Kamis, 10 Oktober 2013

PORET SINGKAT KEMUNDURAN IJTIHAD DALAM FIQH ISLAM



Membaca salah satu sub tema dalam kitab Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah karya Prof. Dr. Ali Jumu’ah menjadi semakin jelas maksud dari beberapa baris kata dalam kitab Mafaahiim yang selalu kami kaji setiap malam Rabu di Masjid Al Ikhlash, samping Balai Desa Tamantirto, 12 tahu lalu, yang menggambarkan betapa setelah kodifikasi pendapat-pendapat madzhab, aktivitas ijtihad yang mengambil hukum syara’ secara langsung dari nash-nash syara’ menjadi langka, bahkan dianggap kelancangan. Tenaga dan fikiran para ulama -yang sebenarnya punya kapasitas untuk berijtihad secara langsung- lebih terfokus untuk meneliti pendapat-pendapat madzhab dengan semangat untuk bertaqlid, yang kadang justru dibutuhkan kejelian yang lebih ekstra.
Dalam Mafaahiim Hizbit Tahriir An Nabhani menyatakan: “menyusul setelah itu datangnya masa kemunduran fiqh yaitu masa bermunculannya kitab-kitab syarah dan hasyiyah yang kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru Tidak mengandung hal-hal yang baru dalam istinbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu. Setelah itu datang masa yang lebih parah lagi, dimana para ulama menempuh cara dalam mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagian-bagiannya atau dalil-dalilnya. Masalah-masalah inilah yang disebut dengan istilah fatwa.”
Hal tersebut di atas relatif terjadi di semua madzhab fiqh. Berikut ini sedikit gambaran dari apa yang diuraikan oleh Ali Jumu’ah terkait keadaan tersebut yang terjadi pada Madzhab Syafi’i[1]: ****
Referensi Yang Otoritatif Dalam Madzhab Syafi’i. Telah kami sebutkan sebelumnya beberapa kitab yang ditulis oleh pemuka madzhab kami (ash-habuna), baik dari kelompok Khurasan (khurosaniyun) maupun Irak (‘Iroqiyun), hanya saja, kitab-kitab tersebut dan yang lainya telah diserap dalam hasil penelitian yang luas yang dilakukan oleh dua orang imam, yakni An Nawawi dan Ar Rofi’i, sampai-sampai, Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dan ulama muta’akhirin lainya menyatakan: Para muhaqqiq telah bersepakat bahwa kitab-kitab yang lahir sebelum “Dua Syaikh” –yakni Ar Rofi’i dan An Nawawi- tidak diperhitungkan lagi kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian yang sempurna sampai taraf diduga kuat bahwa ia merupakan pendapat madzhab yang rajih (kuat).
Mereka menyatakan bahwa yang demikian itu (merujuk kitab lama -pent) berlaku pada hukum-hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua Syaikh atau salah satu dari keduanya. Namun dalam perkara yang telah dikemukakan oleh keduanya maka para muhaqqiq telah membuat konsensus bahwa pendapat yang otoritatif dalam madzhab adalah apa yang disepakati oleh keduanya. Jika keduanya berbeda pendapat sementara tidak ada yang lebih utama bagi keduanya, atau ada tetapi sama kuat, maka pendapat An Nawawi-lah yang dipegang. Dan jika ada hukum yang hanya diungkapkan oleh salah satu dari keduanya saja, maka yang dipegangi adalah yang mengandung tarjih. Jika para ulama mutaakhirin sepakat tentang suatu pendapat dari keduanya yang salah karena kelalaian, maka pendapat itu tidak dapat dipegangi, akan tetapi kasus seperti ini sangat langka.
Setelah itu datanglah masa Ibnu Hajar dan Ar Romli. Keduanya memberi penjelasan (syarh) terhadap kitab Al Minhaj. Keduanya juga menulis kitab2 madzhab dengan metode penyuntingan. akhir Syafi’iyah mengatakan bahwa sumber yang otoritatis setelah Ar Rofi’i dan An Nawawi- adalah Ibnu Hajar Al Haitsami dan Muhammad Ar Romli, sehingga tidak boleh mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan keduanya, bahkan hanya bertentangan dengan Tuhfatul Muhtaj-nya Ibnu Hajar atau Nihayatul Muhtaj-nya Ar Ramli pun juga tidak boleh. Itu dikarenakan para muhaqqiq dan ulama telah membaca kedua kitab itu di hadapan kedua penulisnya. Bahkan An Nihayah telah dibaca dari awal hingga akhir oleh 400 ulama di hadapan Ar Ramli, mereka menelaahnya dan menshohihkannya, dengan demikian jumlah tersebut telah mencapai batasan mutawatir. Adapun (peneliti) At Tuhfah maka jumlahnya tidak terhitung.
Jika keduanya (Ibnu Hajar dan Ar Ramli) berselisih, maka para ulama Mesir mengambil pendapat Ar Ramli. Sementara itu para ulama Hadhromaut, Syam, Akrad (Kurdi), sebagian besar Yaman dan Hijaz mengambil pendapat Ibnu Hajar. Terdapat kitab-kitab yang ditulis mengenai perbedaan pendapat di antara keduanya, antara lain: Itsmidul ‘Ainaini fi Ba’dhi Ikhtilafisy Syaikhoin yang ditulis oleh Syaikh ‘Ali Bashobirin.
Sementara itu dalam masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh keduanya maka fatwa bisa merujuk pada pendapat Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori. Beliau memiliki beberapa karya fiqh yang telah diterbitkan, yang paling penting di antaranya adalah: Al Manhaj ringkasan Al Minhaj-nya An Nawawi, syarah Al Manhaj, Syarah Ar Raudh, Syarah Al Bahjah, dan Tahriru Talqihil Lubab berikut syarahnya.
Jika tidak ada baru kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Al Khothib Asy Syarbini, beliau menulis Mughnil Muhtaj syarah Al Minhaj dan Al Iqna’ Syarah kitab matan Abi Syuja’. Keduanya merupakan kitab yang terkenal dan telah diterbitkan.
Jika tidak ada baru merujuk kepada Hasyiyah (catatan pinggir) Az Zayyadi, kemudian Hasyiyah-nya Ibnu Qosim Al Abbadi atas Tuhfatul Muhtaj (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Amiroh dalam catatan pinggirnya yang terkenal atas Nihayah-nya Ar Ramli (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk kepada pendapat Syaikh Ali Asy Syubramalsi dalam catatan pinggir atas Nihayatul Muhtaj-nya Ar Ramli (telah dicetak), kemudian merujuk pada catatan pinggir Al Halabi, kemudian Hasyiyah Asy Sybri, dan terakhir pada Hasyiyah Al ‘Inani. Itu semua dapat diambil jika tidak bertentangan dengan pokok madzhab.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ulama Syafi’iyah generasi akhir. Mereka mempraktekkan ketentuan ini di dalam kitab-kitab, catatan pinggir dan taqrir mereka sampai zaman ini.
Hubungan Kesinambungan Kitab-kitab Syafi’iyah
A.
Semenjak Imam Al Juwaini menulis An Nihayah[2] maka kitab-kitab madzhab pun berporos padanya. An Nihayah merupakan ringkasan dari empat kitab Asy Syafi’i yang beliau tulis dalam bidang fiqh, yaitu: Al Um, Al Imla’, Al Buwaithi, dan Muktashor Al Muzani[3], atau sebagian ulama mengatakan bahwa ia –an Nihayah- merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani. Di dalam kitab ini dihimpun berbagai thoriqoh (thuruq) madzhab dan segi-segi perbedaan (aujah) dari para pemuka madzhab (al Ash-hab).
Setelah itu, Al Ghozali meringkas An Nihayah menjadi Al Basith. Beliau lantas meringkas Al Basith menjadi Al Wasith, kemudian (meringkasnya lagi) menjadi Al Wajiz, dan akhirnya beliau meringkas Al Wajiz menjadi Al Khulashoh.
Dalam Al Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj dan yang lainnya disebutkan bahwa Ar Rofi’i meringkas Al Wajiz menjadi Al Muharrar.[4] Setelah itu Imam An Nawawi meringkas Al Muharrar menjadi Al Minhaj. Pasca itu, Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori meringkas Al Minhaj menjadi Al Manhaj, kemudian Al Jauhari meringkas Al Manhaj menjadi An Nahju.
B.
Imam Ar Rofi’i mensyarah Al Wajiz dalam dua kitab, kitab yang kecil tidak beliau beri nama, sedangkan yang besar beliau namai Al ‘Aziz. Imam An Nawawi meringkas Al ‘Aziz menjadi Ar Raudhoh. Sementara itu Ibnu Muqri meringkas Ar Raudhoh menjadi Ar Raudh. Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori mensyarahnya dalam kitab yang bernama Al Asniy, kemudian Ibnu Hajr meringkas Ar Raudh menjadi sebuah kitab bernama An Na’im. Kitab ini hadir sebagai kitab yang tergolong paling berharga di bidangnya, sayangnya, kitab ini hilang pada masa hidup beliau.
Ar Raudhoh juga diringkas oleh Imam Al Muzjid dalam kitabnya Al ‘Ubab, kemudian Ibnu Hajar mensyarahnya dengan syarah yang komplit dan luas berjudul Al I’ab, sayangnya beliau tidak menyelesaikannya. As Suyuthi juga meringkas Ar Raudhoh dalam kitab berjudul Al Ghoniyah, beliau juga menadzomkannya (mensyairkannya) dengan judul Al Khulashoh, namun beliau tidak menyempurnakannya, sebagaimana yang beliau nyatakan di dalam daftar karya-karya beliau.
C.
Al Qozwaini juga meringkas Al Aziz Syarhul Wajiz menjadi Al Hawi As Shoghir, kemudian Ibnul Wardi menadzomkannya dalam Bahjah-nya, kemudian Syaikhul Islam mensyarahkannya dalam dua syarah.
Ibnu Hajar Al Haitsami pada bagian akhir kitab Tahrirul Maqol menyatakan: “mengenai pernyataan mereka: sesungguhnya sejak Al Imam (Al Juwaini) menulis kitab An Nihayah yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani –yang meriwayatkan perkataan Asy Syafi’i- yang terdiri dari delapan jilid besar, maka orang-orang hanya disibukkan oleh perkataan Al Imam saja, karena murid beliau, Al Ghozali, meringkas An Nihayah tersebut dalam ringkasan yang panjang dan penuh bernama Al Basith, kemudian meringkasnya lagi dengan yang lebih tipis, bernama Al Wasith, kemudian meringkasnya dengan lebih ringkas lagi, bernama Al Wajiz. Setelah itu datanglah Ar Rofi’i yang mensyarah Al Wajiz dengan syarah yang ringkas, kemudian mensyarahnya lagi dengan syarah panjang (Al ‘Aziz –pent) yang tidak pernah ada karya tulis yang menyamainya dalam madzhab Syafi’i. Rata-rata tebalnya mencapai sepuluh jilid. Kemudian datanglah An Nawawi yang meringkas, memperbaiki dan memeriksa syarah tersebut serta menyempurnakan sejumlah besar perkataannya pada tempat-tempat yang menurutnya perlu diperbaiki. Ringkasan tersebut diberi nama Raudhatuth Tholibin. Tebalnya pada umumnya mencapai empat jilid. Setelah itu datanglah generasi muta’akhirin, yang memiliki beragam tujuan. Di antara mereka ada yang memberi catatan pinggir, jumlah mereka sangat banyak dan mereka menghabiskan banyak waktu dalam hal ini, sampai muncullah hasyiyahnya Al Adzro’i yang berjudul At Tawassuth baina Ar Raudhoh wa asy Syarh yang mencapai 30 jilid. Demikian juga dengan Al Isnawi, Ibnu ‘Imad dan Al Bulqini, mereka juga memberi catatan pinggir terhadap Ar Raudhoh. Mereka berempat merupakan ulama kenamaan (muhul) dari generasi akhir (al-muta’akhirin). Kemudian datanglah seorang murid dari keempat ulama tersebut, yakni Imam Az Zarkasyi, yang mengumpulkan kesimpulan (mulakhosh) dari catatan-catatan pinggir mereka dalam sebuah kitab yang ternama berjudul Khodimur Raudhoh yang terdiri dari 20-an jilid.
Di samping itu, ada sebagian ulama yang merasa memiliki keharusan untuk meringkas Ar Raudhoh. Di antara mereka ada yang meringkas dengan panjang, ada pula yang meringkasnya dengan benar-benar ringkas seperti Ar Raudh karya Asy Syaraf Al Muqriy (w. 837 H), maka orang-orang pun menerima ringkasan-ringkasan tersebut. Tatkala Ar Raudh muncul, orang-orang lebih banyak merujuk kepadanya karena keunggulan dan kemudahan ungkapannya. Lantas Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshori –pent) mensyarahnya dengan syarah yang sangat baik. Beliau menyertakan ringkasan tersebut, maka manusia pun mengerumuninya. Sampai datanglah masa penulis Al ‘Ubab, yaitu Ahmad bin Umar Al Muzjid az Zabidi, beliau meringkas Ar Raudhoh dan menyertakan di dalamnya masalah-masalah furu’ (cabang-cabang fiqh –pent) dalam madzhab yang tak terhitung jumlahnya.
Penulis Al Hawil Kabir juga meringkas Asy Syarhul Kabir (Al ‘Aziz karya Ar Rofi’i –pent) dengan cara yang belum tertandingi. Beliau mampu menghimpun substansinya dalam sekitar delapan jilid dari sepuluh jilid yang ada, sehingga orang-orang pada masanya mengakui bahwa –dalam masalah ini- tidak ada tulisan yang menyamainya, sehingga orang-orang pun mencurahkan perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya. Kemudian penulis kitab Al Bahjah menadzomkannya sehingga orang-orang pun kemudian juga menghafal dan mensyarahnya. Sampai datanglah masa Asy Syaraf Al Muqriy (837 H), penulisAr Raudh, yang kemudian meringkasnya (mukhtashor Al ‘Aziz) hingga jauh lebih tipis, yang diberi nama Al Irsyad, sehingga orang-orang pun menaruh perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya”.
Pembubuh harokat Al Irsyad menyatakan: “diantara orang yang mensyarahnya adalah Ibnu Hajar Al Haitsami, beliau mensyarahnya dalam dua kitab besar yang belum dicetak, juga dalam satu kitab yang lebih kecil bernama Fathul Jawad Syarhul Irsyad (telah dicetak), kitab ini disertai oleh catatan pinggir yang juga ditulis oleh Ibnu Hajar”
D
Al Mahami (w. 415 H) menulis Al Lubab yang menjadi salah satu kitab Iraqiyin yang mu’tabar. Kemudian Al Wali Al Iroqi (w. 826 H) meringkasnya dalam kitab Tahrirul Lubab. Kemudian Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori (w. 926 H) meringkasnya lagi dalam kitab Tanqihu Tahriril Lubab (telah dicetak) dan mensyarahnya dalam kitab Tuhfatuth Thullab (telah dicetak), selanjutnya Syaikh Adh Dhorqowi (w. 1226 H) memberinya catatan pinggir dengan hasyiyah-nya yang masyhur (telah dicetak). (terj by titok)

[1] Ali Jumu’ah, Prof. Dr., Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah (Kairo: Darus Salam, 2001), hal. 49 – 52
[2] Judul lengkapnya adalah Nihayatul Mathlab fii Diroyatil Madzhab
[3] Secara teknis 3 kitab terakhir bukan ditulis oleh Asy Syafi’i, namun ditulis dan atau dikumpulkan oleh para murid beliau berdasarkan apa yang beliau ajarkan.
[4] Ali Jam’ah mengungkapkan ketidakyakinan bahwa Al Muharrar adalah ringkasan Al Wajiz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar