Kamis, 08 Januari 2015

MENGKRITISI KOTA LAYAK ANAK, UPAYA LIBERALISASI DINI?



Salah satu program yang  dikembangkan oleh  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kemeneg PPPA) adalah pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak  atau KLA.  Pada tanggal 19 Desember 2014 yang lalu, Deputi Tumbuh Kembang Anak  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,  Lenny Nurhayanti , menyatakan bahwa pada tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mentargetkan terwujudnya 100 kota/kabupaten layak anak (KLA), dan  hingga Nopember telah mencapai  190 kabupaten dan kota yang sedang mempersiapkan diri menuju kota layak anak.Kota layak anak merupakan bentuk investasi untuk membangun generasi penerus bangsa agar mereka lebih sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, cinta tanah air serta terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.Hal ini disebabkan karena anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi.

Apa sebenarnya Kabupaten/kota Layak Anak dan mengapa dikembangkan?  Benarkah KLA menjadi solusi pemenuhan hak anak?

Latar Belakang  KLA
Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak.  Ratifikasi KHA  disahkan dengan Keppres no 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5 Oktober 1990.Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak diawali dengan pengesahan UUno 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, Undang-undang ini  berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.  Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World FitFor ChildrenDeclaration  (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak(DLA)pada tanggal 10 Mei 2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children).

Pada tahun 2004, Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015”. Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia.Terdapat 4 (empat) bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC,  yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berdasarkan prinsip umum Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan terpenuhinya hak-hak dasar anak (hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi).Untuk mempercepat komitmen ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).Indonesia menjadikan perlindungan anak menjadi urusan wajib di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Untuk memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.  Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. 

Sebagai pedoman lebih lanjut dalam mengembangkan kabupaten/kota Layak anak, maka diterbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Tingkat Provinsi dan Peraturan Menteri  Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  Republik Indonesia  nomor 11 tahun 2011  tentang  Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan nomor 14 tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak.  Kementerian PP-PA telah merintis pembentukan kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk dapat dikategorikan sebagai kota layak anak daerah harus memenuhi persyaratan sebanyak 31 indikator yang diwujudkan,yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak untuk mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadikan kepentingan terbaik anak menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, program, dan anggaran pemerintah kabupaten/kota.

Di dalam Permen nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak,

Pengembangan KLA menurut pasal 5 Permen tsb adalah  berdasakan prinsip tata pemerintahan yang baik,  non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,  hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, dan   penghargaan terhadap pandangan anak.  Sementara Kebijakan Pengembangan KLA menurut pasal 6 diarahkan pada pemenuhan hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan;  lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif;  kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Adapun Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam setiap proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dan dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Landasan KLA bertentangan dengan Islam

Negara yang sudah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak mempunyai konsekuensi untuk mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak, membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak dan membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 2 tahun segera setelah meratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun.Bahkan PBB membuat suatu badan khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap Negara, yaitu Committee on the Rights of the Child.Sementara itu, Komitmen untuk mewujudkan DLAjuga merupakan upaya untuk makin mengokohkan implementasi KHA dalam mewujudkan hak anak.

Dengan demikian ratifikasi KHA dan DLA merupakan cara untuk memaksa dan  mengontrol Negara di dunia termasuk Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh dunia internasional melalui berbagai konvensi yang ditetapkan oleh PBB.  Semua produk hukum dari Negara yang telah meratifikasi konvensi PBB tersebut diharuskan sesuai dengan konvensi internasional tersebut. Adanya mekanisme pelaporan secara periodik kepada Committee on the Rights of the Child  menjadi bukti kontrol dunia internasional yang diwakili oleh PBB. Fakta bahwa sampai saat ini AS menjadi satu-satunya Negara yang belum meratifikasi KHA, meski sudah menandatanganinya pada tahun1995, menimbulkan  tanda tanya, mengingat AS terlibat secara aktif dan memberikan peran yang besar pada proses pembentukan KHA. 

Nilai-nilai yang saat ini sangat gigih ditanamkan kepada penduduk dunia termasuk kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia adalah konsep HAM dan kesetaraan gender.  Nilai inilah yang juga diupayakan  ditanamkan pada anak-anak melalui KHA dan semua upaya global untuk mewujudkan hak anak seperti DLA.  Padahal secara konseptual, HAM dan kesetaraan gender bertentangan dengan Islam.

Dalam pasal 6 Permen no 11/201  disebutkan bahwa Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini bila dikaitkan dengan KHA Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam KLA. Sementara Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.

HAM juga membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus  yang dikampanyekan secara global.  Praktek agama yang dianggap membahayakan hak anak misalnya, sering dikaitkan dengan aturan Islam terkait dengan sunat perempuan dan pernikahan.Begitu pentingnya mengarahkan pemahaman agama terhadap terhadap pemenuhan hak anak nampak dengan adanya program konsultasi seperti yang diadakan bulan Nopember 2014 yang lalu.

Kementrian PPPA bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Hak Anak.Meneg PP-PA menyatakan,tujuan konsultasi ini adalah untuk mengidentifikasi praktek-praktek budaya dan ritual agama yang membawa dampak bagi pemenuhan hak anak baik dampak positif maupun negatif sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang responsif anak dalam bidang agama dan budaya.Sebagai konsekuensi konsultasi ini, maka praktek agama yang berlandaskan ajaran agama akan dilarang ketika dianggap bertentangan dengan tujuan pemenuhan hak anak menurut KHA. Hal ini juga ditegaskan dalam point 23 resolusi PBB tentang World Fit for children.Hal ini akan membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Sang Pencipta, namun mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan KHA sebagai rujukan.

Kebebasan berpendapat juga mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA.dalam Pasal 5 Permen 11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya

Hal ini sejalan dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya tentang semua hal.Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi ruang yang sangat besar.Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat, melalui Peraturan PresidenNomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004.  Berbagai forum tersebut  diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan organisasi non pemerintah internasional. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi.Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. 

 Islam memang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut  tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran Islam.  Adanya banyak forum bebas berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan Islam.

KLA juga menjadi sarana tercapainya kesetaraan gender.Dalam resolusi Majelis Umum no S-27/2.tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan :
The achievement of goals for children, particularly for girls, will be advanced if women fully enjoy all human rights and fundamental freedoms, including the right to development, are empowered to participate fully and equally in all spheres of society and are protected and free from all forms of violence, abuse and discrimination. We are determined to eliminate all forms of discrimination against the girl child throughout her life cycle and to provide special attention to her needs in order to promote and protect all her human rights, including the right to be free from coercion and from harmful practices and sexual exploitation. We will promote gender equality and equal access to basic social services, such as education, nutrition, health care, including sexual and reproductive health care, vaccinations, and protection from diseases representing the major causes of mortality, and will mainstream a gender perspective in all development policies and programmes. 

Secara nyata tercapainya pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender. Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak.Hal ini makin jelas ketika dalam Point 24 dinyatakan perlunya merubah peran laki-laki dalam masyarakat.

We also recognize the need to address the changing role of men in society, as boys, adolescents and fathers, and the challenges faced by boys growing up in today’s world. We will further promote the shared responsibility of both parents in education and in the raising of children, and will make every effort to ensure that fathers have opportunities to participate in their children’s lives.

Makna sesungguhnya dalam perubahan peran laki-laki dalam masyarakat adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender, bukan sekedar memberi kesempatan ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.Namun agar ibu memiliki lebih banyak waktu sehingga dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan dan memiliki kebebasan dalam masyarakat.

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa pengembangan KLA yang berlandaskan kepada KHA dan DLA bertentangan dengan  nilai-nilai Islam.  Dengan demikian KLA akan membuat anak-anak sejak dini dijauhkan dari Islam dan diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai global.  

KLA menanamkan Liberalisasi sejak dini

Dengan mencermati program pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui pengembangan KLA.

Pengesahan KHA dan DLA menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global yang bertentangana dengan Islam.langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang.  Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat aturan.  Dengan demikian anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu pemikiran,  dan KLA dengan segala macam forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental.  

 Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi anak-anak muslim.  Apalagi Secara eksplisit dalam naskah akademik PNBAI 2015 dinyatakan bahwaPenyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs)”.

Sesungguhnya Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam.  Berbagai macam cara telah dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam apalagi penerapan Islam sebagai sistem kehidupan.  Secara sistematis, Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahama Islam’ kaum muslim.  Rupanya upaya itu tidak hanya menyasar muslim dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA.   Dan dunia global memastikan keberhasilan upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara yang harus dikirimkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan –kecuaali AS tentunya karena Negara ini belum meratifikasi KHA.Maka sangat jelas KLA menjadi alat untuk menancapkan hegemoninya dalam menyiapkan generasi seperti yang mereka kehendaki, yaitu generasi yang mengemban nilai-nilai global yang justru menghancurkan Islam.  Dengan demikian KLA justru akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, karena akan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan aturan Allah dalam kehidupannya.  Wallahu a’lam

1 komentar: