Pagi ini dan semalam yang lalu,
aku membaca beberapa literatur tentang konsep demokrasi, pluralisme dan
toleransi dalam berbagai jurnal. Berusaha mengerti bagaimana konteks demokrasi
ini difahami oleh umat islam dan keinginan baik dari para pejuang demokrasi
untuk merealisasikan demokrasi dalam kancah kehidupan yang ideal, saya tidak
tahu tentang berapa jenis demokrasi dalam disiplin ilmu politik yang dipahami
para pakar. Karena memang saya bukan pakar apalagi bisa menganalisis dengan
tajam.
Kemudian saya membaca kisah
Rasulullah SAW, disana saya tidak menemukan kata demokrasi secara tekstual.
Tidak ada kata kata itu. Mungkin ada kali ya secara kontekstual, seperti biasa
kubuka al Quran dan kubaca. Alif laam miim. Dzalika al kitaabu laa raiba
fiih. Hudan lil muttaqiin. Alladziina yu’minuuna bil ghaib wa
yuqiimuunassholaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun. Walladziina yu’minuuna bimaa
unzila ilaika wamaa unzila minqoblika. Wabil aakhirati hum yuuqinuun.... Yah
kitab alquran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang orang yang
bertaqwa. Yang meyakini hari berbangkit.
Aku merenung, berarti ajaran al quran
itu seluruhnya adalah petunjuk. Petunjuk tentang bagaimana hidup ini harus
dijalani, tentang bagaimana masalah itu harus dihadapi.tentang bagaimana kesulitan
harus diatasi. Berarti kehidupan berpolitikpun harus merujuk ke al qur’an ya,
kehidupan ekonomi bahkan soal pidanapun harus merujuk kesana. Pun dengan hadis.
Meski kemudian ada yang menjelaskan bahwa pemahaman hadis dan al quran kan tergantung
pada interpretasinya. Kalimat ini menurut saya sangat ambigu. Begitu banyak orang
menginterpretasikan al quran dalam rangka defensif apologetik agar agama ini
bisa diterima oleh kalangan yang memandang islam dari sisi pandang orientalis.
Ah entahlah, saya hanya seorang yang faqir
ilmu, jauh dari pemahaman para intelektual. Yang saya pahami bahwa islam
mengajarkan untuk taat pada segala perintah Allah, menjauhi segala larangan
allah. Islam adalah Rasulullah SAW dalam menyelesaikan sengketa di negara
Madinah al Munawwarah. Islam tidak hanya melihat pada sebuah tujuan semata,
namun juga melihat aspek ketaatan dalam segala hal baik diketahui tujuannya
atau tidak, jika itu syariah maka harus dilaksanakan. Allah yang Maha Tahu
segala sesuatu, kadangkala akal kita tidak mampu menjangkaunya. Jadi yang
terpenting adalah bagaimana caranya agar kita tunduk pada aturan Allah tanpa
harus mengkompromikan dengan hal lain yang dinilai manusia sebagai maslahat. Dalam
hal yang wajib, islam tidak bisa tawar menwar. Pada hal yang sunnah islam
menganjurkan, pada hal yang haram islam melarang tanpa tawar menawar. Pada hal
yang makruh Islam menganjurkan untuk meninggalkan dan pada hal yang mubah islam
memberi pilihan sesuai asas manfaat.
Aku menengok demokrasi, ketika
standar baik buruknya suatu perbuatan adalah manfaat dan maslahat bagi
masyarakat, demokrasi ini selalu menawarkan jalan tengah terhadap konflik
masyarakat. Misalnya ketika ada kasus pelacuran yang merajalela, demokrasi
menawarkan lokalisasi agar tidak tercecer kemaksiatan dijalan jalan. Ini
mengakomodasi keinginan semua kelompok. Bagi kelompok yang ga setuju pelacuran
diakomodasi dengan menghilangkan pemandangan pelacuran ditempat umum, dan bagi kelompok yang suka pelacuran difasilitasi dengan lokalisasi.
Prinsipnya, bebas yang diatur. Nah, saya sebagai muslim yang meyakini al quran
jadi heran, trus perintah dalam qs annur ayat 2 itu gimana? Tentang hukuman
bagi pezina? Pelacur? Apa perlu diinterpretasikan lagi dengan lebih soft
sehingga hukum rajam atau jilid ini bisa diganti dengan lokalisasi?. Yah,
mungkin ada yang menjawab, lokalisasi kan
baru tahap awal, selanjutnya kan dibina dan dilakukan negosiasi agar mereka
menjauhi perbuatan itu.Pikiran saya berdialog bebas dengan segala imajinasinya.
Rasanya jidat ini menjadi panas serupa orang demam. Kemudian saya memberanikan
diri bertanya pada hati kecil saya, siapa pabrik pelacuran itu? Bukankah pabriknya adalah kebebasan?
Saling menghargai dan toleransi? Bagaimana mungkin perbuatan amoral ini akan
berhenti jika pabriknya tetap beroperasi? Serupa dengan larangan merokok pada
bungkus rokok sementara yang menulisnya adalah pabrik rokok? Ah ide macam mana
ini?
Tegasnya islam, pada hal yang
sifatnya wajib dan haram, tidak ada tawar menawr. Sementara dalam demokrasi,
semua hal bisa dinegosiasi. Tidak ada halal haram, yang ada adalah manfaat. Jadi,
kalau saya seorang muslim demokratis, bagaimana bisa menerapkan standar ganda
begini? Bagaimana akan berdiri di dua tempat pada satu waktu dan pada satu
persoalan? Bukankah jelasnya al haq dari al batil itu seterang matahari
diantara sinar bulan?
Buku buku saya tumpuk sedemikian rupa mengakhiri renungan
sederhana saya. Dan yang paling atas adalah mukaku yang tertelungkup ditumpukan
buku, menarik nafas panjang. Panjang sekali, mencoba berkompromi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar