Minggu, 11 Januari 2015

Tantangan Pariwisata di Era Neolib



Demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu tiga tahun, pemerintah memprioritaskan menggarap sektor-sektor primadona di Indonesia. Keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made), menjadikan pariwisata menjadi salah satu sektor penting yang perlu segera ditangani. Bahkan koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Betapa tidak, sektor pariwisata yang menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni  menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk Domestik Bruto).  Angka itu mencapai 23 persen dari total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013.

Menteri Pariwisata Arief Yahya, dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019.  Penargetan ini sejalan dengan program liberalisasi ekonomi  Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi. Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia.Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa.  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara (wisman)  dengan penghitungan satu wisman akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar  per tahun. 

Pariwisata sebagai Sarana transfer nilai
Sebagai varian sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi mendasar konsep ini. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan berselarasan dengan kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta kebebasan beragama (sekularisasi).

Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia.Saat ini dalam tataran diplomasi hubungan antar negara, mekanisme yang dikenal sebagai people to people conectivity sangat diandalkan selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya.  Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.

Sekalipun hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas memiliki tempat istimewa bagi Australia.Demikian juga negara-negara kapitalistik lain. Namun tantangan penanaman nilai-nilai sekuler kapitalistik masih harus dihadapi Barat, mengingat mayoritas muslim Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada asing dan proses penjarahan sumber daya alam  tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di Indonesia.Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Liberalisasi Budaya Indonesia
Format Indonesia yang demikian selaras dengan pembentukan ASEAN Community (Masyarakat ASEAN) pada tahun 2015.  Masyarakat ASEAN yang terdiri dari  Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),  MasyarakatPolitik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (MSA). Dalam pembentukan Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud adalah tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM, sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.

Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai.  Sekalipun Rusia, China,  Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat, namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi.  Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur dengan bangsa Barat seperti Australia, Eropa atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood. Tulisan Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan yang dimuat di harian Kompas 10/12/2014 menyebutkan bahwa kedekatan ASEAN dan Korsel turut dibangun oleh industri popnya.

Realitas berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini - terutama generasi mudanya- sudah terseret arus liberal. Bali, sebagai destinasi
wisata utama telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktivis penanggulangan AIDS nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang.Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun (sebanyak 3812 kasus) dan 30-39 tahun (358 kasus).

Tidak bisa dinafikkan, industri wisata dalam masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras, seksual dan hiburan. Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti ini berarti  makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT, pemerintah neolib kurang peduli dengan maraknya kemaksiatan itu, bahkan makin memperluasnya.  Semua itu disebabkan satu alasan yaitu uang.  Demi uang kepedulian terhadap kerusakan generasi menjadi hilang bersamaan dengan berkembangnya rasa apatis sekaligus kekuatiran masyarakat.  Padahal seharusnya pemerintah merupakan pelayan dan pelindung bagi  kepentingan umat.  Fungsi pelayanan saat ini berubah menjadi fasilitator atau regulator saja.

Pariwisata pada Masa Peradaban Islam
Dalam perspektif Islam, Negara bertanggung jawab dalam mencegah  terbukanya pintu kemaksiatan di dalam masyarakat. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.Obyek wisata yang mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan sejarah Islam bisa dipertahankan.  Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.

Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya.Sementara bagi wisatawan non-Muslim, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.

Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka negara bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan umat non Islam, maka harus dilihat, Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.

Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang.Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.

Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.

Dengan demikian, Negara sebagai negara tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.

1 komentar: