Hans Kelsen menjelaskan bahwa Demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan
Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa
segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan
kekuasaan Negara. Abraham Lincoln memberikan pengertian pada Demokrasi sebagai
sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan Charles Costello mengartikan Demokrasi adalah sistem sosial dan politik
pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan
kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Politik demokrasi tidak bisa terlepas dari aspek
kepemimpinan.Perspektif joseph Schum Peter
oleh Gerry mackie (2009)[1],
mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk persaingan kepemimpinan sesudah terjadinya perang. Dia membantah bahwa individu dan kepentingan umum
sangat penting dalam demokrasi. Demokrasi hanya sebuah metode, tidak memiliki
nilai intrinsik. karena faktanya pemimpin selalu memaksakan perspektifnya tanpa bisa
dikontrol oleh pemilih. Gerry menulis
bahwa kepemimpinan demokrasi itu
tidak masuk akal, secara deskriptif maupun prescriptively.
Pemilihan kompetitif memang perlu, tapi tidak serta merta mampu membangun
pilar demokrasi.
Jika demokrasi adalah metode, maka dalam perjalanannya
ia sangat mungkin bersentuhan dengan pemikiran yang dominan dalam
masyarakat, misalnya kapitalisme , sosialisme maupun religiusitas. Karena pada dasarnya suatu masyarakat
terbentuk dari individu individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan dan mengdakan interaksi secara simultan.
Hal yang kongkrit pada saat ini adalah ketika
demokrasi sebagai sebuah metode politik, bersentuhan dengan kapitalisme yang
menjadi nilai dominan dalam masyarakat Indonesia, maka wajah demokrasi menjadi
liberal. Nilai nilai liberal yang lebih
mengarah kepada kebebasan berkepemilikan, kebebasan beragama, kebebasan
berekspresi dan kebebasan berpendapat membawa konsekwensi bagi demokrasi untuk
fleksibel dalam mengimplementasikan dirinya di ranah praktis.
Dalam alam kapitalis, yang berkuasa adalah modal/kapital.
Ketika modal mendominasi, maka siapa yang bermodal akan memiliki akses lebih banyak ke dalam
kekuasaan. Kekuasaan ini akan melanggengkan
praktek oligarki karena rakyat kecil yang seharusnya menjadi sentral
substansial berubah posisi menjadi marginal residual. Semua mengabdi pada kuasa
pasar. Akhirnya berlaku hukum rimba, yang kuat dialah yang menang,yang lemah
dia akan kalah. Kepemimpinan dipegang
oleh korporasi besar, kekuatan militer dan elit politik. Maka kebijakan juga akan disetir oleh pihak
pihak yang memiliki kepentingan seksional. Dimana rakyat?
Disinilah akan muncul
isu kesenjangan sosial. Kebijakan publik yang memihak pada pemilik modal
akan menimbulkan pemiskinan struktural. Misalnya saja dalam kasus produk
pertanian atau perkebunan. Ketika penguasa menggandeng pasar global yang ingin
menjual produknya ke Indonesia, maka kebijakan impor akan diperluas. Produk
pertanian dan perkebunan luar negri akan membanjiri pasar dalam negri. Kita akan lebih mudah menemukan apel produk
Amerika atau Australia dari pada apel Malang
di toko buah-buahan lokal. Harganya kadangkala malah lebih murah. Sedangkan
produk dalam negri, dari sisi standar kelayakan
saja sudah kalah, biaya produksi tinggi sehingga hargapun tidak bisa ditekan.
Daya saingnya dengan produk impor
sungguh memprihatinkan. Petani akan
mengalami kerugian. Antara rakyat dan
penguasa sungguh jauh bedanya. Rakyat dimiskinkan secara struktural.
Posisi marginal rakyat juga merambah ke sektor jasa
pelayanan kepentingan publik. Siapa yang tidak bisa membayar akan tersisih dari
pelayanan yang layak. Di setiap bidang, bahkan hingga ke hukum dan kesehatan. Olitik
demokrasi terdistorsi oleh kepentingan para pemodal/kapitalis.
Mantap
BalasHapuswichempedia