Kesenjangan
ekonomi masyarakat indonesia semakin parah, selama tahun 2011-2013. Persoalan
ketimpangan lahan diyakini sebagai akar persoalannya. Data dari badan
pertanahan nasional (BPN), 56% aset berupa properti, tanah dan perkebunan
dikuasai hanya oleh 0,2 % penduduk indonesia. Hasil sensus pertanian 2013
menunjukkan 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,8
Ha. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5
per keluarga (KOMPAS, 7-4-2014). Kondisi ketimpangan tersebut apabila ditinjau
dari prespektif hukum, memunculkan kegelisahan, apakah ada yang salah dengan
produk perundang-undangan yang terkait dengan masalah perekonomian dan
kesejahteraan rakyat, padahal hakekat keberadaan hukum untuk mewujudkan tatanan
masyarakat yang adil. Keadilan menjadi salah satu tujuan penting akan
keberadaan hukum dalam masyarakat.
Dominasi sistem Ekonom Liberal
Dominasi sistem Ekonom Liberal
Persoalan
ketimpangan lahan dalam sistem ekonomi kita yang condong menuju liberal seperti dalam ilustrasi di atas
adalah suatu keniscayaan, karena dalam sistem ini tingkat kesejahteraan diukur
dari tingginya GNP tanpa memperhatikan aspek distribusinya pada masyarakat.
Kenapa? kita bisa menelaahnya dari perspektif sistem ekonomi kapitals liberal yang mendasarkan kebijakan ekonomi makronya pada tiga pilar, yaitu faktor kelangkaan relatif terhadap barang dan jasa, nilai ( value) yang didalamnya ada dua aspek yaitu nilai guna dan nilai tukar, serta harga ( price). Menurut sistem ini, persoalan utama perekonomian adalah karena kelangkaan barang dan jasa di pasar yang menjadi alat pemuas kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Ingat bahwa salah satu jargon dalam ekonomi liberal adalah bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas dan alat pemuas kebutuhan bersifat terbatas. Oleh karena itu, yang di push dalam sistem ini adalah produksi setinggi tingginya. makin tinggi produksi, makin mengindikasikan kemakmuran dan tingkat kesejahteraan rakyat. Bagaimana distribusinya agar sampai di masyarakat? Disini ada struktur atau mekanisme harga yang secara otomatis mendistribusikan hasil produksi kepada masyarakat.
Indikator kesejahteraan yang didasarkan pada GNP sesungguhnya rawan, karena bisa jadi GNP yang tinggi itu diwakili oleh beberapa gelintir orang yang menguasai banyak sektor produksi, sementara sebagian besar rakyat hanya menguasai sebagian kecilnya seperti ilustrasi di atas. Maka wajar jika dalam hal penguasaan aset lahan yang menjadi modal untuk melakukan
produksi baik pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan maupun properti, siapa
yang bermodal, ia yang akan menguasai lahan, siapa yang kuat, dia yang menang.
Keadaan ini bak hukum rimba dalam belantara perekonomian Indonesia meskipun
secara formal, pemerintah menetapkan sistem demokrasi ekonomi dan ekonomi
kerakyatan sebagai pilar perekonomian kita.
Negara
hanya berfungsi sebagai penjamin kebebasan bagi warganya maupun investor asing
untuk berinvestasi maupun menjalankan roda perekonomian. Bahkan sudah bukan
menjadi hal rahasia apabila para pejabat negara justru mengeluarkan aturan yang
tidak populer bagi kesejahteraan rakyat hanya demi memuaskan kepentingan para
kapitalis. Konsep keadilan menurut saya, tidak diukur dari tingginya angka GNP
dalam negeri karena ini tidak representatif. Angka GNP tidak bisa menjelaskan
aspek pemerataan kesempatan ekonomi pada masyarakat.
Filsafat Hukum Islam Memandang Masalah Ekonomi
Filsafat Hukum Islam Memandang Masalah Ekonomi
Keadilan
seharusnya mampu menjelaskan bagaimana baiknya tingkat distribusi kekayaan
kepada seluruh rakyat, yang menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan
primer maupun sekunder serta tertier jika memungkinkan. Artinya peran negara
dalam distribusi ini benar benar nampak baik dalam regulasi yang menjamin
kepastian hukum maupun kebijakan praktis yang diemban oleh para aparatur
negara.
Lahan adalah salah satu aset penting dalam
ekonomi karena dari pengelolaan lahan bisa dihasilkan berbagai produk
pertanian, perkebunan, perikanan, properti, maupun peternakan.Oleh karena itu
ketika pemerintah tidak membuat regulasi yang tepat tentang aturan penguasaan
lahan,yang terjadi adalah kerakusan ala feodalisme. Perspektif keadilan dalam
hal ini akan bisa dicapai apabila pemerintah mengatur distribusi lahan yang
terfokus pada kesejahteraan rakyat.
Saya mengambil
perspektif filsafat hukum Islam dalam menyoroti persoalan di atas. Para ahli hukum Islam
berpendapat bahwa hukum Islam bersumber dari ajaran Islam ( Al-Quran dan Al-Hadis) sehingga bisa
disebut Law is religion. Hukum Islam biasa disebut Islamic law
dan Islamic Jurisprudance. Islamic Law disebut syariat islam dan Islamic
Jurisprudance disebut fikih.
Persoalan
ekonomi rakyat ini terkait dengan kaidah
muamalah dalam aliran filsafat hukum Islam. Mengenai
kaidah mualamalah ini, hanya pokok pokoknya saja yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an dan As Sunnah. Adapun rinciannya terbuka bagi akal manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Hal ini didasarkan kepada tujuan hukum
Islam dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang biasa
disebut maqasid asy-syariah.
Banyak
ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tujuan adanya hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan umat manusia sebagaimana
dalam QS Al Anbiyaa ayat 107 yang artinya “ Dan tidaklah kami mengutus kamu,
melainkan ntuk ( menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Ayat tersebut secara
umum menunjukkan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai
kemaslahatan. Ada lima hal pokok yang harus diwujudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan yaitu pemeliharaan atas agama, nyawa, akal, keturunan, dan
harta.
Persoalan ekonomi ( pangan) dalam hal
ini terkait dengan ketimpangan lahan yang menjadi salah satu asetnya, adalah
persoalan dlaruriyah menurut hukum
Islam. Ia adalah salah satu dari 6 kebutuhan pokok manusia yaitu:
sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan
pendidikan. Karena ia adalah
kebutuhn pokok, maka pemenuhannya pada tiap individu rakyat menjadi tanggung jawab negara dengan
menjamin masing masing individu rakyat untuk terpenuhinya kebutuhan tersebut.
pangan merupakan hal yang harus dipelihara
karena ia menyangkut nyawa manusia, hak hidup yang asasi pada manusia.
Maka seharusnya negara memiliki undang-undang yang tegas dan konsisten dalam
masalah distribusi kekayaan kepada warganegaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar