Rencana induk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang diluncurkan Presiden
SBY, 27 Mei, menuai banyak kritik. MP3EI
intinya mencakup tiga strategi utama. Pertama, pengembangan potensi daerah
melalui enam koridor ekonomi (KE): Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku. Kedua, memperkuat konektivitas
nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi
kinerja sektor riil dengan menyelesaikan masalah peraturan nasional dan
infrastruktur utama nasional. Ketiga, mengembangkan center of excellence di
setiap KE dengan pengembangan SDM dan iptek untuk peningkatan daya saing.
Mengkritisi MP3EI
Penting kiranya mencermati apa makna
koridor dalam MP3EI. Karena dalam rancangan program yang sedang dan akan
dijalankan, yang terlihat adalah upaya membangun infrastruktur hanya dalam
rangka mengangkut sumber daya alam yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Tidak ada penjabaran bagaimana mekanisme ekonomi yang akan meningkatkan taraf hidup dan
kualitas hidup masyarakat di Indonesia, seiring dengan capaian program
masing-masing koridor.
Yang
terlihat dari kata “konektifitas”, pada program implementasi penjabaran dan
prediksi adalah sebatas pemastian terangkutnya sumber daya alam yang berasal
dari berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kemudian hasil
triliunan dari tambang batu bara, gas, kebun sawit dll akan digunakan untuk
re-invest di Jakarta, Singapura, dan Hongkong.
Sehingga
yang tertangkap dari arti kata “percepatan dan perluasan” dalam MP3EI hanyalah
perluasan ruang berinvestasi bagi pengusaha, bukan bagi rakyat.
Sedangkan bagi mayoritas warga,
dampak capaian MP3EI adalah menyempitnya ruang untuk hidup dengan layak, baik
di daerah yang kaya SDA maupun di kota besar. Ruang hidup layak di area kaya SDA akan
menyempit karena degradasi lingkungan berupa temperatur naik, tanah kritis, dan
sungai tercemar. Ruang hidup yang layak bagi warga kota juga akan terus menyempit seiring perluasan
penguasaan lahan untuk bisnis properti dan infrastruktur.
Sehingga
harapan bahwa pembangunan infrastruktur dalam MP3EI adalah untuk kepentingan
umum hanyalah utopia. Pembangunan jalan tol, khususnya tol dalam kota, yang
menjadi komoditas utama dalam MP3EI sejatinya adalah perampasan hak rakyat atas
ketersediaan jalan umum. Negara (pemerintah) bukan saja berlepas tangan dalam
penambahan umum di Jakarta, tetapi bahkan menjadikan rakyat sebagai konsumen
atau pembeli jasa jalan tol.
Penting untuk disadari, bahwa dampak
kedepannya ketika beberapa mega proyek dalam MP3EI telah terwujud, maka
sebagian besar rakyat kota besar akan tinggal di kawasan marginal. Kawasan
marginal terbentuk karena kawasan strategis dikuasai pebisnis dari tangan rakyat
yang buta informasi tentang nilai masa depan lahan. Dampak yang mencemaskan dari
MP3EI adalah kualitas lingkungan di daerah kaya SDA maupun kota besar untuk
mayoritas masyarakat akan makin buruk. Hal ini diperparah dengan adanya
fragmentasi, segregasi dan polarisasi sosial di Jawa, selain meluasnya bekas
"ladang berpindah " di Kalimantan.
Sehingga semestinya perguruan tinggi
terkemuka harusnya mengkritisi MP3EI. Bukan menjadi skrup dan menyediakan
pelaksana proyek-proyek (penjajahan Indonesia) di dalam MP3EI.
Hal lain yang patut dicermati adalah
aspek pendanaan dalam rancangan tersebut. Tanpa konsep kemandirian. Menko
Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan bahwa sampai 2014 nilai investasi yang akan
ditanamkan BUMN di dalam koridor itu akan mencapai Rp 4000 triliun. Dana itu
diperoleh dari BUMN sebesar Rp 900 triliun, APBN Rp 600-an triliun, swasta 150
miliar dolar AS, dan asing 150 miliar dolar AS. Sehingga bisa dipastikan Indonesia
akan semakin jauh masuk ke dalam perangkap utang (debt trap).
Adapun prediksi bahwa Indonesia akan
menikmati bonus demografi pada 2025 yang akan membawa Indonesia dalam kemajuan,
hanyalah sebuah angan-angan. Karena dalam MP3EI, posisi masyarakat Indonesia
adalah dalam posisi sebagai pekerja, yang terjajah dan digaji untuk menjadi
pangsa pasar (terlihat dari rancangan yang membuka semua koridor sebagai pasar
produk asing). Padahal sejatinya mereka adalah pemilik sumber daya alam yang
melimpah ruah.
Masa Depan Indonesia Yang Sejahtera: Bersama Khilafah
Ada
dua kesalahan mendasar dalam perumusan konsep pembangunan ekonomi Indonesia.
Pertama, kesalahan metodologi dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi. Kedua,
kesalahan karena tidak mengacu kepada politik ekonomi Islam. Dengan basis
ideologi yang tidak jelas, maka rumusan tujuan dalam pembangunan ekonomi tidak
pernah tercapai, dan berubah-ubah dalam
implementasi. Sehingga gagal mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi.
Tentu dibutuhkan
mekanisme sistem ekonomi yang lebih baik yang bisa mengatasi berbagai kondisi
yang muncul saat ini sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem
ekonomi yang diharapkan menggantikan system yang ada sekarang tentulah sebuah
sistem ekonomi yang sudah teruji kadar keberhasilannya secara empiris. Dan
semua mekanisme paripurna itu ada di dalam Sistem Ekonomi Islam. Sebuah
mekanisme pengaturan berekonomi yang terbukti selama dalam kurun 13 abad mampu
memimpin dunia dalam kesejahteraan, mewujudkan sistem ekonomi dunia yang
stabil, tidak rentan krisis, membawa produktifitas dalam perdagangan
internasional yang jujur dan kompetitif. Di atas semua itu, keunggulan yang
tidak pernah dimiliki oleh sistem ekonomi selain Islam adalah kemampuan sistem
ekonomi Islam dalam mewujudkan kesejahteraan secara materiil sekaligus menjaga
nilai-nilai luhur dan mulia, yang semestinya memang tidak boleh hilang dari
sosok manusia.
Indonesia, sekalipun memiliki sangat banyak kekayaan
sumber daya alam, dalam kenyataannya Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk
miskin yang sangat besar.
Pertanyaan yang muncul mengapa terjadi kontradiksi ? Mengapa kekayaan sebesar itu tidak cukup untuk memakmurkan rakyat Indonesia? Jawabannya adalah bahwa sebagian besar kekayaan tersebut telah dikuasai oleh swasta, terutama perusahaan swasta asing melalui perusahaan transnasional.
Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi
yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam
ini.
Menurut pandangan Islam,
hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits
Rasulullah SAW:
‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air,
padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy
Sayukani, Nayl al Authar, halaman 1140)
Maka, pengelolaannya tidak
boleh diserahkan kepada swasta (corporate
based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based
management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai
bentuk.
Pengelolaan negara terhadap
sumber daya alam ini menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, hasil pengelolaannya menjadi
sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi
berbagai kebutuhan negara. Kedua,
negara bisa berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Pengeluaran
negara dari sumber daya alam ini bisa dialokasikan untuk berbagai kebutuhan.
Antara lain:
· Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang
berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
·
Dikembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik sumber daya
alam itu. Khalifah boleh dan bisa membagikannya secara langsung dalam bentuk
benda yang memang diperlukan atau dalam wujud layanan kebutuhan dasar seperti
pendidikan dan kesehatan murah juga infrastuktur lainnya.
Dengan politik ekonomi
Islam, kekayaan alam Indonesia akan menjadi pos penerimaan negara yang sangat
besar. Ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang di mana pos penerimaan negara
dalam APBN justru didominasi oleh pajak. Hasil kekayaan alam justru dinikmati
oleh swasta, baik lokal maupun asing, sedangkan rakyatnya tetap menderita.
Kondisi ini tidak akan terjadi jika sistem ekonomi Islam mengaturnya. Perhitungan matematis bisa menunjukkan
potensi luar biasa itu.
Tabel Penerimaan APBN Syariah
Sektor Kepemilikan Umum
KEPEMILIKAN UMUM
|
PENERIMAAN
(Juta
Dinar)
|
PENERIMAAN
(Triliun
Rupiah)
|
Minyak
|
121,5
|
182,25
|
Gas
|
178,9
|
268,35
|
Batubara
|
127,5
|
191,25
|
Emas Dan Mineral
|
33,5
|
50,25
|
BUMN Kelautan
|
48,9
|
73,35
|
Hasil Hutan
|
666
|
999
|
JUMLAH
|
1.176,3
|
1.764,45
|
Jika
Indonesia diasumsikan memberlakukan konsep APBN Syariah (Baitul Mal) dalam
sistem keuangan negaranya, maka akan didapati pemasukan dari sektor kepemilikan
umum sebesar Rp.1.764,45 triliun. Jumlah yang jauh melampaui angka Rp.1.104
triliun yang terdapat dalam pemasukan APBN konvensional tahun 2011. Itu pun
belum termasuk pemasukan dari pos zakat dan pos fa`i dan kharaj.
*dikutip dari tulisan Nida saadah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar