Sejak
digulirkannya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara
masif dan luas di Indonesia. Hampir semua negara di dunia meyakini demokrasi
sebagai “ tolok ukur tak terbantahkan dari keabsahan politik”. Keyakinan bahwa
kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi
tegak kokohnya sistem politik demokrasi.
Sistem politik
demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang
demokratis. Sistem politik demokrasi diyakini mampu menjamin hak kebebasan
warga negara, membatasi kekuasaan pemerintahan dan memberikan keadilan.
Indonesia
sejak awal berdiri sudah menjadikan demokrasi sebagai pilihan sistem
politiknya. Namun pada perkembangannya, demokrasi di Indonesia mengalami masa
pasang surut, sesuai dengan konteks zamannya. Landasan negara Indonesia sebagai
negara demokrasi terdapat dalam :
a.
Pembukaan UUD 1945 pada alenia 4
yaitu “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD
Negara RI yang terbentuk dalam suatu susunan Negara RI yang berkedaulatan
rakyat….”
b.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan
UUD.
Demokratisasi
memang telah menjadi isu global, namun demikian, masa depan demokrasi
bergantung pada persyaratan – persyaratan agar ia tetap eksis. Faktanya, Praktek
politik yang terjadi menyimpang dan jauh dari cita – cita demokrasi. Berbagai konflik dalam proses demokratisasi politik terjadi,
diantaranya adalah menggejalanya kepentingan seksional yang memengaruhi corak
dan warna politik demokrasi.
Antara Kepentingan
Seksional dan Politik demokrasi
Suatu pemerintahan
demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu
orang, seperti monarki atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu,
perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak
ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi,
oligarki, dan monarki.
Duane Swank,
Ph.D menyatakan,” Democracy is a form of government, a way of life, a goal or ideal and a
political philosophy. The term also refers to a country that has a democratic
form of government. The word “democracy” means rule by the people. United
States President, Abraham Lincoln described such self government as government
of the people, by the people, for the people”[1].
Ada beberapa
jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara
seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi
langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam
pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern,
seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan
politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi
perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang
berkembang pada abad pertengahan Eropa, Era
pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat maupun Revolusi Perancis.
Menurut
Hennry B. Mayo, sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil – wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan – pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Menurut Samuel Huntington, sistem politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Menurut Samuel Huntington, sistem politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Secara
substantif, prinsip utama dalam demokrasi ada dua, yaitu kebebasan / persamaan
(freedom / equality) dan kedaulatan rakyat (people’s sovereignity).
Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan memberikan hasil
maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari penguasa. Jadi, bagian
tak terpisahkan dari ide kebebasan adalah pembatasan kekuasaan penguasa
politik. Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi kebebasan warganya
sekaligus memberi tugas pemerintah untuk menjamin kebebasan tersebut. Demokrasi
pada dasarnya merupakan pelembagaan dari kebebasan.
.Ciri-ciri
suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Kepentingan seksional adalah
kepentingan yang mengutamakan diri dan segelintir orang terdekat, berakar kuat
pada imajinasi elitisme identitas dan hasrat kekayaan. Elitisme identitas
merupakan posisi istimewa dalam struktur sosial, diperoleh melalui justifikasi
moral historis seperti trah raja atau tokoh besar ( Novri Susan, Distorsi Kekuasaan Demokratis). Kepentingan
seksional juga bisa direpresentasikan oleh dominasi kelompok elite kapital
besar atau partai politik yang bekerja dan mengabdi pada kepentingan mereka
sendiri dan menafikkan kepentingan publik.
Tidak bisa dipungkiri, di era
demokratisasi saat ini politik kepentingan seolah seperti rumput dalam rumpun
padi. Dia seperti gulma politik dalam pesemaian demokrasi yang sedang digadang-gadang
masyarakat sebagai gambaran politik ideal di negeri ini. Nilai nilai ideal
demokrasi nyaris tak menemukan fakta idealnya, karena kepentingan seksional
mendominasi ranah praktis perpolitikan.
Dalam ide politik demokrasi, rakyat
adalah pemegang kekuasaan tertinggi, namun faktanya kekuasaan rakyat yang
diwakilkan kepada para anggota legislatif maupun eksekutif ini seringkali
dibajak dengan money politics, yang kemudian ketika sang wakil telah
berkuasa, kepentingan dan hak-hak rakyat diabaikan bahkan mereka sibuk
memakmurkan orang-orang terdekatnya, keluarganya atau kepentingan partai dan
perusahaannya. Keadaan ini diperparah dengan dipeliharanya pembodohan politik
sehingga dimana-mana menggejala floating mass agar suara mereka mudah
dibeli dengan selembar dua lembar rupiah. Adapun pada kalangan yang melek
politik, sebagian terjebak pada sikap apatis kepada parpol yang menyebabkan
meningkatnya jumlah golput, meskipun tidak bisa dipukul rata bahwa golput
berarti apatis.
Demikian pula ketika ada idealisme
pada beberapa tokoh grass root untuk mewakili kepentingan rakyat, mereka
terjebak pada birokrasi perpolitikan yang sarat kapital, di level pusat hingga
level daerah. Akibatnya para tokoh ini melakukan kompromi- kompromi politik
untuk bisa naik ke jabatan yang diinginkan baik di legislatif maupun eksekutif,
yang ujungnya adalah mengabdi kepada kepentingan seksional para pemilik modal
dan partai yang mensponsorinya. Apa jadinya jika seorang pemimpin/wakil rakyat/birokrat
bukan memperjuangkan rakyat, tapi memperjuangkan kepentingan seksional pemodal
dan parpol? Mungkinkah kesejahteraan yang menjadi hak rakyat bisa dipenuhi?
Maka clear, pendidikan politik menjadi kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah ini. Rakyat yang selama ini termarginalisasi dalam proses pembangunan,
harus dibina dengan pendidikan politik yang masif. Pendidikan politik yang
dimaksud bukan hanya sebatas memahamkan mereka terhadap proses pemilu agar
tidak salah memilih wakil, namun juga mencakup pemahaman tentang hak dan
kewajiban mereka sebagai warga negara, dan kewajiban mereka untuk ikut mengawal
proses legislasi kebijakan pemerintah.
Disamping itu konsolidasi dikalangan para tokoh akar rumput yang menyadari
pentingnya memenuhi hak -hak rakyat sangat dibutuhkan agar terbentuk kekuatan
yang berbasis dan berpihak pada kepentingan publik.Kekuatan ini akan menjadi
harapan baru bagi masyarakat.
Analisis Kontekstual Pengaruh
Kepentingan seksional terhadap Politik demokrasi pada Ranah Lokal
Kasus terkait kebijakan publik yang mengabdi pada
kepentingan seksional yang saya angkat dalam artikel ini adalah pemberlakuan UU
BPJS untuk mereformasi kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan
UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No 40
Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS menjadi lembaga superbody yang
memiliki kewenangan luar biasa di negara
ini untuk mengambil dana dari rakyat.
Tidak hanya kepada para buruh, tapi sasaran UU ini adalah
seluruh rakyat Indonesia. Kedua UU
tersebut mengatur tentang asuransi
sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal
29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan
sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip
asuransi sosial.
Pada faktanya, UU BPJS dan SJSN ini memaksa rakyat sedemikian rupa atas nama
kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya.
Bagaimana tidak memaksa, karena UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi
rakyat yang tidak mau membayar premi. Maka patut dikritisi jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sebaliknya rakyat akan terbebani oleh kewajiban yang ditetapkan oleh
UU tersebut.
Kedua undang-undang tersebut akan mengokohkan hak sosial rakyat yaitu terjaminnya kesehatan
yang menjadi kebutuhan pokok ( dlaruriyah) yang berubah menjadi
komoditas bisnis. Bahkan aturan ini akan mengeksploitasi rakyat demi keuntungan
pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai
komoditas bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi
marjinal residual.Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang
sentral substansial.Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah
mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, di mana dalam era
globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang
predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak
sosial rakyat melalui badan-badan usaha
asuransi.
Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia.Institusi
bisnis asuransi multinasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di
Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17,
juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b di mana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk
menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi.Maka sudah seharusnya,
pemerintah dan DPR mencabut kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan
makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Sebuah bukti nyata bahwa
kepentingan seksional mengaburkan prinsip politik demokrasi yang mengutamakan
kepentingan publik.- ( disusun untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Ilmu Politik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar