Minggu, 11 Januari 2015

Tantangan Pariwisata di Era Neolib



Demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu tiga tahun, pemerintah memprioritaskan menggarap sektor-sektor primadona di Indonesia. Keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made), menjadikan pariwisata menjadi salah satu sektor penting yang perlu segera ditangani. Bahkan koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Betapa tidak, sektor pariwisata yang menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni  menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk Domestik Bruto).  Angka itu mencapai 23 persen dari total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013.

Menteri Pariwisata Arief Yahya, dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019.  Penargetan ini sejalan dengan program liberalisasi ekonomi  Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi. Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia.Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa.  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara (wisman)  dengan penghitungan satu wisman akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar  per tahun. 

Pariwisata sebagai Sarana transfer nilai
Sebagai varian sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi mendasar konsep ini. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan berselarasan dengan kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta kebebasan beragama (sekularisasi).

Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia.Saat ini dalam tataran diplomasi hubungan antar negara, mekanisme yang dikenal sebagai people to people conectivity sangat diandalkan selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya.  Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.

Sekalipun hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas memiliki tempat istimewa bagi Australia.Demikian juga negara-negara kapitalistik lain. Namun tantangan penanaman nilai-nilai sekuler kapitalistik masih harus dihadapi Barat, mengingat mayoritas muslim Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada asing dan proses penjarahan sumber daya alam  tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di Indonesia.Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Liberalisasi Budaya Indonesia
Format Indonesia yang demikian selaras dengan pembentukan ASEAN Community (Masyarakat ASEAN) pada tahun 2015.  Masyarakat ASEAN yang terdiri dari  Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),  MasyarakatPolitik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (MSA). Dalam pembentukan Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud adalah tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM, sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.

Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai.  Sekalipun Rusia, China,  Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat, namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi.  Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur dengan bangsa Barat seperti Australia, Eropa atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood. Tulisan Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan yang dimuat di harian Kompas 10/12/2014 menyebutkan bahwa kedekatan ASEAN dan Korsel turut dibangun oleh industri popnya.

Realitas berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini - terutama generasi mudanya- sudah terseret arus liberal. Bali, sebagai destinasi
wisata utama telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktivis penanggulangan AIDS nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang.Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun (sebanyak 3812 kasus) dan 30-39 tahun (358 kasus).

Tidak bisa dinafikkan, industri wisata dalam masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras, seksual dan hiburan. Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti ini berarti  makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT, pemerintah neolib kurang peduli dengan maraknya kemaksiatan itu, bahkan makin memperluasnya.  Semua itu disebabkan satu alasan yaitu uang.  Demi uang kepedulian terhadap kerusakan generasi menjadi hilang bersamaan dengan berkembangnya rasa apatis sekaligus kekuatiran masyarakat.  Padahal seharusnya pemerintah merupakan pelayan dan pelindung bagi  kepentingan umat.  Fungsi pelayanan saat ini berubah menjadi fasilitator atau regulator saja.

Pariwisata pada Masa Peradaban Islam
Dalam perspektif Islam, Negara bertanggung jawab dalam mencegah  terbukanya pintu kemaksiatan di dalam masyarakat. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.Obyek wisata yang mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan sejarah Islam bisa dipertahankan.  Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.

Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya.Sementara bagi wisatawan non-Muslim, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.

Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka negara bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan umat non Islam, maka harus dilihat, Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.

Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang.Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.

Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.

Dengan demikian, Negara sebagai negara tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.

Kamis, 08 Januari 2015

MENGKRITISI KOTA LAYAK ANAK, UPAYA LIBERALISASI DINI?



Salah satu program yang  dikembangkan oleh  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kemeneg PPPA) adalah pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak  atau KLA.  Pada tanggal 19 Desember 2014 yang lalu, Deputi Tumbuh Kembang Anak  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,  Lenny Nurhayanti , menyatakan bahwa pada tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mentargetkan terwujudnya 100 kota/kabupaten layak anak (KLA), dan  hingga Nopember telah mencapai  190 kabupaten dan kota yang sedang mempersiapkan diri menuju kota layak anak.Kota layak anak merupakan bentuk investasi untuk membangun generasi penerus bangsa agar mereka lebih sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, cinta tanah air serta terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.Hal ini disebabkan karena anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi.

Apa sebenarnya Kabupaten/kota Layak Anak dan mengapa dikembangkan?  Benarkah KLA menjadi solusi pemenuhan hak anak?

Latar Belakang  KLA
Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak.  Ratifikasi KHA  disahkan dengan Keppres no 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5 Oktober 1990.Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak diawali dengan pengesahan UUno 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, Undang-undang ini  berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.  Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World FitFor ChildrenDeclaration  (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak(DLA)pada tanggal 10 Mei 2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children).

Pada tahun 2004, Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015”. Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia.Terdapat 4 (empat) bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC,  yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berdasarkan prinsip umum Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan terpenuhinya hak-hak dasar anak (hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi).Untuk mempercepat komitmen ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).Indonesia menjadikan perlindungan anak menjadi urusan wajib di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Untuk memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.  Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. 

Sebagai pedoman lebih lanjut dalam mengembangkan kabupaten/kota Layak anak, maka diterbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Tingkat Provinsi dan Peraturan Menteri  Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  Republik Indonesia  nomor 11 tahun 2011  tentang  Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan nomor 14 tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak.  Kementerian PP-PA telah merintis pembentukan kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk dapat dikategorikan sebagai kota layak anak daerah harus memenuhi persyaratan sebanyak 31 indikator yang diwujudkan,yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak untuk mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadikan kepentingan terbaik anak menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, program, dan anggaran pemerintah kabupaten/kota.

Di dalam Permen nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak,

Pengembangan KLA menurut pasal 5 Permen tsb adalah  berdasakan prinsip tata pemerintahan yang baik,  non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,  hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, dan   penghargaan terhadap pandangan anak.  Sementara Kebijakan Pengembangan KLA menurut pasal 6 diarahkan pada pemenuhan hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan;  lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif;  kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Adapun Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam setiap proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dan dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Landasan KLA bertentangan dengan Islam

Negara yang sudah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak mempunyai konsekuensi untuk mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak, membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak dan membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 2 tahun segera setelah meratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun.Bahkan PBB membuat suatu badan khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap Negara, yaitu Committee on the Rights of the Child.Sementara itu, Komitmen untuk mewujudkan DLAjuga merupakan upaya untuk makin mengokohkan implementasi KHA dalam mewujudkan hak anak.

Dengan demikian ratifikasi KHA dan DLA merupakan cara untuk memaksa dan  mengontrol Negara di dunia termasuk Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh dunia internasional melalui berbagai konvensi yang ditetapkan oleh PBB.  Semua produk hukum dari Negara yang telah meratifikasi konvensi PBB tersebut diharuskan sesuai dengan konvensi internasional tersebut. Adanya mekanisme pelaporan secara periodik kepada Committee on the Rights of the Child  menjadi bukti kontrol dunia internasional yang diwakili oleh PBB. Fakta bahwa sampai saat ini AS menjadi satu-satunya Negara yang belum meratifikasi KHA, meski sudah menandatanganinya pada tahun1995, menimbulkan  tanda tanya, mengingat AS terlibat secara aktif dan memberikan peran yang besar pada proses pembentukan KHA. 

Nilai-nilai yang saat ini sangat gigih ditanamkan kepada penduduk dunia termasuk kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia adalah konsep HAM dan kesetaraan gender.  Nilai inilah yang juga diupayakan  ditanamkan pada anak-anak melalui KHA dan semua upaya global untuk mewujudkan hak anak seperti DLA.  Padahal secara konseptual, HAM dan kesetaraan gender bertentangan dengan Islam.

Dalam pasal 6 Permen no 11/201  disebutkan bahwa Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini bila dikaitkan dengan KHA Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam KLA. Sementara Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.

HAM juga membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus  yang dikampanyekan secara global.  Praktek agama yang dianggap membahayakan hak anak misalnya, sering dikaitkan dengan aturan Islam terkait dengan sunat perempuan dan pernikahan.Begitu pentingnya mengarahkan pemahaman agama terhadap terhadap pemenuhan hak anak nampak dengan adanya program konsultasi seperti yang diadakan bulan Nopember 2014 yang lalu.

Kementrian PPPA bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Hak Anak.Meneg PP-PA menyatakan,tujuan konsultasi ini adalah untuk mengidentifikasi praktek-praktek budaya dan ritual agama yang membawa dampak bagi pemenuhan hak anak baik dampak positif maupun negatif sebagai bahan dalam menyusun kebijakan yang responsif anak dalam bidang agama dan budaya.Sebagai konsekuensi konsultasi ini, maka praktek agama yang berlandaskan ajaran agama akan dilarang ketika dianggap bertentangan dengan tujuan pemenuhan hak anak menurut KHA. Hal ini juga ditegaskan dalam point 23 resolusi PBB tentang World Fit for children.Hal ini akan membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Sang Pencipta, namun mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan KHA sebagai rujukan.

Kebebasan berpendapat juga mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA.dalam Pasal 5 Permen 11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya

Hal ini sejalan dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya tentang semua hal.Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi ruang yang sangat besar.Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat, melalui Peraturan PresidenNomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004.  Berbagai forum tersebut  diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan organisasi non pemerintah internasional. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi.Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. 

 Islam memang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut  tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran Islam.  Adanya banyak forum bebas berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan Islam.

KLA juga menjadi sarana tercapainya kesetaraan gender.Dalam resolusi Majelis Umum no S-27/2.tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan :
The achievement of goals for children, particularly for girls, will be advanced if women fully enjoy all human rights and fundamental freedoms, including the right to development, are empowered to participate fully and equally in all spheres of society and are protected and free from all forms of violence, abuse and discrimination. We are determined to eliminate all forms of discrimination against the girl child throughout her life cycle and to provide special attention to her needs in order to promote and protect all her human rights, including the right to be free from coercion and from harmful practices and sexual exploitation. We will promote gender equality and equal access to basic social services, such as education, nutrition, health care, including sexual and reproductive health care, vaccinations, and protection from diseases representing the major causes of mortality, and will mainstream a gender perspective in all development policies and programmes. 

Secara nyata tercapainya pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender. Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak.Hal ini makin jelas ketika dalam Point 24 dinyatakan perlunya merubah peran laki-laki dalam masyarakat.

We also recognize the need to address the changing role of men in society, as boys, adolescents and fathers, and the challenges faced by boys growing up in today’s world. We will further promote the shared responsibility of both parents in education and in the raising of children, and will make every effort to ensure that fathers have opportunities to participate in their children’s lives.

Makna sesungguhnya dalam perubahan peran laki-laki dalam masyarakat adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender, bukan sekedar memberi kesempatan ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.Namun agar ibu memiliki lebih banyak waktu sehingga dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan dan memiliki kebebasan dalam masyarakat.

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa pengembangan KLA yang berlandaskan kepada KHA dan DLA bertentangan dengan  nilai-nilai Islam.  Dengan demikian KLA akan membuat anak-anak sejak dini dijauhkan dari Islam dan diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai global.  

KLA menanamkan Liberalisasi sejak dini

Dengan mencermati program pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui pengembangan KLA.

Pengesahan KHA dan DLA menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global yang bertentangana dengan Islam.langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang.  Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat aturan.  Dengan demikian anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu pemikiran,  dan KLA dengan segala macam forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental.  

 Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi anak-anak muslim.  Apalagi Secara eksplisit dalam naskah akademik PNBAI 2015 dinyatakan bahwaPenyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs)”.

Sesungguhnya Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam.  Berbagai macam cara telah dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam apalagi penerapan Islam sebagai sistem kehidupan.  Secara sistematis, Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahama Islam’ kaum muslim.  Rupanya upaya itu tidak hanya menyasar muslim dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA.   Dan dunia global memastikan keberhasilan upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara yang harus dikirimkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan –kecuaali AS tentunya karena Negara ini belum meratifikasi KHA.Maka sangat jelas KLA menjadi alat untuk menancapkan hegemoninya dalam menyiapkan generasi seperti yang mereka kehendaki, yaitu generasi yang mengemban nilai-nilai global yang justru menghancurkan Islam.  Dengan demikian KLA justru akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, karena akan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan aturan Allah dalam kehidupannya.  Wallahu a’lam

Jumat, 02 Januari 2015

MEMBACA ARAH POROS MARITIM JOKOWI


Pendahuluan
Ide untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan konsep Tol Laut seperti yang diungkapkan Jokowi menuai pro dan kontra. Sebagian pakar kemaritiman menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi menggambarkan minimnya visi politik Jokowi. “Sekian lama negara-negara lain ingin menguasai laut RI tapi kesulitan dengan UNCLOS dan Hukum Laut Internasional, sekarang dibuka lebar. Deklarasi Djuanda[1] telah memagari lautan RI, sekarang pagar itu seakan dikoyak-koyak orang yang tidak paham maritim,” kicau Dr. Y. Paonganan, Direktur Indonesia Maritime Institute dengan akun Twitter @ypaonganan pada Rabu (12/11/14). Saat ini, lanjut Paonganan, Australia dan AS ingin sekali membuka Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) barat-timur melintasi Laut Jawa, tapi Indonesia tegas menolak.[2]
Namun sebagian pihak masih menganggap bahwa visi maritim Jokowi merupakan hal positif karena bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Poros maritim ini juga dinilai sebagai langkah baru untuk mengubah paradigma ekonomi Indonesia dari darat ke laut.
"Makanya poros maritim harus direspon dan didukung secara sungguh-sungguh," kata 
anggota DPD RI terpilih Nono Sampono
. Menurut dia,  laut Indonesia sangat kaya dan bisa menambah pendapatan negara sampai tujuh kali lipat dari APBN 2015 yang tembus Rp 2.019,9 triliun itu. "Harus kita sadari perjalanan ekonomi Asia-Pasifik sebesar 70 persen melalui Indonesia. Karena itu dibutuhkan UU tersendiri yang menjadi satu kesatuan. Tidak seperti sekarang ini di mana bicara laut harus berurusan dengan imigrasi, kepolisian, bea cukai, dan lain-lain, sehingga tidak efektif," kritik purnawirawan marinir tersebut.[3]




Tol Laut Mirip Pendulum Nusantara
         Poros maritime yang diangkat Jokowi seolah menjadi icon Indonesia di dunia Internasional saat ini. Terobosan baru Jokowi ini ternyata mirip dengan program Pendulum Nusantara yang diinisiasi PT. Pelindo II tahun sebelumnya.[4]
Pendulum Nusantara yang digagas Pelindo II ini membutuhkan kapal pendulum berukuran besar (kurang lebih berukuran 750 - 1000 twenty foot equivalents units (TEUs) bahkan ada yang menyatakan 3000 – 4000 TEUs) yang bisa memuat ribuan bahkan puluhan ribu container. Karena itu konsep Pendulum Nusantara ini nantinya membutuhkan infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Infrastrukstur yang dimaksud adalah standar operasional kepelabuhan yang mencakup hal-hal teknis seperti kedalaman (sekitar 12 m) dan panjang dermaga sehingga kapal-kapal besar dapat bersandar, kecepatan jumlah crane untuk aktifitas bongkar muat dan rasio kebutuhan Quay Yard untuk menampung container dari proyeksi kegiatan bongkar muat kapal pendulum yang besar. Selain itu juga dibutuhkan suprastruktur yang mendukung yakni standar manajemen kepelabuhan seperti manajemen kepelabuhan dari enam pelabuhan yang ditetapkan dalam pendulum nusantara yang harus memiliki kesamaan pelayanan dalam hal kecepatan bongkar muat, dan memiliki sistem pelayanan pelabuhan yang sama.
Kapal pendulum ini akan bergerak dari barat ke timur dan sebaliknya, ibarat pendulum sebuah jam gadang. Dan kapal-kapal pendulum ini nantinya akan diatur oleh PT. Pelindo. Direncanakan ada 6 pelabuhan besar yang akan disinggahi kapal pendulum ini yakni, Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, Sorong. Sekarang ini hanya Pelabuhan Tanjung Priok yang memiliki kedalaman 12 meter. Belawan (Medan) hanya memiliki kedalaman 9,5 meter-10 meter, sementara pelabuhan lain baru sekitar 7 meter sampai 8 meter.
Berbeda dengan sistem logistik maritim yang diterapkan sebelumnya, konsep Pendulum Nusantara ini dianggap lebih menguntungkan. Pendulum Nusantara ini diperkirakan bisa menekan biaya logistik yang cukup besar. Sebab proyek ini pasti menggunakan kapal dengan kapasitas besar. Otomatis biaya per satuan barang atau per kontainer akan jadi lebih murah. Ekonom Cyrillus Harinowo memperkirakan proyek tol laut (Pendulum Nusantara) dapat mengurangi biaya logistik barang dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke Sorong, Papua hingga 500%.[5]







Selain itu, dengan pengembangan konektivitas ini diharapkan juga dapat mendorong pemerataan ekonomi Indonesia. Inilah yang mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan konsep ini. Disamping adanya keinginan untuk menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia.
Namun untuk mewujudkan Pendulum Nusantara ini pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Kebutuhan dana dan investasi yang cukup besar dari program inilah yang mendorong Jokowi mempromosikan maritim Indonesia ke dunia internasional. Tujuannya tentu sudah jelas, yakni menjaring investor asing untuk menanamkan modalnya di mega proyek pelabuhan-pelabuhan di hampir seluruh kawasan Indonesia. Sebab jalur kapal besar ini akan diteruskan dengan jalur kapal kecil. Sehingga akan dilakukan pengembangan kapasitas pelabuhan-pelabuhan kecil untuk menjadi lebih besar lagi. Pelabuhan kecil ini akan menjadi sasaran distribusi barang dari pelabuhan utama yang dilintasi kapal besar sebagai moda utama tol laut. Distribusi barang ke pelabuhan kecil akan menggunakan kapal kecil.
Pendulum Nusantara: Sebuah Ancaman
Pendulum Nusantara yang dianggap menguntungkan itu disisi lain juga berpotensi untuk mengancam kedaulatan Indonesia. Sebab program ini erat kaitannya dengan posisi silang Indonesia di percaturan politik ekonomi dunia.  Sehingga kajian terhadap Pendulum Nusantara ini tidak bisa dilihat hanya dari aspek ekonomi saja.
Meskipun belum ada kejelasan tentang keterkaitan Pendulum Nusantara dengan ALKI, namun beberapa pihak sudah mengarahkan pada pengintegrasian program ini dengan ALKI. Kepala Logistik & Supply Chain Indonesia, Setijadi, mengatakan “Rancangan Tol Laut Indonesia harap memasukkan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pintu gerbang barat dan timur agar Logistik timur dan barat seimbang,” ujarnya. Menurutnya, jalur Tol Laut lebih efisien, dimulai dari Kuala Tanjung, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Sulawesi, Bitung, dan Sorong.[6] Senada dengan itu dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Victor Nikijuluw mengatakan bahwa gagasan tol laut harus terintegrasi dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). "Sebab, kalau tidak terintegrasi, akan ada kemungkinan tol laut yang tidak efektif," katanya.[7] Dengan demikian Pendulum Nusantara berpotensi untuk menjadi ALKI barat-timur Indonesia. Dan jika ALKI barat-timur ini dibuka, maka kedaulatan dan keamanan Indonesia jelas bakal terancam. Sebab ALKI inilah yang selama ini diinginkan oleh negara-negara Barat.
Keinginan negara-negara Barat untuk membuka ALKI barat-timur ini sudah sejak lama terpendam. Mereka terus menagih janji Indonesia untuk membuka ALKI ini. Disinyalir munculnya Insiden Bawean 3 Juli 2003 lalu merupakan sebuah bentuk tekanan AS kepada Indonesia untuk membuka ALKI barat-timur. Dalam kasus Bawean tersebut, baik Panglima TNI waktu itu, Jenderal Endriartono Sutarto maupun Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Chappy Hakim, mengingatkan bahwa AS, Inggris, dan Australia belum meratifikasi ALKI. “Indonesia menyediakan tiga alur laut kepulauan bagi kapal-kapal atau armada asing yang melewati perairan Indonesia. Tapi belum diterima oleh semua negara termasuk AS dengan berbagai alasan, termasuk tuntutan tersedianya alur arah Barat-Timur Indonesia,” ungkapnya.[8]

Tiga jalur ALKI utara-selatan yang diajukan Indonesia telah disetujui oleh IMO (Internastional Maritime Organisation) pada tahun 1998. Namun, tiga jalur ini dianggap belum tuntas. IMO hanya menyetujui tiga jalur itu sebagai ALKI parsial (sebagian) dan masih perlu ditambah lagi dengan ALKI barat - timur. Opsi yang dimiliki Indonesia yaitu melakukan negosiasi terhadap keputusan IMO agar ALKI 1998 dianggap full, bukan parsial/sebagian, atau menentukan ALKI timur-barat. Sebab ditetapkannya tiga jalur ALKI dengan segala aturannya sudah cukup berpotensi besar mengancam kedaulatan dan keamanan Indonesia.[9] Apalagi jika ditambah dengan ALKI barat - timur. Itulah sebabnya hingga kini Indonesia belum mau menentukan ALKI barat - timur dengan pertimbangan keamanan dan kedaulatan.
Tuntutan dibukanya ALKI barat-timur ini jelas mengancam kedaulatan Indonesia. Sebab dengan penetapan ALKI, maka seluruh kapal dan pesawat yang akan melintasi kepulauan Indonesia dan akan menggunakan hak-haknya dalam pelayaran alur laut kepulauan, maka mereka tidak diperbolehkan untuk melalui semua jalur pelayaran yang ada di Indonesia. Mereka hanya diperkenankan melewati jalur yang sudah ditentukan.  Sedangkan bila tidak menentukan alur laut kepulauan maka semua kapal atau pesawat yang akan melintasi Indonesia dapat menggunakan semua jalur pelayaran yang sudah umum digunakan (routes normally used for international navigation).   Hal ini jelas akan merugikan dan mengancam keamanan nasional. Dan ancaman akan lebih besar lagi jika yang melintas adalah pesawat tempur, kapal induk, kapal perang atau kapal selam meskipun dengan “normal mode”.
Jika dengan ALKI yang sudah dimiliki Indonesia saat ini saja menimbulkan ancaman kedaulatan, maka pengintegrasian pendulum nusantara dengan ALKI akan semakin menghilangkan kedaulatan Indonesia. Jadi bisa dibayangkan, kelak Indonesia tidak lagi memiliki kedaulatan di wilayah perairannya sendiri, bahkan akan terancam di negeri sendiri.
Pendulum Nusantara: Desain Asing
Program Pendulum Nusantara yang dianggap menguntungkan namun membutuhkan modal besar dan mengandung ancaman di dalamnya ini ternyata tak lepas dari desain asing. Ini terbukti dengan ditekennya nota kesepahaman antara PT. Pelindo II dengan Bank Dunia. Nota kesepahaman itu memberikan kesempatan pada Bank Dunia untuk mengkaji potensi implementasi Pendulum Nusantara agar dapat terintegrasi sempurna dengan usaha pemerintah dalam memperbaiki sistem logistik di Indonesia. Terdapat dua hal utama yang menjadi pokok studi yang direncanakan akan dilakukan Bank Dunia. Pertama, studi untuk menentukan pelabuhan potensial yang perlu dikembangkan untuk mendukung implementasi Pendulum Nusantara dan implementasi Sistem Logistik Nasional. Kedua, studi yang dilakukan untuk mengidentifikasi upaya penurunan biaya logistik di Indonesia. Jadi, studi yang dilakukan Bank Dunia adalah menginventarisasi seluruh infrastruktur, baik dari sisi soft infrastructure maupun hard infrastructure, yang dimiliki pelabuhan, shipping line, bea cukai, jasa angkutan darat, serta sektor logistik lainnya.[10]  Dan untuk merealisasikan program yang dianggap menguntungkan ini, Dirut PT. Pelindo II, RJ. Lino telah berusaha meyakinkan banyak pihak bahwa konsep Pendulum Nusantara ini akan beres dalam waktu 5 tahun jika Pelindo I, II, III, dan IV diberi komitmen investasi USD 5 miliar-6 miliar.[11]
Dari realitas ini jelas terlihat bahwa Bank Dunia adalah pihak yang melakukan desain terhadap konsep Pendulum Nusantara ini.  Dengan desain seperti itu, ke depan masing-masing pelabuhan harus mengalokasikan dan menyusun anggaran dana yang tidak sedikit agar bisa memenuhi standar yang ditetapkan. Artinya kebutuhan terhadap investor asing akan meningkat di kemudian hari untuk mengembangkan pelabuhan hampir di semua wilayah Indonesia.
Di sisi lain, upaya untuk mengubah paradigm pembangunan ekonomi dari darat ke laut juga turut andil dalam mendesain kebijakan pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi pembangunan dari darat ke laut bukanlah murni milik Jokowi. Konsep ini telah diperkenalkan di dunia internasional pada tahun 2012 pada saat  KTT Rio+20 di Brazil. Konsep ini dikenal dengan konsep Ekonomi Biru sebagaimana disampaikan penggagasnya, seorang ekonom Belgia, Gunter Pauli dalam bukunya “The Blue Economy, 10 years 100 innovations 100 million jobs”.[12]
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan periode lalu,  Syarif C. Sutardjo, istilah blue economy merupakan sebuah paradigma (konsep) baru yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumber daya serta lingkungan pesisir dan lautan.[13] Jadi pada poin inilah konsep Pendulum Nusantara yang di desain Bank Dunia dengan konsep Blue Economy yang di desain dalam KTT Rio+20 bertemu, yakni pada upaya untuk mengeksploitasi sumber daya laut Indonesia melalui pembangunan infrastruktur pelabuhan. Maka terlihatlah dengan jelas bahwa poros maritim yang diusung Jokowi sebenarnya adalah desain asing.
Pendulum Nusantara: Melanggengkan Neoimperialisme
Kesamaan Tol Laut dengan Pendulum Nusantara ini akhirnya membuat kesamaan langkah antara pemerintah dengan pelindo dalam upayanya menjaring investor asing. Dari sisi pemerintah, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% dalam 2 tahun ke depan Jokowi-JK telah berencana untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.[14] Menurut Jokowi, percepatan ekonomi bangsa harus dialektis dengan irama percepatan ekonomi internasional, baik di kawasan ASEAN atau lebih luas lagi, seperti Asia Pasifik dan Ekonomi Dunia. Untuk mencapai pertumbuhan itu, menurut Jokowi, agenda Tol Laut adalah jawaban pertama.[15]
Dan salah satu cara yang ditempuh agar minat investasi meningkat adalah dengan membuat regulasi baru terkait skema kerjasama. Menurut Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum Hediyanto Husaini, pemerintah harus agresif mencari calon-calon investor. "Harus ada regulasi baru yang membahas skema kerjasama, sumber pendanaan hingga payung hukum guna menjamin investasi asing dan swasta di Indonesia. Kita harus bisa menjamin investasi mereka terutama untuk persoalan pembebasan lahan, perizinan, hingga skema kerjasama yang ditawarkan." katanya.[16] 
Upaya pemerintah untuk menjaring investor asing baik dengan memperbarui skema kerjasama ataupun dengan merubah regulasi, merupakan kesalahan yang sangat mendasar. Sebab upaya ini tidak akan mengantarkan pada kesejahteraan. Sebaliknya justru menjerumuskan Indonesia pada kemiskinan. Abdurrahman Al Maliki mengungkapkan bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam, disamping ia merupakan jalan untuk menjajah suatu negara.[17]
Dan saat ini, metode pemberian hutang dilakukan dengan cara mengirim para ahli terlebih dahulu untuk mengetahui potensi keuangan suatu negara, yakni untuk meneliti rahasia ekonomi suatu negara. Kemudian menentukan proyek-proyek yang akan dibiayai dengan dana hutang-hutang itu. Selanjutnya mereka merancang metode yang akan menghasilkan kekacauan dan kemiskinan dengan memaksakan proyek-proyek tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Inilah yang akan direalisasikan jika tidak mengangkat pegawai yang berasal dari mereka sebagai pengawas pengeluarannya. Dengan demikian hutang-hutang itu takkan menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berhutang.[18]
Apa yang digambarkan oleh Abdurrahman Al Maliki ini telah nampak dengan jelas dalam kasus Pendulum Nusantara ini. Dimulai dengan disewanya Bank Dunia oleh PT. Pelindo II untuk mengkaji potensi implementasi program ini, hingga akhirnya berujung pada diperpanjangnya kontrak dengan HPH.
Perpanjangan kontrak antara Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Petikemas Koja oleh RJ Lino, Dirut PT. Pelindo II, kepada investor asing Hutchison Port Holding (HPH) hingga 2039 disinyalir karena poin ini merupakan  salah satu persyaratan pencairan pinjaman yg dilakukan oleh PT. Pelindo II sebesar 1 miliar dolar Amerika setara Rp 11 triliun dari sindikasi perbankan nasional dan asing yang dimotori oleh Deutch, yang keseluruhannya ada enam bank. Menurut Ketua Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia II Kirnoto “Bank-bank tersebut baru mau mencairkan pinjaman yang dimohon Dirut Pelindo II asalkan BUMN ini memperpanjang kontrak dengan HPH yang kini mengelola JICT dan TPK Koja.” Karena sumber pendapatan terbesar dolar Amerika Serikat berasal dari pelindo adalah dari terminal petikemas JICT dan TPK Koja. [19]
Dengan demikian poros maritime dengan konsep Pendulum Nusantara sebagaimana dipaparkan diatas akan semakin membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya, kehabisan sumber daya alam dan lenyaplah pertahanan dan keamanan bagi warganya. Maka sungguh naïf jika masih ada yang membela rezim neolib yang telah menghasilkan neoimperialisme ini.


Penutup
         Dalam kacamata Islam, negara memiliki kewajiban untuk melakukan ri’ayah terhadap semua urusan rakyat. Oleh karena itu Khalifah tidak boleh membuat kebijakan yang justru kontra produktif terhadap terlaksananya semua urusan rakyat. Termasuk diantaranya membuat kesepakatan dengan dunia internasional, membuat nota kesepahaman atau berhutang yang ujung-ujungnya memberikan proyek-proyek strategis ke tangan swasta, bahkan asing. Sehingga ini akan menjerumuskan Khilafah pada ketidakmampuannya dalam melakukan ri’ayah pada rakyat. Apalagi cara-cara demikian telah jelas keharamannya.
Dengan demikian kelak ketika Khilafah tegak, kedaulatan negara menjadi aspek yang diprioritaskan dalam membuat setiap kebijakan politik dan ekonomi. Dan cara pandang seperti inilah yang seharusnya wajib dimiliki oleh setiap negarawan muslim, siapapun dia. Wallahu a’lam wa bi ash-shawab ( dr. Estiningtyas )
        


[5] http://www.beritasatu.com/ekonomi/223554-pendulum-nusantara-kurangi-biaya-logistik-500-persen.html
[6] http://jurnalmaritim.com/2014/11/infrastruktur-sistem-logistik-efisien-solusi-masalah-konektivitas-antar-pulau/
[7] http://www.ciputranews.com/politik/tol-laut-harus-terintegrasi-dengan-alki
[8] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3334&coid=3&caid=31&gid=4
[12]Gunter Pauli, “The Blue Economy, 10 years 100 innovations 100 million jobs”, Taos, New Mexico, Paradigm Publications, 2010.
[13] http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/8175/EKONOMI-BIRU-DAN-INDUSTRIALISASI-KP/
[15] http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/14/318591/jokowi-tol-laut-kunci-mengejar-pertumbuhan-kawasan
[16] http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/14/318591/jokowi-tol-laut-kunci-mengejar-pertumbuhan-kawasan
[17] Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam, (Bangil: Al Izzah, 2009), hal 209 .
[18] Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam, (Bangil: Al Izzah, 2009), hal 210.
[19] http://poskotanews.com/2014/08/11/bank-asing-tekan-rj-lino-perpanjang-kontrak-jict/