Selasa, 22 April 2014

KEBIJAKAN SJSN/BPJS DALAM TIMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM: Sebuah Tinjauan Kritis


Seputar UU  SJSN dan BPJS
Konsep SJSN yang diterapkan di Indonesia, ini merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam  bentuk LoI antara IMF dan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis .Sebelum membantu  negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan  isi dari Konsensus Washington, IMF  menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10 elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Ketiga syarat tersebut harus dilakukan oleh negara yang ingin dibantu oleh IMF.

Program penyesuaian struktural ini meliputi liberalisasi impor dan pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan), devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan  pembatasan  kredit untuk  rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities (kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah, liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.

Program SAP  inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Bidang Ekonomi lahirlah  UU PMA , UU Migas, UU Minerba, UU SDA ,sedang dibidang Pendidikan muncul UU Sisdiknas dan UU BHP  yang  melahirkan swastanisasi dan komersialisasi layanan  pendidikan. Dalam bidang kesehatan ini lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisasi layanan publik di bidang kesehatan.

Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa  pemerintahan  Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.

 Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis :  ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).  Dalam Dokumen Tahap I FGSSR disebutkan : Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial , Fase I akan (i) mengalihkan institusi terkait dengan pelaksanaan asuransi sosial wajib dan program sosial dibawah pengawasan otoritas jasa keuangan (ii) menigkatkat tata kelola dan pengawasan sistem asuransi sosial yang wajib dan sistem jaminan sosial yang ada ….(vii) membangun UU baru dan Badan Baru untuk menyelengggrakan jaminan sosial[2].

  Akhirnya Tahun 2004 ditetapkan UU SJSN dan Tahun 2011 dibentuk BPJS. Setelah  UU SJSN disahkan ILO Jakarta yang hampir tidak terdengar kiprahnya di bidang jaminan sosial selama 7 tahun terakhir pasca pengesahan UU SJSN, kini bangkit membantu pemerintah Indonesia dan para pemangkunya dengan mengusung isu “social security and social protection floor”- perlindungan sosial universal untuk seluruh penduduk.  Dari pertemuan ILO tersebut, terungkap pula bahwa World Bank Jakarta tengah mempersiapkan skenario implementasi  program  jaminan  pensiun  SJSN.  Mitchell Winner, pakar jaminan  pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan pensiun.

    
Mengkritisi Pasal -Pasal SJSN

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti sistem asuransi. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam  Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Kemudian  Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi  kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.[3]
              
               Dari dua pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada  individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam  masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta  yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.

               Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
                 
Mengkritisi Pasal-Pasal dalam UU BPJS
BPJS adalah  lembaga yang dibentuk  berdasarkan  UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).  BPJS akan menjadi lembaga  superbody yang memiliki kewenangan  luar biasa di negara ini untuk mengambil dana dari  rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, tapi sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia.  Kedua UU tersebut  mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004  pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan  berdasarkan prinsip asuransi sosial.                        

Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotong royong  (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan.

Juga disebutkan dalam huruf  b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya  investasi dan pencarian  manfaat (istilah lain dari keuntungan), yang  tentu saja terbuka kemungkinan terjadi  kerugian.                                         

Inilah fakta sebenarnya dari UU BPJS bagi rakyat. Rakyat dipaksa sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memaksa, karena UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi. Maka patut dikritisi  jika dikatakan bahwa UU  ini akan  membawa  kesejahteraan bagi  rakyat. Sebaliknya rakyat akan  terbebani oleh kewajiban yang ditetapkan oleh UU tersebut.

Kedua undang-undang tersebut  menurut penulis hanya akan mengokohkan  hak sosial rakyat yang berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan aturan ini akan mengeksploitasi rakyat demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditas bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual.Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, di mana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan  kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan  usaha asuransi.

Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multinasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b di mana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.                                                                

Melihat hal tersebut, UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bertentangan dengan filsafat hukum. Maka sudah seharusnya, pemerintah dan DPR membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. (lihat pasal-pasal lain dalam UU BPJS yang patut dikritisi dalam tabel 2 dibawah ini) .

Tabel 2
PASAL – PASAL KRITIS  dari UU BPJS[4]
No.
Pasal (isi)
Interprestasi dan Dampaknya
1.
Pasal 1 ayat 6
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

Yang tidak membayar Iuran sudah pasti tidak akan mendapatkan pelayanan jaminan sosial.

2.
Pasal 3
BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.

Yang benar tujuannya untuk mencari keuntungan dari  penderitaan  rakyat melalui “ iuran premi “
3.
Pasal 7
(1)      BPJS sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 5 adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini.

Badan Hukum Publik adalah bahasa lain dari Swastanisasi Pengelolaan Jaminan Sosial atau asuransi yang selama ini di kelola BUMN. Badan Hukum Publik juga digunakan dulu untuk beberapa universitas yang disebut dengan BHMN yang akhirnya dibatalkan oleh MK.
4.
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentinganPeserta;

Akan terkumpul dana yang cukup besar dan itu dikelola oleh swasta (perusahaan asuransi baik lokal maupun asing dalam bentuk reasuransi yang sudah menunggu perusahaan asuransi dari eropa ), kalau asumsi premi terrendah yg wajib dibayar Rp.20.000 per bulan per orang dengan jumlah penduduk 240 jutaan akan terkumpul dana sekitar 4,8 Trilyun per bulan, maka wajar ADB dan World Bank berani membiayai agar UU BPJS ini disahkan dengan dana Rp. 2,25 Trilyun.
5.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan social nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; mengenakan sanksi administrative kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;


Penagihan pembayaran iuran bersifat memaksa dan yang telat bayar didenda 1 % dan bisa kerja sama dengan Pemerintah utk meminta mereka yg tidak membayar premi (iuran) tidak mendapat pelayanan kepentingan publik seperti bikin Akta dll.

Penempatan Investasi dalam bentuk surat-surat berharga sangat rentan terkena krisis (inilah yang sekarang terjadi di eropa), akhirany rakyat menjadi korban.

Pasal 14
Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.

Inilah pemaksaan yang sebenarnya melebihi Kewajiban  membayar pajak, karena semua orang wajib membayar premi asuransi.

Pasal 17
(1)Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik.


Inilah bentuk pemaksaan yg zalim

Pasal 24
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi berwenang untuk:
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Pengawas;
g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan
h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Sangat mudah untuk mengkorupsi dana ini utk  tujuan dan kepentingan  pribadi direksi, Dewan Pengawas, Presiden dan DPR

Pasal 41
(1) Aset BPJS bersumber dari:
 a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
c. hasil pengembangan aset BPJS;
d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BPJS dengan mudahnya mendapatkan dana ratusan trilyun dari BUMN yg selama ini mengurusi masalah asuransi seperti Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.










Pasal 47
BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai kepailitan.

BPJS bisa menghindar atas kewajibannya membayar utang-utangnya baik kepada nasabah atau pihak ke 3 .
                   
  Implementasi  UU SJSN dan BPJS
               Sistem Jaminan Sosial Nasional ini mulai diberlakukan mulai tahun 2014 ini, untuk itu pemerintah telah mengeluarkan petunjuk teknis untuk operasional dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Keputusan presiden yaitu PP no. 101 Tahun 2012 tentang penerima bantuan iuran (PBI) dan   Perpes no. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
                            Kedua peraturan tersebut juga ditolak oleh mereka yang selama ini sangat mendukung dan  menuntut segera dilaksanakan UU SJSN  seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan  Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI).              
               Beberapa aturan teknis yang ada  dalam  PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah privatisasi atau komersialisasi layanan publik adalah :
1.    Dalam  PP itu disebutkan bentuk badan hukum saja bukan badan hukum publik, dengan bentuk badan hukum publik saja seperti Perguruan Tinggi nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan apalagi kalau  badan hukumnya selain badan hukum publik misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT maka orientasinya adalah profit atau keuntungan. 
2.     Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah mereka yang membayar iuran premi asuransi. Dalam kedua PP tersebut tidak disebutkan besarnya iuran tapi berdasarkan draft PP dan Usulan Pokja BPJS ada 3 kelompok  kepesertan yaitu Kelompok miskin atau Penerima Bantuan Iuran  dengan  premi yang harus dibayar sebesar Rp.22.500 dan berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3, Kelompok yang menginginkan pelayanan kelas 2 membayar Rp.40.000 per bulan sedangkan Kelompok yang menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp.50.000 perbulan. [5]
3.    Dalam Pasal 17 UU SJSN disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Jadi implikasinya kalau yang tidak tercatat atau tercatat tapi belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar  akan ditolak atau tidak akan mendapat layanan dari rumah sakit.
4.    Tim Pokja BPJS mengajukan  Penerima  Bantuan Iuran untuk rakyat Miskin sebesar  Rp 22.200 per orang per bulan dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga  total sekitar  Rp 25, 5 Trilyun tapi  Menkeu hanya menyetujui Rp.15.500 per orang dengan orang miskin yang ditanggung sebesar 86 juta atau  total Rp. 16 Trilyun. Artinya rakyat miskin yang selama ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp.6.700 karena pemerintah hanya menanggung premi Rp.15.500. Artinya kalau nunggak atau tidak membayar jelas tidak akan mendapatkan layanan kesehatan. Yang juga perlu diperhatikan Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar secara penuh.
5.    Walaupun sudah membayar iuran premi belum tentu orang miskin ini akan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai karena menurut Ikatan Dokter Indonesia Iuran sebesar Rp. 22.200 itu dinilai belum mencukupi nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya Rp 60.000 per orang per bulan.
6.    Yang cukup menarik untuk diperhatikan juga penentuan besarnya orang miskin yang akan mendapat bantuan Tim POKJA  BPJS  mengajukan 96 juta orang  dan yang disetujui  86 juta Orang. Sementara selama ini pemerintah menyatakan berdasarkan data BPS misalnya tahun 2012 orang miskin itu sekitar 30 juta orang. Ini menunjukkan data orang miskin yang sebenarnya atau  untuk menjadi lahan korupsi baru dengan mengkorupsi  dana APBN dengan alasan untuk orang miskin ?
 Itulah sebagian  persoalan  SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan jaminan sosial bagi masyarakat ternyata hanya akan menambah beban  baru bagi masyarakat. Selain itu, ternyata tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh  sistem tersebut. Salah satunya adalah pelayanan kesehatan  akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah [6](lihat pasal 25 ayat a sampai n PERPRES No, 12 Tahun 2013) . Dengan demikian, jika seorang pasien yang dirawat akibat wabah tertentu seperti DBD maka ia tidak berhak mendapatkan  layanan gratis alias harus bayar. Ini merupakan strategi agar BPJS terhindar dari pembayaran klaim yang membengkak tajam.
     SJSN dan BPJS Dalam Timbangan Filsafat Hukum Islam
 Kembali kepada tujuan diberlakukannya sebuah hukum, yaitu untuk menciptakan  keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, maka terdapat beberapa aliran dalam filsafat hukum.[7] Maka keberadaan  pemberlakuan UU BPJS dan SJSN bisa kita kritisi dari aspek filsafat hukum  Islam. Para ahli hukum Islam  berpendapat bahwa hukum Islam bersumber dari ajaran Islam  ( Al-Quran dan Al-Hadis) sehingga bisa disebut Law is religion. Hukum Islam biasa disebut Islamic law dan Islamic Jurisprudance. Islamic Law disebut syariat islam dan Islamic Jurisprudance disebut fikih 
Syariah  secara terminologis adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan  manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan tersebut antara lain mencakup kaidah ibadah,  kaidah muamalah dan kaidah sunatullah.
Persoalan UU SJSN/BPJS ini terkait dengan kaidah  muamalah dalam aliran filsafat hukum Islam.  Mengenai  kidah mualamalah ini, hanya pokok pokoknya saja yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As Sunnah. Adapun rinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Hal ini didasarkan kepada tujuan hukum Islam  dalam  kaitannya dengan perubahan sosial yang biasa disebut maqasid asy-syariah.
Banyak ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tujuan adanya hukum Islam yaitu  untuk kemaslahatan umat manusia sebagaimana dalam QS Al Anbiyaa ayat 107 yang artinya “ Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan ntuk ( menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.[10] Ayat tersebut secara umum menunjukkan bahwa tujuan  hukum  Islam adalah untuk  mencapai  kemaslahatan. Ada lima hal pokok yang harus diwujudkan untuk mewujudkan kemaslahatan yaitu pemeliharaan atas agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta.
Persoalan kesehatan adalah persoalan dlaruriyah  menurut  hukum  Islam. Ia adalah salah satu dari 6 kebutuhan pokok manusia yaitu: sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan  pendidikan. Karena  ia adalah kebutuhn pokok, maka pemenuhannya pada tiap individu  rakyat menjadi tanggung jawab negara dengan menjamin masing masing individu rakyat untuk terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kesehatan merupakan hal yang harus dipelihara karena ia menyangkut nyawa manusia, hak hidup yang asasi pada manusia.
Pelayanan  publik dalam  hal kesehatan  merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim). Hadits tersebut setidaknya menunjukkan dua hal yaitu pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (riayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum  untuk seluruh rakyat.Pasalnya kata rakyat (ra’iyyah) dalam hadits tersebut berbentuk umum.                                                       
Adapun wajibnya pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara telah ditunjukkan oleh  sejumlah dalil syara’. Pelayanan kesehatan sendiri merupakan bagian dari urusan  rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat penting bagi mereka.Sementara pelayanan urusan  rakyat-- sebagaimana hadits di atas--merupakan kewajiban negara. Selain itu, jika pelayanan tersebut tidak dipenuhi maka akan menyebabkan mudharat. Padahal menghilangkan dharar merupakan kewajiban  negara. Dalil lainnya adalah ketika Rasulullah saw ketika dihadiahkan  seorang tabib maka beliau  menjadikannya untuk rakyat dan bukan untuk dirinya pribadi.
 Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas). Demikian  pula dalam  riwayat Al-Hakim disebutkan bahwa Zaid bin Aslam dari bapaknya ia berkata: Di masa Umar bin Khattab saya menderita sakit parah. Lalu Umar memanggilkan tabib untukku.Tabib itu menjagaku dimana saya harus menghisap biji kurma untuk berdiet.”Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya.          
Oleh karena itu, pemberlakuan UU SJSN /BPJS ini tidak tepat jika dipandang dari aliran filsafat hukum Islam.


 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar