Asean Economic Community (AEC) merupakan
salah satu dari tiga pilar dalam konsep kerjasama AC ( Asean Community) yang bertujuan untuk menyatukan negara-negara anggota menjadi sebuah
kawasan bebas hambatan dan menciptakan kawasan yang aman, damai sejahtera
dan leluasa bagi masyarakat negara anggotanya.Ini adalah follow up dari pembentukan organisasi
kawasan ASEAN, untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat di
kawasan tersebut. AEC menjadi satu
konsentrasi penting disamping APSC (ASEAN Political and Security Community), dan ASCC
(ASEAN Socio-Cultural Community). Jika APSC memfasilitasi kerjasama dalam bidang politik, keamanan dan hukum,
maka AEC berusaha untuk membangun kawasan yang kompetitif dalam hal ekonomi,
sekaligus untuk membendung pengaruh kuat ekonomi dari China dan India. Sementara itu ASCC diproyeksikan untuk mengembangkan isu-isu sosial seperti pemberdayaan manusia, kesejahteraan sosial, keadilan sosial, dan termasuk di dalamnya adalah membangun
identitas ASEAN.
ASEAN
Community ini akan resmi diterapkan
di negara-negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura,
Brunei, Vietnam, Kamboja, Filipina dan Vietnam) tahun depan.
Setiap pengambilan
kebijakan politik berdampak luas bagi masyarakat dan seorang intelektual muslim
seharusnya bersikap kritis agar bisa memberikan gagasan terbaik untuk self
positioning di tengah konstelasi perpolitikan global.
Realitas Kebijakan AEC dan Tantangannya bagi
Indonesia
Secara
konsep, AEC dibentuk sebagai wadah yang menyatukan negara negara anggotanya
untuk mewujudkan tujun bersama yakni menjadi kawasan yang bebas hambatan dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama. Namun ketidakjelasan pembagian antara aturan
bersama dengan legitimasi domestik suatu negara, menyebabkan mengemukanya iklim
kompetisi antar negara. Bagi Indonesia, AEC ini juga dikritisi sebagai bentuk
kekalahan kita sebagai negara berkembang dalam perang kebijakan global.
Kekalahan tersebut disebabkan ketidakmampuan
dalam menghasilkan kebijakan yang unggul dikarenakan ketidakmengertian
pada substansi kebijakan publik dan tidak adanya analisis kebijakan, artinya
kalaupun kebijakan politik ini dikemas dalam sebuah sistem perundang-undangan
formal, namun substansi dan semangatnya tidak sedikit yang melenceng dari cita
cita luhurnya untuk memberikan kesejahteraan rakyat dan membangun kemandirian.
Demikian pula perlu kita
cermati prinsip-prinsip yang bisa berlaku dalam zona perdagangan bebas. Dalam
zona perdagangan bebas dikenal prinsip reciprocity ( timbal
balik).Dengan skema pasar tunggal, barang dan jasa bisa saling bertukar posisi
di seluruh negara anggota ASEAN tanpa hambatan. Hal ini memungkinkan para
dokter, pengacara, akuntan publik dari Malaysia, Singapura atau Thailand bisa
masuk ke Indonesia, dan demikian pula dokter, dan tenaga ahli dari Indonesia
pun juga bisa masuk ke negara tetangga. Ini sebuah tantangan besar bagi
Indonesia yang secara umum tingkat penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa
asing dan profesionalismenya masih di bawah kemampuan negara koleganya.
Prinsip lain dalam
perdagangan bebas adalah non discrimination, yang meniscayakan
dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff ( Tariff and non-tariff
barriers).Misalnya dalam hal harga migas, kemungkinan pertama: Jika
harga migas di Indonesia lebih murah daripada di Singapura,maka pihak Singapura
boleh membeli migas dari Indonesia dengan harga sama dengan volume berapapun.
Jika ini terjadi, maka besar kemungkinan akan mengancam terpenuhinya kebutuhan
migas dalam negri, jika stok terbatas. Kemungkinan kedua: jika harga
pasar harus disamakan di seluruh wilayah ASEAN, maka standar harga akan sama
dan ini memungkinkan melonjaknya harga migas dalam negri mengikuti harga pasar
ASEAN. Implikasinya, akan terjadi kenaikan harga komoditas lain dan
bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia.
Perspektif Islam Tentang Ekonomi
Sistem
ekonomi berbasis syariah terbukti selama berabad abad mewujudkan tatanan
ekonomi dunia yang adil dan produktif.Tentu kita perlu tahu bagaimana konsepsi dasarnya
agar bisa menjadi referensi alternatif untuk memecahkan persoalan ekonomi saat
ini.Ekonomi syariah memberikan panduan lengkap tentang mekanisme proses untuk
membangun sistem perdagangan internasional yang produktif baik di dalam negri
maupun luar negri, baik bagi warga muslim maupun non muslim.
Pengaturan Sistem Perdagangan Internasional dalam
Islam
Pengakuan
seorang sejarawan barat Will Durant dalam bukunya, Tarikh al Hadharah
menunjukkan bagaimana gambaran sistem perdagangan pada masa Khilafah abbasiyyah
di era Khalifah Harun ar-Rasyid:
“Perdagangan domestik ketika itu sangat luas. Bergerak melewati sungai dan
terusan. Harun ar-Rasyid berpikir untuk mengebor terowongan, yang bisa
menghubungkan dua laut, yaitu Laut Tengah dan Laut Merah di tempat Terusan
Suez. Dia pun telah merancangnya, namun Yahya al-Barmaki tidak memberinya
dukungan untuk mengebor terowongan tersebut, karena beberapa alasan yang kita
tidak tahu. Boleh jadi, karena alasan keuangan. Tetapi di atas sungai Dajlah di
Baghdad, di mana lebarnya mencapai 750 kaki, telah berhasil dibangun tiga
jembatan.. “
Dia melanjutkan:
“Ketika itu perdagangan besar telah melalui
jalur-jalur ini. Di antara keistimewaan ekonomi yang dinikmati oleh wilayah
Asia Barat (Timur Tengah) adalah adanya satu pemerintahan yang menguasai
kawasan ini, di mana sebelumnya telah terbelah menjadi empat negara. Dampak
dari kesatuan wilayah ini adalah hilangnya semua halangan tarif dan tax, serta
halangan-halangan perdagangan yang lain di dalam negeri. Ini ditambah dengan
fakta, bahwa bangsa Arab tidak seperti bangsawan Eropa yang selalu memalak
pedagang dan memeras mereka..
Perbatasan seperti Baghdad, Bashrah, Aden, Kairo,
dan Iskandariah telah mengirim ekspedisi perdagangan untuk mengarungi lautan
luas. Perdagangan Islam pun menguasai negeri-negeri di Laut Tengah hingga
terjadinya Perang Salib. Bergerak dari Syam dan Mesir di satu sisi, ke Tunisia,
Shaqliyah, Marakesh (Maroko) hingga Spanyol di sisi lain. Perdagangan tersebut
melintasi wilayah-wilayah Yunani, Italia dan Gala.
Dominasi atas Laut Merah tersebut telah
dipindahkan dari wilayah Ethopia, meninggalkan Laut Khazar hingga Mongolia,
naik di Sungai Volga; Finlandia, Skandinavia dan Jerman. Di sana, meninggalkan
jejak beribu keping uang Islam…
Aktivitas perdagangan ini terus berlanjut, dan
berhasil menghembuskan kehidupan yang kuat di seluruh penjuru negeri hingga
puncaknya pada abad ke-10. Di saat Eropa masih mengalami kemunduran hingga pada
level terendah. Ketika perdagangan ini telah tiada, jejak-jejaknya masih
tersisa dan tampak jelas dalam sejumlah bahasa Eropa, di mana sejumlah
kosakata telah masuk di dalamnya. Seperti Tariff, Magazine, Cravan dan Bazaar.”
Tariff dan Magazine, adalah serapan dari bahasa Arab yaitu, Ta’rifah
dan Makhzan. Sedangkan Cravan dan Bazaar
berasal dari bahasa Persia. (Will Durat, Tarikh al-Hadharah, Juz XIII,
hal. 109-110)
Syariah Islam mengatur perdagangan baik dalam
negri maupun luar negri bukan melihat pada aspek barang yang diperdagangkan,
namun melihat subjek yang melakukan perdagangan. Ada tiga klasifikasi subjek
perdagangan menurut negara asalnya yaitu: (1) kafir harbi yaitu mereka yang
menjadi warga negara kafir yang memusuhi negara dan kaum muslim. (2) kafir Mu’ahad
yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan
negara (3) warg negara islam.
Warga
negara point 1. Diperbolehkan melakukan perdagangan di dalam negri dengan visa
khusus baik terkait dengan diri maupun harta mereka. Warga negara point 2, maka
pergadangan dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara khalifah
dengan negara mereka. Sementara warga negara islam, baik muslim atau non muslim
diberi kebebasan melakukan perdagangan baik domestik maupun luar negri. Hanya saja
untuk komoditas strategis yang dibutuhkan dalam negri yang bisa melemahkan
kekuatan negara dan menguatkan negara musuh tentu tidak boleh di ekspor (
masyru’ ad Dustuur pasal 157).
Kekuatan ekonomi sebuah negara terletak pada
keberlangsungan sumber perekonomiannya, yang dalam hal ini tampak dalam empat
hal yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Perdagangan memainkan
fungsi strategis sebagai mekanisme distribusi hasil produksi.
Kekuatan Ekonomi dalam Negri dengan
Syariah Islam
Islam memiliki sistem dan kebijakan ekonomi yang mampu
mewujudkan kesejahteraan. Ada tiga aspek
dalam sistem ekonomi syariah,yaitu:
a.
Kepemilikan, dibagi menjadi kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Masing-masing
kepemilikan ini telah ditetapkan oleh
syariah. Contohnya, lahan pertanian sebagai milik pribadi, tidak bisa
dinasionalisasi. Sebagaimana kepemilikan umum, seperti migas, tambang dan
lain-lain tidak bisa diprivatisasi atau
dimiliki oleh negara. Karena masing-masing telah diatur dan ditetapkan
kepemilikannya oleh syariah.
b.
Pengelolaan kepemilikan , baik
pembelanjaan maupun pengembangan
kepemilikan, harus mengikuti hak yang melekat pada kepemilikan harta tersebut.
Karena hak mengelola harta itu merupakan konsekuensi dari kepemilikan. Contohnya:
harta pribadi, bisa digunakan untuk pemiliknya, tetapi tidak oleh publik karena
bukan milik mereka. Sebaliknya, harta milik umum, bisa dimanfaatkan oleh
pribadi, karena izin yang diberikan oleh syariah kepadanya.
c.
Distribusi kekayaan di masyarakat.
Distribusi kekayaan ini merupakan kunci dari masalah ekonomi. Jika distribusi
kekayaan terhenti, akan menimbulkan masalah ekonomi. Maka distribusi kekayaan
ini harus lancar, hingga sampai ke tangan individu per individu, agar masalah
ekonomi teratasi. Karena itu, Islam melarang keras praktek menimbun harta,
emas, perak dan mata uang. Tujuannya adalah, agar harta tersebut berputar di
tengah-tengah masyarakat dan bisa menggerakkan roda ekonomi.
Sistem ini ditopang dengan kebijakan ekonomi yang
ideal, agar produksi dan distribusi dengan baik dan benar. Dalam hal Produksi, agar
produksi domestik negara tinggi, dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya,
maka kebijakan negara terkait dengan sumber perekomian benar-benar diterapkan
dengan baik dan benar. Sumber tersebut meliputi: (1) Pertanian; (2)
Perdagangan; (3) Industri; (4) Jasa.
Dalam hal ini, negara akan
memastikan seluruh sumber tersebut benar-benar bisa menghasilkan barang dan
jasa, sehingga bisa menjamin produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat. Untuk
itu negara menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian, atau membiarkan
lahan pertanian tidak dikelola lebih dari 3 tahun,melarang praktik riba dalam
perdagangan karena bisa merusak perekonomian. Negara juga memastikan, industri
kepemilikan umum tidak boleh dikelola oleh swasta, baik domestik maupun asing.
Ini juga untuk menjamin tingkat produksi demi menjamin kemakmuran rakyatnya.
Dengan tingkat produksi yang tinggi, satu hal
penting yang harus dipastikan oleh negara, yaitu terdistribusikannya barang dan
jasa tersebut dengan baik di tengah-tengah masyarakat, sehingga setiap kepala
bisa dipastikan telah terpenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.
Indonesia, nampaknya
perlu belajar dari sistem syariah jika menginginkan tatanan ekonomi yang kuat
apalagi kekuatannya sudah terbukti dalam sejarah peradaban selama ribuan tahun.
Identitas politik yang jelas, sangat dibutuhkan untuk mengimplementasikan
berbagai kebijakan ekonomi. Semua tidak lain adalah untuk mencapai tujuan agar
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Menyeluruh bagi warganya
muslim maupun non muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar