Kamis, 03 Oktober 2013

PERAN INTELEKTUAL MUSLIMAH UNTUK PERADABAN



KEMULIAAN KAUM INTELEKTUAL DALAM PERADABAN ISLAM

Islam telah meletakkan para intelektual dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi umat.
Allah SWT menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab. Allah berfirman :
·         Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab. (QS: 2:269)
·         Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS: 12:111)
·         Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah dan mereka itulah ulul albab (QS: 3:7)
·         Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul albab (QS: 39:9)
Karakteristik orang-orang yang berilmu (al-'ulama) adalah mereka yang takut kepada Allah Rabbul 'Alamin (QS. Fathir:28). Mereka adalah sosok mandiri dan tidak bergantung pada penghambaan kepada selain Allah. Mereka kuat karena berpijak pada kalimat tauhid yang Allah gambarkan sebagai kalimat thayyibah; akarnya menghujam kuat ke bumi, dan cabangnya menjulang ke langit (QS. Ibrahim:24-25). Kemandirian mereka juga tercermin dalam sikap yang membenci pada taklid buta, yakni mengikuti atau membeo pada sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu, melainkan pada kejahilan, emosionalitas, dan inferioritas (QS. Al-Israa':36). Mereka yang beramal tanpa ilmu adalah orang-orang yang mengekor pada akal dan hawa nafsu.
Islam mengajarkan bahwa kekuatan dan kemandirian harus dilandaskan oleh ilmu dan iman. Keduanya harus berjalan seimbang, tidak pincang dan berseberangan. Kemampuan membaca ayat-ayat kauniyah (alam semesta) harus diiringi dengan kemauan untuk berpegang teguh pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur'an). Karena itu, dalam surah Al-'Alaq (1-5) Allah memerintahkan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan umatnya untuk membaca (iqra') dengan nama Allah Yang Maha Menciptakan (bismirabbikalladzi khalaq). Aktivitas membaca, menelaah, meneliti, dan mengamati harus diiringi dengan menjadikan Allah sebagai sandaran. Karena betapa banyak orang-orang yang diberi kemampuan akal untuk membaca, namun kemudian ingkar terhadap Rabb Yang Menciptakan akal manusia tersebut. Sehingga mereka terjebak pada paham yang mendewakan akal, menganggapnya sebagai anugerah Tuhan yang bebas merdeka. Kekuatan akal mereka rapuh, karena bergantung pada keterbatasan manusia yang fana. Mengenai keunggulan peradaban Islam, Prof. H.A.R Gibb mengatakan, "Islam is much more than a system of theology, it's a complete civilization.(Islam lebih dari sekadar ajaran tentang theologi, Islam adalah peradaban yang lengkap)".
Sejarah mencatat, peradaban Islam pada masa lalu tak lepas dari peran ulama, yaitu mereka yang berilmu, mencintai ilmu, dan menebarkan ilmu dengan landasan kalimat thayyibah. Sehingga ilmu yang didapat bisa menguatkan ketakwaan, bukan memunculkan sikap ketakabburan. Jika ilmu sudah menuntun mereka pada ketakwaan, maka Allah berjanji akan senantiasa memberikan ilmu-Nya dan mengajarkan ilmu-Nya yang lebih luas lagi (QS.Al-Baqarah:282). Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan,”Cukuplah ilmu membawa ketakutan kita kepada Allah...”
Umat membutuhkan intelektual yang sanggup berdiri di hadapan para penjajah untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar. Umat membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan bersama umat memperjuangkan penegakannya. Merekalah Intelektual sejati (ulul albab) yang dicirikan dengan karakter-karakter di bawah ini:
1.      Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7) dan memikirkan ciptaan Allah (QS 3:190).
2.      Mampu memisahkan yang jelek (salah) dari yang baik(benar), kemudian mereka memilih yang baik, walaupun dirinya harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang (QS 5:100)
3.      Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka  mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS 39:18)
4.      Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat (QS 14:52).
5.      Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah (QS 5:179 dan 65:10)

POSISI PEREMPUAN DALAM PERADABAN ISLAM

Di dalam Islam masalah perempuan, keluarga dan generasi adalah mata rantai tegaknya sebuah peradaban Islam yang luhur. Dari dulu Islam tidak pernah menganggap isu perempuan sebagai "blok monolitik" atau isu parsial yang terkait kelompok kepentingan sepihak. Bahkan menurut Esposito, perempuan Muslim saat ini pun berada di pusat perang budaya di banyak negeri muslim. Mereka dipandang sebagai “pengemban budaya”, “pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga”, “benteng terakhir” melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat. Mengenakan jilbab bukan hanya menjadi lambang kesopanan, melainkan lambang pertahanan Islam. Sehingga perempuan Muslim memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga, generasi dan sekaligus identitas masyarakat Muslim. [1]
Akhirnya perempuan di dalam Islam tidak memerlukan gagasan kesetaraan gender atau emansipasi atau yang semisalnya, karena ideologi Islam sesungguhnya telah memberi keadilan dan kemuliaan hakiki bagi kaum perempuan.
Islam sedari awal telah memberi perempuan posisi yang bergengsi, dan posisi inilah yang berhak dia peroleh sebagai manusia yg bermartabat. Posisi itu adalah ummu wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Selain itu di dalam Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan seperti halnya pada laki-laki, karena perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Islam pun menetapkan hukum-hukum yang memelihara hak-hak perempuan, menjaga kemuliaan, dan menjaga potensi/ kemampuannya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.. At Taubah [9] : 71).
Oleh karena itu bagi seorang muslimah, standarisasi tertinggi dalam kesuksesannya adalah berpegang teguh dengan nilai-nilai syari’ah. Sebaliknya semakin ia terjauh dengan syari’ah maka kehancuranlah yang akan dia peroleh.Terikatnya muslimah dengan aturan-aturan Allah bukan menjadikan seorang muslimah terpinggirkan dan kehilangan eksistensi. Karena Allah telah membagi peran antara laki-laki dan perempuan.
Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah SWT yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang
1.        Kontribusi pertama, adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu  ataupun istri.  Di balik diri seorang ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa.  Andaikata Imam Syafii tidak memiliki ibu yang tangguh, barangkali  si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan.  Demikian juga andaikata istri-istri Al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sigap   mengambil peran dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu  akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering  harus mengembara  menghadiri majelis-majelis ilmu.
2.        Kontribusi kedua, adalah peran para perempuan secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban.   Tidak ada yang meragukan kontribusi istri-istri Nabi Muhammad SAW  maupun para shahabiyah bagaimana para perempuan agung itu demikian tekun dan cerdas dalam mengikuti pendidikan Rasulullah SAW hingga tak sedikit diantara mereka yang menjadi ahli hadits.  Para shahabiyah juga dikenal sebagai sosok perempuan yang berani memberikan kritik kepada para  penguasa.
Dalam sejarah banyak diceritakan kaum perempuan yang di antaranya sampai harus bepergian secara terencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi.  Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah.
Kondisi yang memungkinkan itu semua terjadi memang mungkin sangat unik, sebuah kondisi yang hanya terjadi ketika keamanan dan kehormatan perempuan terjaga di dalam masyarakat Islam, baik secara kultural oleh masyarakat, maupun secara hukum oleh aparat Daulah Khilafah.  Syariat Islam yang dituduhkan Barat sebagai menindas kaum perempuan itu ternyata tidak menghalangi sedikitpun peran perempuan dalam memajukan peradaban.

 

KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM PERADABAN ISLAM

Perempuan : Ibu dan Sekolah Pertama bagi Generasi

Allah SWT menciptakan perempuan sebagai seorang ibu untuk membesarkan anak-anaknya, mendidik mereka untuk mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, dan merawat anak-anaknya agar mereka bisa menjadi fondasi bagi sebuah keluarga terhormat.  Ibu memberikan perawatan, pengasuhan pada anak-anaknya dengan kasih sayang; dimana semua itu terhubung pada peran yang Allah SWT telah siapkan untuknya. Sosok ibu adalah inti dari bangunan sebuah keluarga. Dia adalah fondasi dan pilar bagi keluarga Muslim yang terbangun di atas aqidah Islam. Jika ia baik, maka anak-anaknya akan menjadi kuat dan lurus. Namun jika ia rusak maka rumah tangganya akan rapuh bahkan hancur.
Bahkan sosok Ibu adalah tulang punggung bagi kaum laki-laki. Pencetak generasi pahlawan dalam sebuah peradaban seperti halnya sosok Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali -semoga Allah SWT meridhai mereka-. Dan banyak contoh lain sepanjang sejarah Islam.
Sehingga tugas seorang perempuan tidaklah mudah dan juga bukan peran yang sederhana, karena dengan tangannya ia akan membentuk generasi, pelaku masa depan. Generasi yang tidak takut oleh apapun dan siapapun kecuali yang kepada Allah SWT. Generasi visioner, dimana visi mereka mampu menembus ke atas langit ketujuh yang lebar meliputi bumi, menuju Surga.
Umat ini sangat membutuhkan generasi pemimpin yang akan mengeluarkan negeri ini dari kegelapan menuju cahaya. Dan kita membutuhkan seorang ibu yang mencetak pemimpin – pemimpin besar itu. Kita membutuhkan seorang istri yang akan berdiri di samping suaminya pada masa Jihad dan saat melakukan dakwah. Sungguh, kita membutuhkan Anda, produser pahlawan besar. Sosok yang sabar menanggung beratnya beban dakwah dan kesulitan, dimana seluruh upayanya untuk memudahkan Jihad dan  dakwah akan membawanya lebih dekat kepada Allah Yang Maha Perkasa dengan mematuhi Perintah-Nya.
Umat ini  membutuhkan sosok-sosok perempuan seperti:
·         Khadijah, Ummul Mukmini, istri Nabi (saw), yang juga merupakan sahabatnya. Dimana Khadijah selalu membela Nabi Saw, percaya kepada-nya ketika orang lain meragukan dia. Dan dia adalah ibu yang terhormat untuk anak-anaknya dan ibu yang benar untuk orang-orang mukmin.
·         Aisyah, Ummul Mukminin, seorang ibu dan ulama besar dengan pengetahuan dan fiqh Islam yang luar biasa
·         Sumayyah, seorang ibu dengan keberanian luar biasa, martir pertama dalam Islam
·         Nusaibah binti Ku’ab, seorang ibu Mujahidah, semoga Allah meridloinya
Masih sangat banyak contoh-contoh cemerlang dan role model seorang ibu sepanjang masa keemasan Kekhilafahan Islam. Sosok Ibu yang telah menghabiskan banyak malam tanpa tidur dengan bayi mereka, merawat mereka. Menanamkan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya di dalamnya, menyiapkan mereka untuk melaksanakan risalah Allah SWT. Dan mencetak anak-anak mereka menjadi generasi pemimpin, pejuang di masa depan yang berjuang meninggikan kalimat Allah SWT.
Sayangnya saat kaum perempuan dijauhkan dari peran terhormat mereka sebagai ibu, maka perempuan pun menjadi alat kehancuran, sehingga kehilangan jati dirinya dan kehilangan amanah yang diberikan kepadanya sebagai Ibu Muslim yang takut akan Allah SWT
Kapitalisme Barat telah mengisi kaum perempuan dengan gagasan kebebasan yang merusak rumah-rumah umat, dan mereka memfasilitasi ide-ide ini sampai ke anak-anak kita. Akibatnya masyarakat menjadi rusak, zina dan korupsi tersebar luas, serta penyalahgunaan narkoba semakin luas pada generasi muda kita. Putri-putri kita mulai menjual tubuh mereka dengan cara yang sama seperti pemilik budak menjual budak mereka di pasar. Bahkan anak muda umat telah berani mulai berdandan layaknya individu transgender. Muncullah generasi pragmatis, hedonis yang terbelenggu oleh peradaban yang rendah, generasi yang menjadikan Barat sebagai idola dan mentor mereka. Sementara budaya Barat yang rendah justru menjadi cita-cita dan aspirasi mereka.
Ironis, saat ini perhatian terbesar seorang ibu pada anaknya adalah justru bagaimana agar sang anak mencapai gelar untuk pekerjaan dan standar hidup mewah. Ia tinggalkan penanaman nilai Taqwa dalam hati anak-anak mereka, karena pelajaran agama hanya jadi sekedar asesoris. Ia terlupa bahwa dunia ini hanya sementara, seperti sabda Rasulullah :

«الدُّنْيَا دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ، وَمَالُ مَنْ لَا مَالَ لَهُ، وَلَهَا يَجْمَعُ مَنْ لَا عَقْلَ لَهُ»أخرجه أحمد

“Dunia itu adalah rumah bagi orang yang tidak punya rumah, dan harta bagi orang yang tidak mempunyai harta, untuknya lah orang yang tidak berakal itu dikumpulkan”

Banyak ibu yang kini melalaikan hubungannya dengan Sang Pencipta (al-Khaliq). Dunia telah mengambil alih kaum ibu, sehingga mereka tidak lagi terlalu peduli dalam mengajarkan dasar-dasar agama kepada anak-anaknya. Mengabaikan kewajiban anak-anaknya untuk sholat, puasa dan berbusana Muslim, dengan menggunakan usia muda mereka sebagai alasan untuk menikmati masa kecil dan tahun-tahun remaja mereka. Tanpa menyadari bahwa mata musuh-musuh Allah tak pernah tidur terus memonitor lekat apa yang terjadi pada kaum Ibu dan anak-anak umat Islam, sehingga mereka bisa terus mengeksekusi rencana-rencana mereka pada kaum Ibu dan generasi muda. Rezim-rezim pemerintahan hari ini dengan kurikulum pendidikan mereka telah didesain untuk menjauhkan Islam dari anak-anak kita demi memastikan eksistensi  dan dominasi mereka terhadap generasi Muslim.

 

Intelektual Muslimah: Konstruktor Peradaban Islam

“Muslim Women scholars are part of our history, And by looking at the history we can bring muslim society closer than to what it once was” (Mohammad Akram Nadwi)

Dr. Mohammad Akram Nadwi, adalah seorang peneliti di Oxford Centre for Islamic Studies yang telah menulis lebih dari 25 buku, dimana ia sendiri terkejut pada penemuannya. Ketika ia memulai proyek penelitian tentang ulama hadits perempuan, ia menduga hanya akan menemukan 20 atau 30 ulama perempuan, cukup untuk mengisi sebuah kamus biografi bervolume tunggal. Namun setelah 15 tahun penelitian itu berjalan ternyata ia menemukan lebih dari 8.000 ulama perempuan, dan kamus biografinya sekarang sudah mencapai 40 volume. Dr. Akram yakin angka ini belum menunjukkan angka sesungguhnya ulama perempuan sepanjang sejarah Islam. If I can find 8,000 in the sources,” he notes, “it means that there were many, many more than that." [2]
Akhirnya Muhammad Akram Nadwi menulis buku Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam. Buku ini terbitkan di London oleh Oxford Interface Publications; 2007. Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam. 
Buku itu dipenuhi kisah-kisah tentang para perempuan yang di antaranya sampai harus bepergian secara terrencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi.  Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah.
Sejak masa Nabi Muhammad saw., kaum perempuan telah berpartisipasi dalam menyebarkan ilmu. Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam kitabnya Al-Ishâbah fi Tamyîz Ash-Shahâbah menulis biografi 1543 shahabiyah, di antara mereka ada ahli fikih, ahli hadits, dan ahli sastra. Beberapa shahabiyah tercatat sebagai guru bagi para sahabat maupun tabi'in, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Ummu Habibah, Hafshah, Asma' binti Yazid binti As-Sakan, dan sebagainya. Aisyah adalah seorang perempuan ahli fikih, sampai Ibnu Hajar Al-'Asqalani mengatakan, "Seperempat hukum syar'i diambil darinya." Hisyam bin 'Urwah mengatakan, "Tidak pernah saya melihat seorang pun yang lebih mengetahui masalah fikih, pengobatan, dan sya'ir selain daripada Aisyah." Di antara sahabat yang menjadi muridnya adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar, Abu Musa Al-Asy'ari, Abdullah bin Abbas, dan sebagainya. Sementara itu, di antara tabi'in yang menjadi muridnya adalah Masruq bin Al-Ajda', Sa'id bin Al-Musayyib, Mujahid, Shafiyah binti Abu Ubaid, dan sebagainya.
Perempuan dari kalangan tabi'in yang terkenal keilmuan dan kewara'annya misalnya adalah Fathimah binti Al-Husain bin Ali. Dalam melakukan kodifikasi terhadap Sirah Nabawaiyah, Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam banyak bersandar pada riwayat darinya. Dari kalangan tabi'ut tabi'in, di antaranya adalah Nafisah binti Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali. Ia rajin menghadiri majelis Imam Malik bin Anas di Madinah serta terkenal keilmuan dan keshalihannya. Setelah pindah ke Mesir, ia membuka majelis ilmu yang dihadiri oleh para ulama yang terkenal pada zamannya. Di antara mereka, ada Imam Asy-Syafi'i yang sering mengunjunginya dan saling bertukar ilmu dengannya dalam masalah fikih dan ushuluddin. Perempuan lainnya yang memiliki kontribusi dalam membangun tradisi keilmuan Islam adalah Zainab binti 'Abbas Al-Baghdadiyah. Perempuan yang ahli dalam fikih dan luas ilmunya ini sering menghadiri majelis-majelis Ibnu Taimiyah.
Lalu, Syahdah binti Al-Abari Al-Katib yang terkenal menguasai ilmu hadits. Banyak ulama belajar kepadanya. Di antaranya adalah Ibnul Jauzi dan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Lalu, Ummu Habibah Al-Ashbahaniyah yang menjadi salah satu guru Al-Hafizh Al-Munzhiri. Dari Ummu Habibah, Al-Munzhiri mendapatkan ijazah. Lalu, Fathimah binti 'Ala'uddin As-Samarqandi, istri dari Syaikh 'Ala' Al-Kisa'i. Ia adalah seorang yang ahli dalam bidang fikih.
Sementara itu di wilayah Islam bagian barat, Fathimah Al-Fihriyyah Ummul Banin membangun Universitas Al-Qurawiyyin di Fez pada abad III H. Universitas ini menjadi universitas Islam pertama di Dunia Islam, bahkan di seluruh dunia. Fathimah Al-Fihriyyah adalah seorang alim yang dihormati banyak orang.
Ahli hadits perempuan yang terkenal di Andalusia adalah Ummul Hasan binti Sulaiman. Dia meriwayatkan hadits dari Baqi bin Mukhlid, baik dengan mendengarkan hadits darinya maupun membacakan hadits kepadanya. Ketika menunaikan haji, dia bertemu dengan para ulama Hijaz serta mendengarkan hadits dan fikih dari mereka. Dia kembali lagi ke Andalusia, kemudian menunaikan haji untuk kedua kalinya. Di Mekah, dia meninggal. Di antara ahli hadits dan fikih dari kalangan perempuan di wilayah Islam bagian barat adalah Asma' binti Asad bin Al-Furat. Dia belajar kepada ayahnya yang menjadi teman Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Asma' terkenal sebagai perawi hadits dan ulama fikih madzhab Abu Hanifah.
Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak perempuan muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan.  Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci.  Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang perempuan astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).
Dari paparan singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa laki-laki muslim dan perempuan muslimah sepanjang sejarah selalu bekerjasama dalam membangun keilmuan dan peradaban Islam. Tidak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah-masalah prinsip dan sama sekali tidak ada diskriminasi laki-laki terhadap perempuan, seperti yang sering dituduhkan Barat terhadap Islam.

Intelektual Muslimah:  Ibu Generasi (Ummu Ajyaal)

Dalam kaitannya dengan Generasi, peranan kaum intelektual Muslimah sangat penting sebagai bagian integral dalam menjamin masa depan generasi cemerlang. Karena perempuan di mata Islam memiliki peranan suprastrategis dalam melahirkan dan mendidik generasi, baik itu sebagai ibu dari anak-anaknya di rumah (ummu wa robbatul bait) maupun sebagai ibu generasi (ummu ajyal) dalam makna luas. Di tangan kaum perempuan lah generasi terbaik atau khairu ummah akan terbentuk. Sebagaimana firman Allah SWT : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Seperti yang telah digambarkan sebelumnya bahwa kaum perempuan secara individual bisa berkontribusi langsung dan tidak langsung dalam membangun peradaban yang luhur. Begitupula dengan intelektual Muslimah. Hanya saja dengan kapasitas keilmuannya, intelektual muslimah memungkinkan untuk lebih mampu berkontribusi secara langsung sebagai ibu generasi dalam ruang lingkup yang luas di berbagai bidang. Berikut adalah peran intelektual muslimah secara individual, dimana hukum-hukum Syara’ telah menggariskan peran – peran tersebut :
      i.                   Peran mendidik generasi di ruang domestik sebagai ummu wa robbatul bayt yakni peran sebagai ibu dan istri di rumah. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa inilah peran mendasar yang diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan. Intelektual Muslimah tidak boleh mengabaikan peran ini
    ii.                   Peran mendidik generasi di ruang publik sebagai ibu generasi (ummu ajyal), intelektual muslimah terus melakukan pembinaan di tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina perilakunya dengan ilmu yang dimilikinya, dipraktikkan dan  selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah. Peran ini terbagi dua, yakni :
·         peran membina generasi dengan tsaqofah Islam dalam rangka membentuk dan menguatkan kepribadian Islam pada generasi. Bagi kalangan intelektual muslimah hari ini, bisa diaktualisasikan dengan menyampaikan Islam kepada mahasiswa dan generasi muda yang ia bina.
·         peran mencerdaskan generasi dengan bidang ilmu tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dimana mengamalkan ilmu yang bermanfaat dan mengajarkannya adalah sebuah keutamaan dalam Islam, selama ilmu itu tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid,  Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya.”

Intelektual Muslimah: Pengemban Dakwah dan Pejuang Islam

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [terjemah makna Qur'an Surat An-Nahl (16) : 125]
Intelektual Muslimah, apapun bidang disiplin ilmunya, tidak boleh melalaikan peranan utamanya sebagai seorang da’i/ da’iyah yang melakukan perbaikan dan amar makruf nahyi munkar di tengah masyarakat. Bahkan peran sebagai da’iyah ini harus selalu melekat pada jati diri intelektual Muslim karena merupakan kewajiban yang digariskan oleh Allah SWT kepada seluruh hambaNYA, baik laki-laki maupun perempuan. Ibadah sebagai missi penciptaan manusia itulah fokus dari tatanan masyarakat Islam 
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.“ (QS. Al-Dzariyyat:56).
Aktivitas amar makruf nahi munkar ini harus dilakukan terutama kepada rekan sejawat intelektual, mengingat lingkungan pendidikan hari ini masih diwarnai oleh ilmu-ilmu dan kultur sekuler. Intelektual Muslimah yang telah memperoleh kesadarannya dengan baik wajib menjadi da’iyah di komunitasnya.
Dari paradigma ini bisa dipahami bahwa hakikat misi membebaskan generasi adalah dakwah atau amar makruf nahi munkar. Mengemban dakwah bukanlah sekedar satu aksi saja dengan satu aturan syariah untuknya, tapi merupakan sekelompok besar tindakan. Maka mengemban dakwah memiliki banyak aturan Syariat yang melekat padanya, dan kita akan menyebutkan beberapa darinya:
1.      Menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar adalah tugas atas perempuan sebagaimana merupakan tugas atas para laki-laki, masing-masing menurut kemampuan mereka.
2.      Meminta tanggung jawab para penguasa adalah bagian dari menyuruh yang Ma'ruf dan melarang yang Munkar. Ini adalah kewajiban atas para pria maupun perempuan.
3.      Bekerja untuk kembalinya Khilafah yang memerintah dengan semua yang Allah SWT. wahyukan, dan dalam rangka mencapai ini, membuat rakyat sadar akan aturan-aturan Islam dan untuk berjuang melawan berbagai konsep kufur dan kesalahan adalah Fardhu, baik atas laki-laki maupun perempuan.
4.      Pendirian kelompok atau partai yang didirikan atas dasar ideologi Islam, yang mengambil aksi politik. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok seperti itu adalah tugas atas para pria maupun perempuan.
Semua perkara yang didaftar di atas adalah dikandung dalam teks-teks Syari'ah, yang mencakup para pria dan perempuan dalam penunjukkannya. Selain itu, untuk aturan-aturan umum di mana para pria dan perempuan sama-sama diwajibkan, terdapat beberapa area yang spesifik untuk laki-laki, dan beberapa yang spesifik untuk para perempuan.
Beberapa hal yang khusus untuk para perempuan adalah;
1.      Adalah terlarang bagi seorang perempuan untuk meninggalkan rumahnya tanpa izin walinya, baik walinya itu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya atau pamannya, dll.
2.      Seorang perempuan dilarang pergi ke tempat-tempat privat di mana para laki-laki asing (Non-Mahram) berada, jika dia tidak didampingi oleh suaminya atau seorang “Mahram” (sanak keluarga yang tidak boleh dinikahi).
3.      Ketaatan kepada Amir adalah kewajiban di dalam batasan Imara-nya (kepemimpinan), baik dia sedang menjadi kepala tentara, atau seorang penguasa, atau Amir perjalanan atau seorang pemimpin partai, sementara ketaatan kepada ayah dan ketaatan kepada suaminya juga wajib. Jika seorang perempuan bergabung dengan suatu partai, dan si pemimpin partai memerintah dia untuk mengerjakan tindakan tertentu, dan walinya memerintahkan dia untuk mengerjakan aksi yang lain, dalam kasus ini dia harus mematuhi walinya, selama dia tidak memerintahkan dia untuk melakukan perbuatan yang jelas berdosa, atau diketahui oleh dia (walinya) sebagai perbuatan dosa.
Dalil-dalil bagi tindakan menyerukan melawan kemunkaran adalah sangat jelas. Allah SWT. telah meminta itu bahkan jika itu mengakibatkan kesyahidan, mengindikasikan pentingnya aksi itu. Rasulullah SAW. bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan orang yang mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiran untuk menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang munkar, dan dia terbunuh.” (Hadits Riwayat al-Hakim).
Allah SWT. telah mengancam Kaum Muslimin dengan hukuman jika mereka tetap diam tentang kesalahan, dan mereka tidak beraksi untuk mengubahnya dan menyingkirkannya. Diriwayatkan oleh Hudzaifa bin Al-Yaman bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “(aku bersumpah) demi Dzat yang Jiwaku ada di tangan-Nya, kalian harus menyuruh kebenaran dan melarang kesalahan, jika tidak Allah akan mengirimkan atas kalian hukuman dari-Nya, kemudian kamu berdoa pada- Nya dan Dia tidak akan menjawabmu.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidhi).
Rasulullah SAW. bersabda, “Jika rakyat melihat seorang opresor melakukan opresi dan tidak melakukan apapun untuk menghentikannya dari tindakannya, maka segera Allah SWT. akan menghukum mereka.” (Hadits Riwayat Tirmidzi).
Rasulullah SAW. bersabda, “Allah tidak akan menghukum orang umum karena pekerjaan (dosa) sebagian orang, hingga mereka melihat kemunkaran di antara mereka sendiri dan mereka mampu melarangnya tapi mereka tidak melakukannya. Jika mereka melakukan itu Allah akan menghukum sebagian orang itu dan orang umum.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Pada masa Khalifah Rasyidah, Umar bin Khattab ra., Umar memberikan Khutbah di dalam masjid, membatasi Mahar. Seorang perempuan berbicara di dalam masjid dan mengoreksi opini Umar ra. tentang Mahar, menanyainya bagaimana dia bisa membatasi sesuatu ketika Allah SWT. telah membolehkannya. Umar ra setuju dengan perempuan itu bahwa dia benar dan Umar salah, dan dia tarik kembali pengumumannya. Perempuan ini tidak takut pada Umar ra., meskipun dia adalah seorang Khalifah. Ketika dia memahami bahwa Umar salah, dia memprotesnya, memenuhi fardhu yang ditetapkan Allah SWT. atas kita.
Terdapat banyak contoh lain kekuatan para perempuan Muslim dalam berbicara untuk menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang munkar di publik maupun di privat. Asma binti Abu Bakar ra. terus melindungi Deen ini, menyatakan kebenaran, bahkan hingga dia seorang perempuan tua ketika dia menentang pemerintah Hajjaj bin Yusuf, Ummu Imaroh menjadi salah  satu mujahidah pelindung rasul di perang Uhud, dan masih banyak teladan yang lain. (ustadzah faizaturrasyiidah)


[1] John L. Esposito, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, Mizan Pustaka, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar