Merubah wajah
dunia dengan pena? Bukan mustahil bahkan telah terbukti, dengan data- data yang
tertera dalam berbagai media, betapa pena benar benar lebih tajam dari pada
pedang. Ia adalah satu senjata peradaban
selain lisan. Pena sebagaimana para ulamaa terdahulu, menuliskan kegemilangan
sejarah dengan mahakarya berupa ilmu-ilmu fiqh, hingga teknologi yang
diturunkan kepada generasi abad ini adalah penyambung lidah yang tak berbatas
waktu, bahkan sampai penulisnya kembali kepada Allah SWT. Sebutlah Imam maliki
pengarang kitab Al Muwatta’dan penulis kitab-kitab hadis lain seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al Shafi’i, Al Bukhari, Imam Muslim atau para ilmuwan muslim seperti Al Khawarizmi, Ar Razi, Ibnu Sina, dan sederet ulamaa yang juga
ilmuwan prestisius, mereka telah melahirkan ribuan karya monumental dalam
sejarah peradaban Islam dengan kekuatan pena. Maka wajar apabila di akhirat nanti, tinta ulamaa
akan ditimbang dengan darah para syuhada.Tentu, jujurnya lisan dan teguhnya pena
untuk menorehkan kebenaran, akan menjadi amal shaleh yang pahalanya tidak akan
putus, sebaliknya bisa juga menjadi deposit dosa yang tak terhenti bagi para
penulisnya apabila menorehkan suatu keburukan. Yah, memang apa yang kita
kerjakan tak pernah luput dari rekaman Sang Maha Pengawas.
Sebagaimana Para Ilmuwan muslim
menjadikan tinta sebagai sarana untuk menyampaikan pesan peradaban Islam,
demikian pula peradaban lain di dunia ini pun menggunakan pena untuk
mengekalkan dominasi mereka terhadap dunia. Tersebutlah untuk melanggengkan
paham Amerikanisme ( kapitalisme), pemilik peradaban ini (baca:AS) melakukan serangkaian aktivitas untuk merekayasa sistem informasi dengan memasang
6.000 pengumuman, mengutus 75.000 penceramah , 755.190 orator kepada 300 juta
orang, mengirim
majalah mingguan ke 600.000 guru, serta mencetak 200.000 film, poster, stiker dan iklan (
Walter lippman, kolumnis di New York Herald Tribune dalam Influental Book
Public Opinion, 1992).
Sayangnya masih banyak masyarakat
Indonesia yang menganggap bahwa menulis adalah pekerjaan sampingan dan membaca bukanlah hal urgen dalam hidup mereka. Bahkan berdasarkan data dari UNESCO tahun 2012, disebutkan bahwa minat
baca masyarakat Indonesia masih 0,001.
Ini berarti diantara 1000 orang Indonesia, yang membaca hanya satu orang. Padahal, menurut UNICEF, sebuah negara
dikatakan memiliki minat baca yang baik adalah apabila setiap satu buku dibaca
oleh minimal 5 orang. 93.4% rakyat Indonesia lebih menyukai televisi dari pada
membaca koran yang saat ini peminatnya menyusut hingga 15% saja di delapan kota
di Indonesia. ( www.republika.com).
Bagaimana peran tulisan di media online? Rupanya peminat facebook di
Indonesia masuk peringkat ke dua di dunia setelah AS, dan peringkat ke tiga
sebagai pengguna twitter. Bahkan Indonesia masuk peringkat ke delapan jumlah
pengguna internet yaitu sebanyak 71.19 juta jiwa tahun 2013. (www.merdeka.com). Media adalah alat yang
ampuh untuk menyampaikan pesan, membentuk pola pikir dan pola sikap
masyarakat serta mengaruskan opini apapun yang diinginkan oleh penguasa media.
Maka sudah semestinya media bisa menjadi penyambung lisan kebenaran, bukan
malah menjerumuskan manusia menuju sesatnya pemikiran dan rusaknya peradaban.
Seperti saat ini, ketika media tidak lagi bisa menyampaikan kebaikan,
didominasi pesan pesan kerusakan yng diinginkan oleh orang orang yang
berorientasi pada nafsu duniawi dan kekayaan yang tidak halal. Maka media,
tulisan, maupun lisan pun menjadi penerus lidah kerusakan, menyerukan kebebasan
berekspresi yang berujung pada nestapa akibat pornografi dan tayangan /cerita kekerasan.
Karena ia bisa mengubah wajah dunia, maka wahai para pemilik kemuliaan ummat ini, mari
menulis, menorehkan tinta kebaikan agar kemuliaan laksana kehidupan para ulamaa
terdahulu bisa kita raih kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar