Mengikuti
perkembangan Pileg menuju Pilpres 2014-2019 ini, kita menyaksikan gonjang
ganjingnya panggung perpolitikan di level elite partai. Lobi- lobi politik berjalan tidak terduga
dan seolah berlaku hukum “tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh
abadi dan yang ada adalah kepentingan abadi”. Ironisnya, partai-partai berbasis
massa islam yang notabene kurang mendapatkan suara ditengah rendahnya partisipasi
politik masyarakat, posisinya saat ini hanya seperti mendorong mobil mogok,
berkoalisi untuk memenangkan capres cawapres yang bukan dari partainya bahkan
berseberangan secara misi dengan partai koalisinya. Ada sebuah ungkapan di
berbagai media tentang partai berbasis massa islam yang menggelitik, “ dulu kami dilarang golput,
alasannya agar Indonesia tidak dikuasai kafir sekuler, tapi setelah kami
memilih, kok sekarang malah mengusung capres sekuler”, suara rakyat yang kecewa
setelah partai pujaannya tidak lagi berdiri di atas visi misinya. Sudah tidak
ada lagi idealisme partai yang menjadi AD/ART , tidak ada lagi suara rakyat
karena saat ini yang berperan adalah para elite politik partai. Kemana rakyat
sekarang, untuk siapa kemenangan partai nanti dan dimana janji menyejahterakan
rakyat sudah tidak ada dalam pertimbangan politik.
Politik
Yang Tidak Humanis
Menurut
Pangki T Hidayat(Direktur Eksekutif dan peneliti politik Research Center For
Democratic Education, Yogyakarta), orientasi politik saat ini sudah tidak lagi
berfokus pada humanisme atau tidak lagi memperhatikan aspek moral (deon) namun
hanya terfokus pada strategi meraih kekuasaan ( telos). Sehingga terjadi
eleminsi aspirasi rakyat dalam koalisi parpol ini. Kepentingan seksional partai
mendominasi perpolitikan sehingga apa
yang ingin diwujudkan rakyat dalam kekuasaan tidak tercapai. Beliau menjelaskan
bahwa Martha Nussbaum, seorang filsuf
politik kontemporer dalam bukunya “Not
for Profit, Why Democracy Needs The Humanities (2011)” menjelaskan bahwa
hilangnya humanisme di ranah politik akan membuat demokrasi tidak memanusiakan manusia.
Ranah kesejahteraan sosial, ekonomi, maupun
politik akan semakin jauh dari kehendak
rakyat . Nampaknya apa yang dinyatakan Nussbaum menemukan realitanya saat
ini. Kondisi kesejahteraaan rakyat dari
tahun ke tahun pasca pemilu legislatif maupun eksekutif tidak nampak secara
signifikan menghasilan perubahan berarti menjadi lebih baik. Pendidikan kita
masih terpuruk, pemerataan kesempatan ekonomi masih sangat buruk, kesenjangan
terjadi dimana mana, hingga persoalan etos kerja wakil rakyat yang tidak
optimal. Ini terbukti dari data RUU tahun 2013 saja dari 76 RUU program
legislasi nasional hanya 15 RUU yang terbahas menjadi UU. Dan pada sidang ke
dua hanya 33 RUU yang terbahas. Belum
lagi merebaknya kasus korupsi yang terjadi secara sistemik di negeri ini.
Kesalahan
Pada Tataran Konsep?
Jika
demikian halnya, kita perlu mengkritisi, adakah yang salah dalam praktek
perpolitikan kita ataukah kesalahan itu
bukan lagi dalam tataran praktis, namun sudah pada
tataran konsep? Secara konsep, politik demokrasi yang kita terapkan saat ini
menekankan pada kehendak rakyat sebagai fokus
perpolitikan. Rakyatlah yang menentukan wakilnya dan wakil rakyatlah yang
menjalankan amanah rakyat untuk memimpin mereka. Adakah yang salah dalam
teori ini?dalam proses pemilihan wakil rakyat, kapital menjadi dominan sehingga yang terjadi adalah keinginan segelintir manusia untuk menguasai
orang lain yang didorong oleh kepentingan seksional. Maka kapital menjadi perlu
dan menentukan arus perpolitikan karena ketika seseorang berhasil meraih
kekuasaan, dia akan dengan mudah menentukan aturan bagi rakyat. Mengapa? Karena
dalam politik demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat yang
diwakilkan kepada mereka. Kewenangan membuat hukum dan aturan ada di tangan manusia.Sangat jarang manusia yang membuat
aturan tidak menguntungkan diri dan
kelompoknya. Maka dengan kekuasaan jualah ambisi meraih kapital yang lebih
tinggi menjadi nyata.
Di
sisi lain, rakyat masih awam dengan perpolitikan
sarat kepentingan ini, sehingga mereka memilih wakilnya bukan didasarkan pada
kapabilitas ( capabilities approa), namun lebih dikarenakan ketertarikan personal
dan kemasan pemasaran diri yang menarik. Akibatnya ketika mereka terpilih
menjadi wakil rakyat, banyak terjadi kekeliruan dalam pengaturan urusan
rakyat, gagap dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, penyalahgunaan wewenang terjadi dimana mana.
Nampaknya
pandangan kita perlu berfokus pada pilar pilar kebebasan yang dijamin dalam
demokrasi. Ada empat pilar kebebasan yang menyangga demokrasi ini yaitu
kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berpemilikan dan
kebebasan beragama. Akar masalahnya justru berasal dari konsep kebebasan yang
meskipun dijamin dan dibatasi oleh undang undang tetap saja bersifat relatif.
Karena undang undang bisa memihak siapa saja yang berkuasa. Jika pun yang
membatasi kebebasan ini adalah konvensi umum yang berlaku di masyarakat dan
kekuatannya melebihi kekuatan konstitusi, kita tetap perlu menengok seberapa
tangguh masyarakat yang terbentuk,
setinggi apa kekuatan pemikiran yang
dominan di masyarakat, dan bagaimana standar perasaan yang dimiliki masyarakat.
Apabila standar standar yang dimiliki masyarakat sudah lemah, pengaruh intervensi budaya rusak
menjadi kuat dan aturan yang dibuat
sudah bermasalah maka kebebasan ini akan menjadi self destructive. Kenyataannya
akar konsep demokrasi tidak bisa berkompromi dengan humanisme, mudah terdistorsi
dengan kepentingan seksional, memiliki standar yang nisbi. Jika demikian,
bagaimana keabsahan demokrasi tidak dipertanyakan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar