Jumat, 26 Desember 2014

ABORSI DALAM PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI, DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN HUKUM



     
                            

Anak adalah dambaan orang tua sekaligus amanah Allah SWT. Dia merupakan penyejuk mata dan harapan bagi orang tua dan keluarga dimasa depan dunia maupun di negeri abadi yaitu akhirat. Anak merupakan kebanggaan sekaligus ujian. “Dijadikan indah dalam pandangan manusia,  kecintaan  kepada apa apa yang diinginkan  berupa wanita, anak anak, harta benda  yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan dan hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan  hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. ( TQS Ali Imran :14)[1].  Oleh karena itu agama menjadikan keberadaan anak sebagai upaya pelestarian /pemeliharaan jenis manusia didahului oleh sebuah ikatan yang kuat ( mitsaqan ghalizha) melalui gerbang pernikahan. Kehadiran anak menjadi sesuatu yang didambakan dan dinanti nanti keluarga besar dan padanya tempaan pendidikan terbaik diberikan sehingga sempurnalah kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup setiap insan.
Namun, saat ini kehadiran  anak seringkali bersifat kontraproduktif dengan tujuan dihadirkannya ia didunia. Adanya janin dalam kandungan dianggap sebagai aib. Alih alih disambut oleh keluarga, justru keberadaannya disembunyikan, dikhawatiri bahkan tak sedikit yang ingin segera melenyapkannya dari rahim ibunya. Aborsi. Sebuah fenomena besar bahwa dalam dasawarsa terakhir data aborsi mengalami angka yang fantastis. Data tahun 2013 yang dilansir oleh Statistik PBB menunjukkan bahwa 16 juta remaja dibawah usia 18 tahun telah melahirkan dalam  setahun  dan  diantaranya sebanyak 3,2 juta remaja menjalani aborsi yang tidak aman. Kehamilan di kalangan gadis remaja sering kali diakibatkan oleh  diskriminasi, pelanggaran  hak, pendidikan yang tidak layak, dan hubungan seks secara paksa. Sementara itu di Indonesia rata-rata jumlah remaja usia 15-19  tahun yang melahirkan  dalam rentang waktu antara tahun 2007 -2012  melonjak tajam. Tahun 2007 rata-rata kelahiran pada remaja adalah 35 per 1.000 kelahiran,  sedangkan tahun 2012 menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jumlahnya menjadi 45 per 1.000 kelahiran. Angka pernikahan dini  meningkat menyebabkan jumlah kelahiran di tingkat remaja semakin melonjak.  Menurut katagori United Nations Development Economic and  Social Affairs (UNDESA)  2011, Indonesia menempati peringkat ke-37 sebagai negara dengan jumlah perkawinan dini terbanyak di dunia. Sekitar 46 persen remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual  Dan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010  menyatakan bahwa 46% perempuan Indonesia menikah sebelum berusia 20 tahun[2].
Keadaan ini menyebabkan pemerintah tergerak untuk menerbitkan regulasi terkait kesehatan repoduksi yang tertuang  dalam PP ( Peraturan Pemerintah) No.61 tahun 2014  tentang Kesehatan Reproduksi .  PP ini merupakan amanat dari UU No. 36/2009  tentang kesehatan. Didalamnya terdapat pasal yang mengatur tentang aborsi sebanyak sembilan  pasal dan  juga  mengatur  permasalahan kesehatan ibu ( 23 pasal). 
Keberadaan PP ini cukup menimbulkan polemik. Menurut menkes Nafsiah Mboi keberadaan PP ini sangat penting. Pasalnya , perempuan korban perkosaan umumnya harus menanggung beban psikologis sekaligus ekonomis. Ia harus menghidupi anak yang dilahirkan dan konsekuensi  sebagai korban kekerasan seksual yang sering mendapatkan cercaan dari masyarakat. Menteri pemberdayaan perempuan Linda Gumelar juga mendukung PP ini dengan alasan bahwa perempuan korban perkosaan pada umumnya mengalami trauma panjang.
Sementara itu sebagian  kalangan menolak PP tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Kapolri, KPAI hingga ketua IDI. Umumnya penolakan tersebut dengan alasan bahwa PP ini bisa disalahgunakan hingga bisa menumbuhsuburkan pergaulan bebas dan  bertentangan dengan KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa serta melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran.  

PP No 61 tahun 2014 Dalam Polemik
Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi memberikan legalitas terhadap tindakan aborsi bagi korban perkosaan. Pemerintah telah mengeluarkan PP  ini sebagai  amanat UU kesehatan No.36/2009. Pelegalan aborsi yang mengacu pada UU Kesehatan No. 36/2009[3] , khususnya pasal 75 ayat (1)  menyatakan bahwa, “setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”.
Penjabaran UU No. 36/2009 ini tampak dalam beberapa pasal terkait aborsi dalam PP No. 61/2014 ini, diantaranya yang perlu untuk dikritisi adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 26
(1)     Setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
(2)     Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehidupan seksual yang:
a.       terbebas dari infeksi menular seksual;
b.      terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;
c.       terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
d.      mampu mengatur kehamilan; dan
e.       sesuai dengan etika dan moralitas.
Pada pasal ini, tampak adanya nuansa liberal dengan adanya kebebasan bagi perempuan untuk menjalani kehidupan seksual tanpa rasa takut dan diskriminasi. Pasal ini  akan menjadi pasal karet yang bisa melindungi perilaku pergaulan bebas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia cenderung permisiv dalam berperilaku termasuk dalam tata pergaulan. Artinya, pasal ini mengabaikan aspek sosiologis masyarakat Indonesia dalam berperilaku yang cenderung mengikuti  barat secara buta. Indonesia  merupakan surga  pornografi kedua setelah Rusia berdasarkan data Assosiated  Press (AP) ( tahun 2011). Dampak paling terlihat adalah maraknya pergaulan bebas  dan tingginya  angka aborsi. Memang benar bahwa salah satu esensi dari PP ini adalah komitmen pemerintah untuk memberikan perangkat hukum terhadap kesehatan reproduksi, termasuk kaitannya  dengan hak ( kebebasan) perempuan untuk menentukan kehamilan yang terjadi pada dirinya. Semangat ini pulalah yang mendasari legalisasi aborsi , karena perempuan pada kondisi kedaruratan medis atau korban perkosaan tetap memiliki hak untuk tidak melanjutkan kehamilannya serta layak untuk difasilitasi.
  1. Pasal 31

Dalam pasal 31 PP no 61 tahun 2014 dinyatakan bahwa:
(1)                          Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
A.    indikasi kedaruratan medis; atau
B.     kehamilan akibat perkosaan.
(2)               Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan  apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
  1. Pasal 33
Pasal 33 ayat (1,2) menyebutkan bahwa,”Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, paling sedikit dari 2 orang  tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. [4]
  1. Pasal 34
(1)    Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2)    Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a.       usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter;dan
b.      keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Beberapa pasal dalam PP No 61/2014 tentang Kesehatan reproduksi  yang memfasilitasi aborsi bagi korban perkosaan ini berpotensi menimbulkan polemik dalam masyarakat. Sejumlah kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi karena  sama saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi. PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan dinilai kurang tepat.
Pemerintah terjebak kepada solusi kuratif daripada preventif  apalagi komprehensif untuk menangani maraknya aborsi , pergaulan bebas dan kehamilan tak diinginkan. Solusi ini adalah solusi yang dilematis karena secara kontekstual kondisi carut marutnya tata pergaulan di Indonesia sudah tidak terhindarkan lagi. Secara normatif hadirnya PP ini menggambarkan kekaburan konsep aturan kesehatan reproduksi karena tidak berpijak pada basis  empiris masyarakat secara tepat. Hal ini menjadikan pertanyaan, untuk kepentingan apa dan siapakah peraturan ini dibuat?
Dalam PP ini satu sisi perempuan korban perkosaan mungkin sedikit tertolong, namun sesungguhnya ada dampak lain  yang jauh lebih buruk. Dampak buruk tersebut mencakup aspek psikologis, medis maupun sosial. Dampak psikologis aborsi sesungguhnya tidak bisa dipandang ringan. Berdasarkan penelitian, aborsi dapat menimbulkan berbagai dampak dan  resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa. Informasi ini  sangat menyesatkan . Ada dua macam  resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi, yaitu:
1.      Resiko kesehatan dan keselamatan fisik
2.      Resiko gangguan psikologis.
Resiko kesehatan dan keselamatan fisik
Secara medis, wanita yang melakukan aborsi akan mengalami  kondisi sangat buruk pada saat aborsi maupun pasca melakukan aborsi. Sebagaimana dijelaskan dalam  buku ‘Facts of Llife” oleh Brian Clowes, PhD yang akan dialami perempuan dalam aborsi adalah:[5]
a.       Kematian mendadak karena pendarahan hebat
b.      Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
c.       Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
d.      Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
e.       Kerusakan leher rahim  (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
f.       Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
g.      Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
h.      Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
i.        Kanker hati (Liver Cancer)
j.        Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan  pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k.       Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
l.        Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
m.    Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Resiko gangguan psikologis
Sementara itu secara psikologis, resiko yang akan dihadapi perempuan yang  melakukan aborsi adalah gejala “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS.[6]Gejala tersebut antara lain:
a.       Kehilangan harga diri (82%)
b.      Berteriak-teriak histeris (51%)
c.       Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
d.      Ingin melakukan bunuh diri (28%)
e.       Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
f.       Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)
Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.[7]
Hal lain yang juga merupakan masalah serius adalah masalah keamanan pada para wanita secara sosial. Para pelaku perkosaan bebas melenggang dan justru mendapatkan jalan keluar karena toh korban akan mendapat rehabilitasi melalui aborsi legal tersebut. PP tentang aborsi ini juga akan melegalkan pergaulan bebas yang pada akhirnya akan merusak generasi.
Alasan syariah dalam peraturan ini, yakni rujukan fatwa MUI No.4/2005 tentang Aborsi, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.[8] tentu saja tidak serta merta membuat produk hukum pemerintah ini bisa dikatakan islami. Pasalnya, persoalannya bukan semata dilihat dari kacamata fiqh tentang kapan masanya janin boleh digugurkan, atau semata mata kemaslahatan untuk menolong korban pemerkosaan. Namun juga harus dipertimbangkan landasan , jiwa, tujuan hingga dampaknya bagi masyarakat dan bangsa. Karena kenyataannya sebelum aborsi dilegalkanpun, pergaulan bebas sudah begitu maraknya.

Aborsi dalam sudut pandang Perbandingan  Hukum Islam – Hukum Positif.
Hukum Islam berperspektif  bahwa, setiap bayi  berhak untuk hidup. Dia bersifat suci dan terbebas dari dosa.  Oleh karena itu  penyebab kehamilan tidak menjadi alasan utama dilakukannya aborsi. Terlebih lagi apabila kehamilan itu normal. Apresiasi terhadap eksistensi manusia dalam pandangan Islam harus   harus lebih diutamakan. Kecuali jika  kehamilan  tersebut mengancam  kelangsungan hidup si ibu, maka kondisinya akan berbeda, dalam hal ini, aborsi mungkin bisa menjadi pilihan.  Namun, jika kehamilan tersebut bisa diteruskan sementara si ibu tidak mengalami gangguan kesehatan akibat kehamilan, maka aborsi bukanlah sebuah pilihan. Sikap yang lebih baik adalah  meneruskan kehamilan itu hingga akhirnya melahirkan dengan baik. Karena, Islam mengenal konsep maqashid asy Syari’ah, yang salah satu aspeknya adalah menjaga nyawa (hifdzu an  nafs).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan bahwa aborsi diharamkan dalam Islam. Apa pun alasannya, membunuh bayi dalam kandungan secara sengaja jelas tak diperbolehkan. Di samping itu sangat sulit untuk menetapkan asal usul suatu kehamilan karena tidak ada suatu mekanisme yang secara jelas bisa memonitor, mengontrol, dan memastikan seorang perempuan hamil karena diperkosa atau karena hal lain.
Pemerintah  dalam hal ini kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara hukum positif   memandang  perlunya  menyiapkan peraturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan ( permenkes) dengan aturan turunan sebagai pengimplementasian PP Kesehatan Reproduksi tersebu,t agar keberadaannya sejalan dengan tujuan pemeliharaan masyarakat dan dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan hukum. Dalam proses penggodokan permenkes tersebut banyak komponen masayrakat yang dilibatkan yaitu mulai dari organisasi profesi, LSM pemerhati anak, aparat hukum, pemangku kepentingan dan masyarakat termasuk tokoh agama. Ini adalah bentuk langkah sosialisasi dan edukasi yang penting dalam mencapai keberhasilan politik hukum dalam implementasi PP tersebut. Disamping itu, acuan yang jelas dalam teknis pelaksanaan hukum ini sangat diperlukan agar tenaga kesehatan sebagai pelaksana teknis tidak mengalami kekaburan. Legalitas aborsi untuk korban perkosaan menurut konseptor PP ini, sangat dimungkinkan dengan pertimbangan kepentingan ibu dan anak yang dikandungnya. Sebab jika seorang ibu mengandung anak hasil korban perkosaan, baik secara psikis maupun fisik, tentu tidak baik untuk perkembangan janin dirahimnya. Karena pada korban perkosaan, penolakan terhadap janin yang dikandungnya bisa berakibat fatal. Seperti mencoba bunuh diri, mengonsumsi obat-obatan atau hal-hal lain yang bisa mengurangi depresi.
Maraknya kasus anak  dengan gangguan mental dan fisik yang makin meningkat jumlahnya dewasa  ini idak lepas dari kesiapan ibu untuk hamil. Ada banyak perempuan yang tidak siap untuk hamil, tetapi keadaan memaksanya harus hamil. Padahal untuk melahirkan anak yang sehat  secara psikis maupun fisik, intervensi terhadap kesehatan ibu selama kehamilan sangat dibutuhkan. Intervensi tersebut meliputi asupan gizi, pemeriksaan kesehatan berkala hingga faktor emosi si ibu.Inilah alasan pemerintah menyikapi polemik PP No 61 /2014 ini.
Pedoman teknis pelaksanaan PP ini akan memperhatikan:
 pertama aspek kemanusiaan. Artinya secara hukum, korban kekerasan seksual harus diayomi dan didampingi untuk menanggung derita yang dialaminya.
Kedua, aspek kesehatan. Dari segi usia apabila aborsi dilakukan pada perempuan yang usianya terlalu muda, maka dapat juga menyebabkan kematian yang juga berhubungan dengan aspek pertama dari unsur kemanusiaan.
Ketiga, aspek agama yang tentunya akan menimbuhkan masalah karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam agama.




[1] Departemen agama RI,Alquran dan terjemahannya, ( Kudus: menara Kudus. 1427  H)
[2] http:/www.indonesiaucanews.com
[3] http:// e-report.alkes.kemkes.go.id/../ UU_No 36 tahun 2009
[5] Clowes, Brian., The facts of life : An Authoritative Guide to Life and family, Human life International ,( 1997)
[6] ibid
[7] http://www.aborsi.org
[8] Http:// repository.usu.ac.id/handle/fatwa MUI no 4 tahun 2005

1 komentar: