Kemacetan adalah cerita
lama dalam sejarah lalu lintas di Jakarta. Berbagai kebijakan terkait solusi
mengurai kemacetan sudah diwacanakan. Sebutlah lalu lintas
pelat nomor ganjil dan genap atau sistem Three in One yang pernah
diimplementasikan namun faktanya menimbulkan dampak sosial yaitu munculnya joki yang akhirnya tetap tidak mampu
menyelesaikan masalah kemacetan.
Salah satu solusi yang
menurut analisa Pemprov DKI paling tepat adalah ERP. ERP ( Electronic
Road Pricing) atau jalan berbayar bekerja menggunakan on board unit
(OBU) yang dipasangkan pada mobil. Alat buatan Swedia ini berfungsi sebagai
sensor saat mobil melintasi gerbang ERP. Dalam OBU terdapat voucher berisikan saldo
deposit setiap kendaraan. Ketika melintas di jalan berbayar, maka mobil
terdeteksi oleh sensor di pintu gerbang. Setiap tersensor, saldo di dalam
voucher OBU otomatis berkurang tanpa harus membayar lagi seperti di tol. Dengan
begitu, tidak ada lagi antrean yang mengakibatkan macet. OBU juga menyimpan
data tentang kendaraan, mulai dari pemilik, jenis, merek kendaraan dan tahun
pembuatan. Sehingga pengawasan terhadap kendaraan melintas di Jakarta lebih
mudah. Untuk mendukung itu, Pemprov DKI sudah menggalang kerja sama dengan
kepolisian dalam membangun sistem pendataan kendaraan bermotor berbasis
elektronik, yaitu electronic registration and identification (ERI).
ERP ini dirancang untuk menggantikan sistem three
in one yang dianggap tak lagi efektif mengurangi kemacetan. Pemprov
DKI juga sudah mengatur tarif masuk jalan berbayar. Jika lalu lintas lancar,
pengendara dikenakan tarif Rp20 ribu. Namun ketika jalanan macet, pengemudi
bisa membayar Rp30 ribu atau beberapa kali lipat. Artinya, semakin tinggi volume
kendaraan maka tarif kian mahal. Mobil yang akan masuk ke suatu kawasan akan
dibatasi 1.500 mobil per jam. Sehingga akhirnya pengendara kapok tak mau lagi
lewat jalan itu dan diharapkan bisa menarik pengguna mobil pribadi untuk beralih
naik kendaraan umum, salah satunya TransJakarta.
Kebijakan Tumpang Tindih
Penerapan kebijakan lalu lintas dengan sistem ERP
telah sukses di negeri asalnya, Swedia. Benarkah kebijakan ini juga akan
efektif bila diterapkan di Indonesia? Nampaknya ini perlu analisis dan kritisi
agar semua persoalan lama berupa kemacetan tidak lagi terulang dan pembangunan
ini berjalan efektif. Kemacetan bisa dipicu oleh beberapa persoalan mulai dari persoalan teknis,
strategis hingga sosial. Persoalan teknis misalnya volume kendaraan yang tidak
mampu ditampung oleh ruas jalan, atau masalah strategis seperti tidak
dibatasinya impor mobil dan produksi kendaraan bermotor, atau
fasilitas transportasi umum yang tidak layak,
hingga masalah sosial yaitu munculnya perasaan prestise apabila menggunakan
kendaraan mewah, rawannya tingkat keamanan pada para pengguna kendaraan umum,
pola pengaturan penumpang di kendaraan umum yang kurang bisa menciptakan rasa
nyaman, tradisi tidak taat pada aturan lalu lintas, melanggar marka jalan yang
menyebabkan jalur dua arah yang saling mengunci. Aturan pemerintah dibuat dengan asas yang berbeda
beda sehingga menghasilkan kebijakan yang tumpang tindih. Selama masalah lain
tidak teratasi maka kemaslahatan metode ERP hanya akan berhenti pada tataran
konsep. Jalan berbayar ini justru menyulitkan karena tarif yang berubah ubah
sesuai tingkat kemacetan. Terbayang, sudahlah macet bayarnya makin mahal. Ini
bukan solusi kemacetan yang sebenarnya.
Perbaikan multidimensi
Jika
masalah kemacetan di Jakarta adalah masalah multidimensi, maka sepatutnya
penyelesaiannya juga meliput banyak sisi. Maka dari sisi teknis sudah
seharusnya pemerintah mencari solusi terbaik untuk menyelesaikannya termasuk
kemungkinan penerapan ERP. Hanya saja jangan sampai melupakan hal lain yng
tidak kurang urgennya dibandingkan sisi teknis. Dari sisi strategis, ada
beberapa hal yang semestinya dilakukan, yaitu perbaikan sistem transportasi
publik sehingga diperoleh kenyamanan bagi para pengguna jasa angkutan umum, Misalnya penetapan tarif kendaraan umum yang terjangkau, timing yang pas sehingga masyarakat tidak perlu menunggu lama atau berdesakan antri, penetapan trayek kendaraan yang lebih efektif. Demikian pula kebijakan mobil murah perlu ditinjau lagi, apalagi dengan digalakkannya sistem leasing yang memungkinkan setiap warga mampu membeli mobil dengan kredit dan berbunga hingga tidak tegasnya aturan usia minimal yang membolehkan untuk mengemudikan mobil dan kendaraan bermotor. Nampaknya ini juga berkaitan dengan lifestyle masyarakat yang sebagian masih menilai bahwa mobil adalah bagian dari prestise yang menentukan status sosial. Artinya banyak hal dari pola hidup dalam masyarakat kita yang mesti diperbaiki dan itu memang sistemik sifatnya. Maka menjadi urgent, peran pemerintah sebagai pemegang regulasi untuk bukan hanya memberikan peraturan dengan tegas dan menjamin kepastian hukum, namun juga memberikan contoh riel dalam kehidupan mereka untuk menjadi teladan masyarakat. Karena pemerintah adalah wakil dan pelayan umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar