuan pekerja semakin banyak dari tahun ke tahun.  Pada 2003 jumlah PNS perempuan adalah 1.475.720 orang, kemudian tahun 2013 yang lalu meningkat menjadi 2.102.197 orang.Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif  yang menyebutkan bahwa salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak  berwujud  Day Care /Tempat Penitipan Anak.  Penyediaan day care  jelas membuat para ibu merasa lebih nyaman karena anaknya berada di tangan yang tepat.

Sisi negatif perempuan bekerja juga makin terasa nyata.  Keluarga makin tidak harmonis, ditandai dengan makin meningkatnya jumlah perceraian. Pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.  Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik.Dan 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan.

KDRT ternyata juga makin meningkat jumlahnya.Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan sejak tahun 2011 kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga termasuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan. Ketidak harmonisan keluarga juga memicu remaja untuk mengkonsumsi narkobaBerdasarkan hasil Survei Badan Narkotika Nasional(BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekira 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air adalah pengguna narkobaKesibukan orangtua dalam bekerja juga mengakibatkan fungsi keluarga tidak berjalan, sehingga terjadilah fenomena keluarga terminal.Tak jarang jika fenomena keluarga terminal menjadi penyebab kasus lainnya.  Seperti pernyataan Bendri Jaisyurrahman, aktivis Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang mengatakan bahwa keluarga terminal dapat merubah orientasi seks anak.

Di sisi lain, kekerasan pada anak juga makin meningkat,  KPAI bahkan menyebut  tahun 2013  sebagai tahun darurat kekerasan terhadap anak.  Yang lebih menggenaskan, pelaku kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual ternyata sebagian besar adalah orang yang dekat dengan anak.  Kondisi tersebut menandakan bahwa keluarga tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat berlindung bagi anak-anak.

Kondisi itu diperburuk dengan permasalahan yang terjadi pada remaja.  Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa.  jumlah seks bebas dikalangan remaja mengalami peningkatan. Usiapelaku seks bebas kian lebih muda.  Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14 tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19 tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.Tak hanya itu, perilaku tawuran di kalangan pelajar juga tak kalah miris. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2013 jumlah pelajar tewas sia sia karena tawuran mencapai 20 orang. Bahkan di tahun 2014 tawuran pelajar menjadi  kasus paling menonjol dan banyak menyita perhatian publik.

Demikianlah, feminisasi adalah perilaku sesat dan jahil. Buktinya, feminisasi di Indonesia tidak mampu mensejahterakan perempuan.  Bahkan sebaliknya, feminisasi hanya membawa kerusakan dan kehancuran keluarga, perempuan dan generasi.  Sesuatu yang pasti terjadi karena manusia telah meninggalkan hukum Allah. Padahal, hukum Allah adalah yang terbaik jika manusia mau melakukannya.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) - dr. Arum Harjanti

2 komentar: