Keluarga adalah tempat bagi
setiap anggotanya untuk mendapatkan curahan cinta dan kasih sayang, serta
pendidikan. Keluarga juga menjadi tempat bagi anggotanya untuk menjaga kebaikan
serta membentengi dari berbagai bentuk kerusakan. Walhasil keluarga adalah
institusi yang sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang sekaligus bagi
masyarakat. Karenanya keluarga harus dilindungi dari kehancuran dan dijamin
segala aspeknya agar fungsinya bisa berjalan dengan baik.
Sayangnya
potret keluarga di negeri muslim terbesar ini, jauh dari harapan tersebut,
terlebih di semester pertama tahun 2014 ini. Kemiskinan makin menjerat
kehidupan keluarga Indonesia. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis
tingkat kemiskinan Indonesia setiap tahunnya, Suryamin, menyatakan bahwa tingkat
kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah (konferensi pers di kantor pusat
BPS, 2/1/2014). Suryamin menambahkan bahwa persoalan
kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah dan persentase karena ada dimensi lain,
yaitu tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Kemiskinan ini menjadikan ayah sulit
menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari usahanya mencari
nafkah. Akibatnya, untuk meraih kesejahteraan keluarga, ayah harus melakukan
apa saja. Bagi yang tidak kuat iman, jalan pintas dengan melakukan kriminalitas
pun ditempuh.
Pada sebagian keluarga lainnya, para
ibunya berbondong-bondong keluar rumah, meninggalkan pengasuhan dan pendidikan
buah hatinya, untuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Berbagai alasan
yang kompleks memicu munculnya fenomena ini: mulai dari sulitnya para ayah
–yaitu kaum laki-laki– mencari lapangan pekerjaan yang memadai, gaya hidup
konsumtif yang menjangkiti keluarga, hingga adanya program pemberdayaan ekonomi
perempuan. Sebagai dampaknya, anak-anak menjadi kehilangan sosok Ibu. Ibu
adalah pendidik pertama dan utama, serta sumber cinta dan kasih sayang dalam
keluarga. Dialah tempat jiwa anak berlabuh ketika menemui persoalan. Ketika Ibu
“tidak berfungsi” –bahkan tidak ada– saat anak membutuhkan, maka anak akan lari
ke pihak lain.
Inilah fenomena yang terjadi pada
anak-anak remaja Indonesia. Pornografi dan pornoaksi, kriminalitas dan
kekerasan, serta konsumerisme dan hedonisme melingkupi kehidupan remaja yang
sedang mencari jati diri dan belum mampu melindungi diri. Akibatnya mereka
terseret dalam arus tersebut. Pergaulan bebas remaja yang merambah hingga ke
desa-desa, kasus remaja Surabaya menjadi mucikari, serta kasus sodomi dengan
jumlah yang mengerikan di Jawa Barat beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa
remaja Indonesia berada dalam titik kritis perilaku.
Sungguh, realita keluarga Indonesia
yang menuju kehancuran seperti di atas adalah buah pahit dari Demokrasi.
Demokrasi adalah sistem politik yang menjadikan kebebasan sebagai prinsip dan
meletakkan akal sekelompok manusia –yaitu wakil rakyat di parlemen dan kepala pemerintahan–
sebagai sumber peraturan dan UU. Hakikat demokrasi ini meniscayakan lahirnya
berbagai UU, peraturan, kebijakan, program yang justru merusak masyarakat.
Sebab duduknya seseorang dalam parlemen atau menjadi kepala pemerintahan
membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Untuk mendapatkan biaya dan menutup
biaya yang telah dikeluarkan, maka menerima kepentingan korporasi dalam
pembuatan UU dengan imbalan uang adalah hal yang otomatis terjadi dalam sistem
Demokrasi. UU dan kebijakan pemerintah bukanlah demi kemaslahatan rakyat,
melainkan demi kepentingan korporasi yang telah membayarnya.
Realitas ini sangat mudah kita lihat
dari berbagai UU dan kebijakan yang sama sekali tidak berpihak ke rakyat,
bahkan menjatuhkan rakyat ke jurang kehancuran. UU Penanaman Modal Asing, UU
Migas, UU Kelistrikan dan berbagai UU lain justru memberikan kekayaan alam dan
energi Indonesia yang berlimpah kepada asing. Rakyat yang seharusnya bisa
sejahtera, harus membiayai sendiri kebutuhan pendidikan, kesehatan dan
fasilitas umum lainnya melalui pajak.
Realita kerusakan kebijakan produk
Demokrasi juga bisa kita lihat dari pornografi dan pornoaksi yang dibiarkan,
bahkan dipermudah aksesnya. PadahaLl
berbagai penyimpangan dan kasus seksual sudah demikian dahsyat bentuk dan
jumlahnya di negeri ini. Kasus pedofilia yang mencuat dan berentetan beberapa
waktu lalu, menunjukkan bahwa sudah saatnya menghentikan berbagai kebijakan
yang justru memicu perkara seksual semacam ini. Terlebih, jelas pedofilia itu
akan menghancurkan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya, serta
keluarganya. Namun hingga hari ini kita melihat bahwa sistem Demokrasi tidak
melakukan apapun untuk memberlakukan sistem pergaulan/sosial yang benar –tentu
karena tidak ada korporasi yang mensponsorinya–.
Realita rusaknya kebijakan buah
Demokrasi juga bisa kita lihat dari berbagai kebijakan pendidikan yang
menjadikan anak-anak Indonesia tercetak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar
alias menjadi buruh dan pekerja bagi para Kapitalis.
Pembiaran lokalisasi dengan alasan demi kesejahteraan
perempuan juga menunjukkan bahwa kebijakan ini jelas-jelas bukan untuk kebaikan
rakyat.
Demikianlah,
Demokrasi menjadi biang dari berbagai persoalan yang menimpa keluarga dan akan
membawa keluarga-keluarga muslim pada kehancuran jika terus dibiarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar