Setahun lalu, tepatnya pada bulan Desember
2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)telah menetapkan tahun 2013 sebagai tahun darurat
kekerasan seksual. Ketua KPAI saat itu
-Badriyah Fayumi- mengatakan kekerasan seksual telahberada pada titik yang sangat sadis dan
di luar nalar sehat.Sejak tahun 2010, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan
seksual setiap bulannya.
Setengah tahun berlalu, pencanangan itu
justru menuai ironi. Kasus kekerasan
seksual pada anak-anak Indonesia makin
mengerikan. Laporan kekerasan yang
diterima Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) sepanjang tiga bulan pertama tahun
2014 sebanyak 252 kasus.Arist Merdeka Sirait –Ketua Komnas PA- mengungkapkan 42 sampai 62 persen di antara kasus kekerasan
anak terlapor adalah kekerasan seksual.
Peningkatan kasus hari per hari menumbuhkan
keprihatinan yang sangat.Hampir semua pihak menganggap kasus berulang karena hukuman
bagi pelaku kejahatan itu tidak mampu memberi efek jera. Mayoritas solusi
mengerucut pada keinginan untukmerevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (UU PA). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, merevisi UU memang
sangat diperlukan atas desakan masyarakat.
Impelentasi hukuman maksimal 15 tahun bagi penjahat pedofilia tidak
pernah dipergunakan, bahkan mereka juga merasakan remisi sehingga hanya menjalani
hukuman 5-6 tahun.
Hukum positif yang diberlakukan di negri
ini memang dianggap tidak mewakili kebutuhan masyarakat.Maklum, pasal 289 KUHP hanya
mengancam pelaku kekerasan yang memaksa seseorang untuk melakukan ataumenyerang
kesusilaan, hanya diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.Bahkan pasal 290
KUHP hanya mengancam pidana paling lama 7
tahun. Sedangkan ketentuan pidana
terhadap kejahatan seksual yang tertuang pada pasal 81 sampai 82 dalam UU
PA menjatuhkan penjara 3-15 tahun dan
denda dari Rp 60 juta hingga 300juta rupiah.
Untuk sementara ini, masyarakat menganggap revisi
UU PA memang baru bermain di tataran penghukuman berat bagi pelaku
kejahatan. Kegeraman publik hanya
berujung pada penambahan masa hukuman, mewacanakan hukuman mati,suntik hormon antiandrogen-untuk
melemahkan hormon testoteron sehingga hasrat seksual pelaku akan menurun bahkan
hilang - atau “cap khusus” pada tubuh
penjahat pedofilia. Namun sayangnya,
tawaran-tawaran solusi itu dikuatirkan tidak akan mampu menyelesaikan masalah
kejahatan seksual secara tuntas. Seperti biasanya, pemerintah dan mayoritas
publik baru bereaksi setelah kasus membesar dan menguatirkan. Pencegahan terhadap berbagai masalah sosial,
khususnya kejahatan seksual sering kali diabaikan.Tentu setiap pihak ingin agar
kasus-kasus semacam ini selesai dengan tuntas.Agar tak berulang, jelas
dibutuhkan pembacaan yang jeli dan tepat untuk mengurai permasalahan.Masalahnya,
ternyata visi mendasar dari UU PA turut berperan secara tidak langsung dalam
menumbuhkan perilaku bebas (liberal) dalam memandang masalah seksual.
Indonesia Darurat Liberalisme
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga
Hotman M. Siahaan menyatakan bahwa kekerasan seksual terjadi akibat kondisi
anomi dalam masyarakat.Kondisi anomi adalah kondisi masyarakat yang tidak
stabil akibat runtuhnya nilai dan norma sehingga individu kehilangan pegangan
dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan
terhadap norma dan nilai cenderung tergerus danmasyarakat mulai mengejar apapun yang memberi harapan
(kompas, 13/5/2014).
Fatalnya, Hotman menambahkan, kondisi anomi
ini diperkuat hal lain, termasuk ketiadaan kontrol informasi dan media.Beberapa
agresivitas pelaku kejahatan seksual ternyata diinspirasi oleh tayangan porno pelecehan seksual yang yang
sumbernya berasal dari sinetron, iklan,
infotainment, maupun video klip. Karena
itu berbagai pihak, termasuk KPAI mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk
memerangi kejahatan seksual, khususnya pada anak dan memerangi seluruh pemicunya,
seperti pornografi, seks bebas, perbuatan cabul, homoseksual dan perilaku seks
menyimpang lainnya.
Namun semua itu tidak mungkin terselesaikan
secara tuntas mengingat kondisi anomi, kebebasan informasi bahkan kebebasan
seksual justru berakar pada liberalisme.Liberalisme mencita-citakan suatu
masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu
sehingga paham ini menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama. Karena itu, liberalisme akan
tumbuh subur dalam sistem demokrasi, disebabkan keduanya sama-sama didasarkan
pada kebebasan mayoritas.Demokrasi memuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena
demokrasi dan HAM merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah
negara yang mengaku dirinya demokratis
pasti menjaga konsistensi ‘penghormatan’
terhadap HAM.
Realitas inilah yang sedang terjadi di
Indonesia.Nilai HAM menjadi komoditas penting yang bahkan menjadi rencana
strategis negara dalam kerangka demokratisasi.Keseriusan pemerintah dalam promosi
dan perlindungan HAM difokuskan pada tiga bidang.Pertama, memperkuat kerangka kerja legislatif di bidang HAM.Kedua, mengembangkan kerangka kerja
institusional untuk perlindungan dan promosi HAM, baik di tingkat nasional
maupun sub-nasional.Ketiga,
memperkuat kerjasama dengan semua pihak yang terkait dalam promosi dan perlindungan
HAM, seperti bermitradengan masyarakat
sipil yang dinamis dan media massa yang bebas dalam memajukan HAM.
Pada poin pertama, UU PA menjadi salah satu
perangkat legal formal bagi implementasi nilai-nilai HAM, khususnya hak
asasi anak-anak.Bahkan sejak 2008 pemerintah telah mengadopsi ratifikasi
protokol-protokol opsional dari Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak
dalam Konflik Bersenjata, Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Karena
itu filosofi tentang HAM tampak jelas pada latar belakang legalisasi UU ini.Pemerintah
mengklaim akan melakukan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia. Dan negaramemberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-hak
mereka dan menjamin perlakuan tanpa diskriminasi.
Semua itu justru menguatkan agenda
liberalisasi dalam membentuk karakter anak, sebagai generasi harapan bangsa.Apalagi
rujukan untuk membuat UU PA di antaranya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of DiscriminationAgainst
Women/CEDAW) dan Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).
Sungguh tidak bisa dinafikan bahwa visi HAM adalah visi liberal yang
membebaskan manusia berpikir, bertindak dan berperilaku dengan satu catatan :
tidak merugikan orang lain. Padahal
paradigma ‘tidak merugikan orang lain’ makin bias, bahkan hanya dianggap begitu
jika ukurannya sesuai paradigma sekularis liberal. Maka ketika nilai-nilai Barat universal yang
dijadikanfilosofi penyusunan UU PA, tak dapat dipungkiri jika hal itu justru
‘melegalkan’ liberalisasi yang menjadi
tertuduh utama penyebab kejahatan seksual.
Muatan Liberal dalam UU PA
Pendekatan liberal memang sengaja dilakukan
oleh pengusung liberalism, termasuk dalam pembentukan karakter generasi masa
depan. Mereka berdalih, konsep kebebasan dalam mendidik generasi merupakan
hal yang sangat penting karena anak adalah
pelaku aktif , bukan obyek yang
diperintah dan diatur seenaknya oleh orang tua, guru, pemuka agama atau
pemerintah. Karena itu kebebasan individu
anak dalam proses perkembangannya mesti
dijamin. Mereka menganggap pendidikan
konservatif membuat individu-individu menjadi
kurang progresif, kurang aktif dan selalu gamang dalam menentukan dan menjawab tuntutan zaman.
Pasal 1 UU PA ayat 1 mengakomodir paham itu
dengan menyatakan “Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dandiskriminasi”. Teks ayat 2
pasal 1 makin mengguatkan prinsip dasar UU itu dengan menegaskan “Hak anak adalah bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.”
Walaupun jika ditelaah secara keseluruhan,
pasal-pasal dalam UU PA masih ‘sewarna dengan muatan lokal Indonesia’, namun
tidak dapat dinafikan bahwa kelahiran UU PA menjadi konsekuensi yang harus
dilakukan Indonesia karena telah meratifikasi kovenan liberal seperti CEDAW
dan Konvensi Hak Anak PBB. Karena itu prinsip-prinsip
dasar HAM seperti non diskriminasi, kepentingan
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anakdituangkan
pada ayat 12 pasal 2yang sekaligus
menjadi amanat Konvensi Hak-Hak Anak.
UU ini menegaskan sekali lagi bahwa anak harus mendapatkan perlindungan
dari perlakuan diskriminatif, termasuk
karena perbedaan ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, suku bangsa,
latar belakang sosial atau politik, status lahir atau karena keterbelakangan
fisik atau mental (pasal 13).Bahkan mereka perlu mendapatkan pendidikan
pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi (pasal
50).Bahkan UU ini menegaskan jaminan anak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum (pasal 16). Frasa ‘perlindungan dari diskriminasi’atau
penghargaan terhadap ‘hak asasi’ diulang beberapa kali untuk menegaskan
semangat ‘yang membebaskan’, yakni liberalisasi. Tujuannya, bila seorang anak terbiasa untuk
tidak didiskriminasi/dibedakan, dia akan berkembang menjadi pribadi yang
terbuka dan penuh toleransi terhadap semua perbedaan. Kelak dalam pergaulan sosial, sikap dan
perbuatannya melarang diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau yang tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Dia
akan tumbuh menjadi karakter yang moderat, pluralis dan toleran, sebagai
antitesa karakter konservatif, fundamentalis dan intoleran.
Generasi seperti itulah yang diharapkan
lahir dari rahim ibu pertiwi dengan
penduduk muslim terbesar sedunia sebagaimana rancangan Barat. RAND
Corporation–sebuah lembaga think tank
yang dilibatkan pemerintah Amerika Serikat dalam proyek penanganan terorisme- telah
menerbitkan hasil penelitian yang berjudul Building
Moderate Muslim Network (2007) yang terfokus untuk menciptakan
"Jaringan Muslim Moderat" di berbagai belahan dunia. Tujuannya untuk meredam, meminimalisir,
bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai
"ekstremis/ radikal Islam" dan menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika
Serikat. Untuk itu dikembangkan karakter
Islam moderat, yang menurutRAND
adalah Muslim yang mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM -termasuk
kesetaraan jender, keberadaan kelompok LGBTI dan kebebasan beragama-,
menghormati sumber hukum yang non sektarian, dan menentang terorisme.Bukankah
karakter itu sejalan dengan semangat kelahiran UU PA?
Saat ini dunia internasional amat gencar
mengampanyekan kebebasan tingkah laku, termasuk sepertiyang dilakukan UNWomen. Institusi gender PBB itu sebagaimana lembaga
pluralis di Barat, setiap tanggal 17 Meimemperingati Hari Internasional Melawan
Homophobia dan Transphobia yang dimaksudkan untuk menuju kesetaraan dan kebebasan untuk Lesbian
, Gay , Biseksual , Transgender dan Interseks (LGBTI). Tidak aneh jika Indonesia juga diarahkan
menjadi seperti mereka, toh Indonesia terkenal sebagai bangsa yang amat lentur
dalam menerima cara hidup apapun.
Apalagi jika moderasi dalam bersikap sudah dibina sejak masa kanak-kanak. Kelak ketika dewasa mereka akan terbiasa
untuk menerima kelompok ganjil (querr)
itu. Kalau kelompok ‘yang dianggap sebagai pendosa oleh
agamanya’ saja bisa mereka terima, apalagi jika sekedar menerima kebebasan
berpakaian, budaya pergaulan bebas antar laki-laki perempuan, atau produk
‘budaya’ seperti film, iklan, novel, dan produk-produk lain yang secara Islam
mengandung materi pornografi dan pornoaksi.
Bila masyarakat berkembang demikian,
lalu dimana aspek pencegahan yang seharusnya menjadi aksi pertama bagi
pemerintah dan kelompok sipil dalam masyarakat?
Sayangnya, karena standar berpikir dan bertindak mereka adalah ideologi
kebebasan, maka seakan-akan mereka menjadihipokrit : mengutuk habis-habisan perilaku
pedofilia namun ‘membolehkan’ perilaku homo jika dilakukan suka sama suka.
Sebenarnya, hipokrisi juga terjadi pada hal
mendasar, yakni dalam mendefinisikan anak. Pasal 1 dalam bab I Ketentuan Umum
menyatakan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Padahal dalam hukum fiqh islam, definisi anak
tidak tergantung pada usia, namun terkait dengan status baligh seseorang yang ditentukan oleh ihtilam bagi laki-laki dan haidl
bagi perempuan. Klausul itudiperkuat lagidalam
pasal 26 ayat 1 yang mengharuskan orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak. Artinya, UU PA melarang
perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun walaupun anak dan orang tuanya
melakukannya karena dorongan keimanan.
Nyatanya, Barat tidak hanya
mendiskriminasikan (definisi anak dalam
khazanah) fiqh Islam, namun dalam maksud itu tercium aroma kapitalistik yang
sangat kuat. Barat telah menyiapkan
perangkat, termasuk aspek legal formal dalam undang-undang, demi ketersediaan
SDM dalam industri mereka.Karena itu membiarkan perkawinan di bawah usia 18,
akan membawa akibat terhentinya proses pendidikan formal dan selanjutnya proses
perekrutan tenaga kerja. Kondisi ini
jelas tidak menguntungkan bagi dunia usaha karena menyusutkan ketersediaan potensi
tenaga kerja.Apalagi tenaga kerja perempuan terbukti lebih menguntungkan
daripada laki-laki. Karena itu dokumen CEDAW, BPfA dan kesepatan-kesepakatan
terbaru lainnya -termasuk pencanangan
“Hari Malala setiap 12 Juli”- menganggap perkawinan anak adalah bentuk
diskriminasi terhadap anak perempuan dan harus dihentikan.
Itulah yang mendasari laporan bertajuk Voice and Agency: Empowering Women and Girls
for Shared Prosperity yang
dikeluarkanBank Dunia bersama Mantan
Menlu AS Hillary Clinton, dan Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo- Ngcuka
pada tanggal 14 Mei 2014.Laporan itu menyebutkan bahwa sekitar 65 persen
perempuan yang hanya mendapat pendidikan dasar atau kurang dari itu dinikahkan
saat masih anak-anak akanmengalami
kemiskinan. Laporan itu juga menunjukkan
bahwa perempuan yang mendapatkan pendidikan yang tinggi atau lebih baik akan
cenderung untuk tidak lekas-lekas menikah dan memiliki jumlah anak yang lebih
sedikit.
Tentu saja premis yang mereka buat
mendukung aksi penolakan terhadap pernikahan dini sekaligus menuntut perluasan
akses pendidikan.Hal itu sejalan dengan pasal 53 ayat 1UU PA yang membebankan
tanggung jawab kepada pemerintah untuk
memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus
bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat
tinggal di daerah terpencil. Tujuannya
tidak hanya ‘menggugurkan’ kewajiban sebagai pemerintah, namun lebih dari itu
adalah menjamin ketersediaan SDM demi industri masa depan. Inilah liberalisasi jenis lain : liberalisasi
ekonomi yang menyasar kebutuhan pokok industri sejak masa kanak-kanak.
Hentikan Kejahatan Atas Nama HAM
Tak henti-hentinya Indonesia didera
malapetaka yang mengancam pembentukan generasi.Akar masalah sebenarnya jelas
mengerucut pada praktek-praktek liberal yang menjadi strategi pokok kapitalis
untuk menyebarkan ideologinya. Setahap
demi setahap mereka meliberalkan generasi masa depan, wa bil khusus anak-anak kaum muslimin untuk menjadi
pengekornya. Atas nama HAM, kebebasan
berkeyakinan, berbicara dan bertindak
menjadi kelaziman.
Pemerintah juga diberondong dengan
keharusan melaporkan kemajuan pelaksanaan HAM di tingkat nasional hingga lokal.Yang
terakhir adalah dialog interaktif pembahasan laporan inisial dan periodik
pertama Indonesia terkait implementasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (International
Covenant Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) dengan Komite Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya selaku treaty
body/badan pemantau ICESCR di
Jenewa pada tanggal 1 Mei 2014. Komite itu mencatat masih banyak tantangan yang
dihadapi Indonesia, baik terkait dengan
kerangka hukum, kebijakan ataupun kapasitas negara. Karena itu pemerintah harus meningkatkan
pemenuhan hak-hak sesuai dengan ketentuan Kovenan.Wajar jika keinginan
melakukan revisi UU PA menguat karena UU itu masih dipandang perlu ditingkatkan
agar memenuhi hak asasi anak-anak.
Ide Liberalisasi yang mengatasnamakan HAM,
tidak hanya membahayakan keimanan dan keterikatan terhadap hukum syariat, namun
juga mengancam keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Disadari atau tidak, ide ini akan membentuk tatanan
masyarakat ala Barat dengan karakter kehidupan sosial yang individualistis,
hedonis dan pragmatis. Jangan salah jika
akan tercipta manusia-manusia liberalyang
menjadikan kebebasan individu -termasuk didalamnya kebebasan seksual- sebagai
hal yang diagung-agungkan, dan siapapun harus menjaminnya, termasuk negara dan
institusi internasional. Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini
kecuali kebebasan individu yang lain.
Oleh karena itu, untuk menghentikan
kejahatan atas nama HAM, tidak ada cara lain kecuali harus mengubah paradigma
kebebasan dan standarisasi dalam menentukan
benar-salah. Inilah upaya preventifsebagai pencegahan yang mendasar. Negara harus melakukan pencegahan yang
bersifat komprehensif dan sistemis dalam semua bidang kehidupan. Negara mesti
melarang infiltrasi, apalagi implementasi secara sadar pemahaman yang
membahayakan ini. Tentu saja dibutuhkan
kedaulatan negara secara mutlak, kedigdayaan sebuah negara adidaya untuk
bersikap tegas terhadap pemaksaan nilai-nilai HAM. Sayangnya, tak satupun negara (muslim) mampu
bersikap lantang menentang penjajahan atas nama HAM. Hanya Khilafah Islamiyyah yang akan mampu
mengambil posisi itu.
Bila Khilafah nanti akan berdiri, Departemen
Luar Negeri Khilafah akan membatalkan
segala konvensi internasional yang membahayakan masyarakat. Kebijakan luar negeri tersebut harus selaras
dengan kebijakan yang berlaku di dalam
Negeri. Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, baik sistem pendidikan Islam
yang akan membentuk individu yang berkepribadian Islam; sistem ekonomi Islam
yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan
maksiat; menerapkan sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari
perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; danmenerapkan sistem sanksi yang
membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah.Jadi pencegahannya
tidak sekedar memberi sanksi berat atau memberangus sarana dan media-media penyedia
pornografi-pornoaksi saja.Hanya itulah solusi tuntas dalam memberantas
kejahatan seksual yang menimpa anak-anak.
Karena, dalam negara Khilafah,
ketaqwaan individu bersinergi dengan kontrol melekat masyarakat dan penerapan
komprehensif yang dilakukan negara. Pilar-pilar
itulah yang menjadi jaminan ketentraman dan keamanan setiap masyarakat,
individu per individu, baik muslim ataupun non muslim.
*diambil dari artikel penulis Pratma Julia S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar