Menyambut Ramadhan dengan gembira, hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang beriman, yang menyadari sepenuhnya bahwa Allah
menyediakan bagi mereka pahala yang berlipat besarnya di bulan tersebut. Mereka meyakini Ramadhan adalah saat-saat
terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka. Mereka melihat kesempatan yang luas terbentang
di hadapan mereka untuk beramal sebanyak-banyaknya dalam mempersiapkan bekal
pertemuan dengan Allah Ta’ala.
Inilah yang membuat mereka berbahagia
dengan datangnya Ramadhan. Mereka tidak akan
merasa berat harus menahan haus dan lapar.
Mereka tidak akan merasa payah berjaga di malam hari menjalankan qiyamul
lail dan tilawah Qur’an.
Berbeda dengan orang yang imannya
kurang. Mereka akan berkeluh kesah
karena harus menahan haus dan lapar.
Apalagi Ramadhan tahun ini jatuh di tengah musim kemarau, terbayang sudah
beratnya.
Namun, kondisi yang terjadi saat ini
membuat kaum beriman tidak mampu menyambut Ramadhan dengan kegembiraan yang
sempurna. Di balik kegembiraan tersebut,
ada was-was menyelip. Apalagi di
kalangan ibu-ibu. Sebulan sebelum
Ramadhan datang, harga-harga kebutuhan pokok sudah merangkak naik. Kenaikan tersebut dipastikan akan terus
berlangsung dan mencapai puncaknya memasuki bulan Ramadhan dan menjelang idul
Fitri. Beban berat bagi sebagian besar
kita.
Pemerintah memang menyatakan bahwa mereka
menjamin pasokan kebutuhan Ramadhan sampai lebaran aman. Tetapi mereka tidak
menjamin harga akan tetap stabil. Ini
berarti para ibu harus ekstra berhitung untuk belanja kebutuhan Ramadhan dan
lebaran. Inilah “nila” yang menodai
kegembiraan menyambut Ramadhan.
Ada
dua hal yang membuat harga-harga melangit memasuki bulan Ramadhan. Yang pertama adalah konsumtivisme masyarakat
yang tinggi. Ramadhan mereka identikkan
dengan ajang “balas dendam”. Setelah
sehari penuh menahan lapar dahaga, mereka merasa layak untuk berbuka dengan
makanan enak dan banyak. Dari ta’jil,
makan besar sampai makanan penutup, komplit.
Otomatis hal ini akan membuat permintaan produk makanan menjadi tinggi
sehingga berimbas pada naiknya harga.
Kedua, sistem ekonomi kapitalis-liberal
yang saat ini diterapkan. Sistem inilah
yang jadi biang keroknya. Melalui
berbagai macam iklan dan kampanye gaya hidup di berbagai media, mereka menyulap
persepsi masyarakat, keinginan menjadi kebutuhan. Inilah yang melahirkan konsumtivisme yang
tinggi di masyarakat, yang membuat produk apapun yang dilemparkan para
kapitalis ke pasar akan terserap habis.
Ditambah tata kelola kapitalistik, membuat
harga dikendalikan sepenuhnya oleh korporasi-korporasi besar yang menguasai
pasar. Rakyat kembali menjadi korban,
harus merogoh kantong dalam-dalam untuk menghadirkan “keceriaan” Ramadhan.
Sudah saatnya kita mengubah keadaan. Mengembalikan niat kita berpuasa untuk
mendapatkan ridla Allah semata. Tidak
perlu memaksakan diri dengan yang tidak
kita miliki. Cukuplah kita bergembira
dengan telah dekatnya janji Allah untuk melipatgandakan semua pahala amal kita
dan menjauhkan kita dari api neraka.
Sudah saatnya pula kita berjuang untuk menyempurnakan
kegembiraan Ramadhan. Menghilangkan nila
yang merusaknya, dengan mengganti sistem ekonomi kapitalis-liberal dengan sistem
ekonomi Islam yang menyejahterakan, dalam naungan Khilafah Rasyidah. ( di kutip dari tulisan DR. Arini )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar