Penutupan
Gang Dolly tinggal beberapa saat lagi. Berbagai perlawanan terjadi ditengah
riuhnya pro kontra capres cawapres. Maka persoalan gang Dolly ini sedikit
banyak menjadi issu yang dipertimbangkan dalam pemihakan seseorang terhadap
capres mereka. Dan memang persoalan ini menjadi pelik ketika urusannya bukan
sekedar soal dosa pahala, namun lebih cenderung kepada implikasi ekonomi ribuan
orang yang selama ini mengais rejeki di lokalisasi terbesar se Asia Tenggara
itu.
Adalah pemkot Surabaya
yang menjadi tempat bernaungnya lokalisasi ini, merencanakan untuk menutup gang
Dolly ini karena dinilai bertentangan
dengan perda no 7 tahun 1999, yang berisi aturan tentang tidak diperbolehkannya menggunakan dan
mendirikan bangunan untuk tujuan asusila.
Pemkot surabaya di bawah kepemimpinan Bu Risma berencana maka mengalihfungsikan
lokalisasi prostitusi ini menjadi tempat penjualan produk kerajinan dgn menutup
dan menegosiasi para PSK dan mucikari agar beralih usaha ke sektor yang lebih
bermoral. Namun rencana penutupan ini menuai perlawanan dari warga setempat dengan
alasan pemkot belum menawarkan solusi
kongkrit, bahkan janji kompensasi pun
belum terealisasi. Issu lain adalah tentang tidak sepadannya kompensasi yang
diberikan oleh pemkot Surabaya jika dibandingkan dengan penghasilan para
psk selama ini. Layaknya sebuah berita, distorsipun
terjadi, karena menurut pemkot Surabaya, banyak psk yang sengaja menolak
pesangon alias mempersoalkan kompensasi biaya yang dberikan oleh pemkot. Mungkin
fenomena ini terasa ganjil, mengingat
kita dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama, sedangkan
prostitusi adalah haram dalam sudut pandang agama manapun.Bagaimana ini bisa
terjadi, dan apa solusi yang seharusnya diberikan, tulisan sederhana ini
berusaha mengupasnya.
Prostitusi menjadi lahan bisnis
Gang Dolly
adalah potret ketika kemaksiatan telah menggurita menjadi menjadi kebutuhan
dan kepentingan sebagian orang dan sudah
menjadi budaya yang dianggap biasa. Benar,jika dikatakan bahwa “kebiasan dan
tingkah laku yang diulang ulang akan berubah menjadi aturan dalam sebuah
masyarakat”. Mungkin pada awalnya prostitusi dianggap sebagai suatu hal yang
tabu, namun ketika sebuah kemaksiatan
ini didiamkan dan tidak dihadapi oleh
kebaikan yang terorganisir, tidak ada yang berani mengingatkan, ia akan tumbuh
meraksasa dan menjelma menjadi
kepentingan dan kebutuhan tak
terelakkan. Maka wajar ketika ada wacana
penutupan gang Dolly, yang protes terhadap kebijakan ini bukan hanya para pelaku
seks bebas atau penghuninya namun juga para pedagang, pengusaha laundry,
penjual baju dan lain lain di sekitar lokalisasi ini. Semua dianggap wajar dan
sah, hingga ada kaidah Ham, kaidah agama
yang juga dijadikan dalil untuk menolak penutupannya. Begitulah kira kira
fenomena gang Dolly. Ia tumbuh besar dan akarnya kemana mana, sulit
mencerabutnya karena ibarat pohon ia sudah menjadi pohon tua yang meraksasa. Kepentingan bisnis beromset besar sudah menjadi
penopangnya sehingga sebagian orang bermodal ikut bermain untuk menghentikan
rencana penutupannya. Maka alasan kesejahteraanpun menjadi lumrah menutupi
sekian alasan bisnis lain yang sudah jamak diketahui khalayak.
Jika kepentingan Ekonomi bebas nilai
Dalam sistem
yang menganut kebebasan ala kapitalisi liberal, ekonomipun digerakkan oleh
kuasa pasar, dan prinsip ekonomi, yakni memperoleh keuntungan sebesar- besarnya
dengan pengorbanan sekecil kecilnya. Demikian pula berlaku asas manfaat yaitu
nilai guna suatu barang /jasa ditentukan oleh permintaan pasar tanpa
memperhatikan unsur lainnya. Maka
demikian halnya dengan prostitusi atau miras. Selama ada pihak yang merasakan
adanya manfaatnya, dia akan tetap bertahan di pasar karena masih memiliki
nilai. Dimana letak moral, agama dan iman? Jangan ditanya karena sistem ekonomi
ini bukan buatan Tuhan tapi buatan manusia yang menganut asas kebebasan. Sistem ini akan menjadi dilema apabila
diterapkan dalam masyarakat muslim yang notabene mengenal konsep halal-haram
dalam kehidupan. Yaitu bahwa hak hidup dan hak memiliki harta tidak boleh
menghalalkan segala cara, dan bahwa barang dan jasa yang digunakan sebagai alat
pemuas kebutuhan juga tidak boleh keluar dari koridor syariah. Apa yang akan
terjadi?Tentu saja akan terjadi gesekan
dan tumbukan antara kepentingan agama dan motif ekonomi ini. Inilah sulitnya
mempertemukan prinsip islam dengan prinsip liberal, karena pasti akan ada
prinsip yang dikorbankan, dalam hal ini islam yang akan di marginalisasi.
Islam : Solusi tuntas
Jelas bahwa islam adalah agama sempurna
yang aturannya tidak memerlukan intervensi sistem lain termasuk kapitalistik. Intervensi ini justru akan melemahkan ajarannya. Berbeda dengan
kapitalistik yang memang merupakan
sistem hidup berorientasi duniawi, maka ia sangat mudah bergandengan dengan
agama nasrani atau yahudi yang lebih
fokus terhadap aturan ibadah dan tidak memiliki aturan hidup yang khas. Hanya
islam sekuler yang bisa bergandengan tangan dengan kapitalistik ini, karenanya
nilai islam yang menyentuh aspek sosial akan tergusur.
Ketika Islam dipahami sebagaimana
pandangan orientalis memahami agama, maka banyak sekali ajaran islam yang tidak
bisa diterima dalam ranah sosial politik. Hanya ranah ritual dan sebagian
akhlaq yang bisa diterapkan karena ia lebih bersifat privat. Sedangkan ranah
publik tak tersentuh oleh Islam kecuali sebagian kecilnya saja. Oleh karena itu
dalam kasus prostitusi yang terlokalisasi ini, nilai islam akan sulit bermain
dan menjadi dilematis untuk diterapkan. Sebab, secara sosial prostitusi ini
dianggap justru meminimalisir bahaya seks bebas dengan dikhususkannya pada
lokal tertentu saja alias tidak tercecer di jalanan. Mungkin akan ada yang
menggunkan kaidah fiqh “ memilih diantara dua keburukan yang paling ringan
akibatnya”. Padahal seharusnya sebagai
sebuah bentuk pelnggaran syariah, prostitusi itu tidak boleh ditoleransi,
masyarakat tidak boleh mencari nafkah dari jalan yang haram dan syubhat.
Kembali pada prinsip islam kaffah
akan menjadi standar baku untuk mengenyahkan segala kemaksiatan bermotif ekonomi
ini. Karenanya semua lini harus dirubah total. bukan hanya mencukupkan diri
dengan penutupan lokalisasi. Hablumminallah, dalam hal ini memperbaiki aqidah
dan meningkatkan kualitas ibadah masyarakat harus dilakukan.Hablum binafsih
yaitu mengkonsumsi hanya makanan dan minuman halal, akhlak yang baik juga di
benahi, dan tidak lupa hablumminannaas dalam segala aspek juga harus dirubah mengikuti
syariah. Untuk itu peran individu yang bertaqwa, masyarakat yang cerdas dan
peduli serta negara yang responsif dan
pemimpin transformatif sangat diperlukan . Islam itu rahmat bagi seluruh alam,
bagi seluruh umat manusia, aturannya bersifat universal dan menghargai hak
asasi manusia, maka ia cocok untuk segala jaman dan tempat. Dengannya,
masyarakat madani akan terbentuk. Bukan
hanya lokalisasi ala gang Dolly yang bisa di atasi, tapi seluruh pemasalahan
umat. Memang bukan perkara mudah namun
harus dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar