Salah satu
program yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak ( Kemeneg PPPA) adalah pengembangan Kabupaten/Kota Layak
Anak atau KLA. Pada tanggal 19 Desember 2014 yang lalu,
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Lenny Nurhayanti , menyatakan bahwa pada tahun 2014 Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mentargetkan terwujudnya 100
kota/kabupaten layak anak (KLA), dan
hingga Nopember telah mencapai
190 kabupaten dan kota yang sedang mempersiapkan diri menuju kota layak
anak.Kota layak anak merupakan bentuk investasi untuk membangun generasi
penerus bangsa agar mereka lebih sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, cinta
tanah air serta terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan.Hal ini disebabkan karena anak sebagai tunas, potensi dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, sehingga
wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi.
Apa sebenarnya
Kabupaten/kota Layak Anak dan mengapa dikembangkan? Benarkah KLA menjadi solusi pemenuhan hak
anak?
Latar Belakang KLA
Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi
Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Ratifikasi KHA disahkan dengan Keppres no 36/1990 tertanggal
25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5
Oktober 1990.Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak
diawali dengan pengesahan UUno 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober
2002, Undang-undang ini berorientasi pada hak-hak anak seperti yang
tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.
Selain itu, Indonesia juga telah ikut
menandatangani World FitFor ChildrenDeclaration (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak(DLA)pada tanggal 10 Mei
2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th
United Nations General Assembly Special Session on Children).
Pada tahun 2004,
Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi
Anak Indonesia (PNBAI) 2015”. Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku
kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia.Terdapat
4 (empat) bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC, yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan
yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan
kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Pelaksanaan Program Nasional Bagi
Anak Indonesia berdasarkan prinsip umum Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi
non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan terpenuhinya hak-hak dasar anak
(hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi).Untuk
mempercepat komitmen ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga
terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).Indonesia
menjadikan perlindungan anak menjadi urusan wajib di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Untuk memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak
Anak. Pengembangan Kabupaten/Kota Layak
Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang
tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik
Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak”
sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang
tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.
Sebagai pedoman lebih lanjut dalam mengembangkan
kabupaten/kota Layak anak, maka diterbitkan Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak
Tingkat Provinsi dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia nomor 11 tahun 2011 tentang
Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan nomor 14 tahun
2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak. Kementerian PP-PA telah merintis pembentukan
kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat
provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk dapat dikategorikan sebagai kota
layak anak daerah harus memenuhi persyaratan sebanyak 31 indikator yang
diwujudkan,yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak untuk mendorong
setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadikan kepentingan terbaik anak
menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, program, dan anggaran pemerintah
kabupaten/kota.
Di dalam Permen
nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota
yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian
komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana
secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak anak,
Pengembangan
KLA menurut pasal 5 Permen tsb adalah
berdasakan prinsip tata pemerintahan yang baik, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan anak, dan
penghargaan terhadap pandangan anak.
Sementara Kebijakan Pengembangan KLA menurut pasal 6 diarahkan pada
pemenuhan hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan
alternatif; kesehatan dasar dan
kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan
perlindungan khusus. Adapun Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam setiap
proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dan dalam
setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
|
Landasan KLA bertentangan dengan Islam
Negara yang sudah meratifikasi
Konvensi hak-hak Anak mempunyai konsekuensi untuk mensosialisasikan Konvensi
Hak-hak Anak kepada anak, membuat aturan hukum nasional
mengenai hak-hak anak dan membuat laporan periodik
mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 2 tahun segera setelah
meratifikasi dan selanjutnya setiap 5 tahun.Bahkan PBB membuat suatu badan
khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap Negara, yaitu Committee on the Rights of the Child.Sementara
itu, Komitmen untuk mewujudkan DLAjuga merupakan upaya untuk makin mengokohkan
implementasi KHA dalam mewujudkan hak anak.
Dengan demikian
ratifikasi KHA dan DLA merupakan cara untuk memaksa dan mengontrol Negara di dunia termasuk Indonesia
untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh dunia internasional
melalui berbagai konvensi yang ditetapkan oleh PBB. Semua produk hukum dari Negara yang telah
meratifikasi konvensi PBB tersebut diharuskan sesuai dengan konvensi
internasional tersebut. Adanya mekanisme pelaporan secara periodik kepada Committee on the Rights of the Child menjadi bukti kontrol dunia internasional yang
diwakili oleh PBB. Fakta bahwa sampai saat ini AS menjadi satu-satunya Negara yang
belum meratifikasi KHA, meski sudah menandatanganinya pada tahun1995,
menimbulkan tanda tanya, mengingat AS
terlibat secara aktif dan memberikan peran yang besar pada proses pembentukan
KHA.
Nilai-nilai yang
saat ini sangat gigih ditanamkan kepada penduduk dunia termasuk kaum muslim
yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia adalah konsep HAM dan kesetaraan
gender. Nilai inilah yang juga
diupayakan ditanamkan pada anak-anak
melalui KHA dan semua upaya global untuk mewujudkan hak anak seperti DLA. Padahal secara konseptual, HAM dan kesetaraan
gender bertentangan dengan Islam.
Dalam pasal 6
Permen no 11/201 disebutkan bahwa
Kebijakan Pengembangan KLA diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah
satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini bila dikaitkan dengan
KHA Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam KLA. Sementara
Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.
HAM juga
membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus yang dikampanyekan secara global. Praktek agama yang dianggap membahayakan hak
anak misalnya, sering dikaitkan dengan aturan Islam terkait dengan sunat
perempuan dan pernikahan.Begitu pentingnya mengarahkan pemahaman agama terhadap
terhadap pemenuhan hak anak nampak dengan adanya program konsultasi seperti
yang diadakan bulan Nopember 2014 yang lalu.
Kementrian PPPA
bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office
melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh
Terhadap Pemenuhan Hak Anak.Meneg PP-PA menyatakan,tujuan konsultasi ini adalah
untuk mengidentifikasi praktek-praktek budaya dan ritual agama yang membawa
dampak bagi pemenuhan hak anak baik dampak positif maupun negatif sebagai bahan
dalam menyusun kebijakan yang responsif anak dalam bidang agama dan budaya.Sebagai
konsekuensi konsultasi ini, maka praktek agama yang berlandaskan ajaran agama
akan dilarang ketika dianggap bertentangan dengan tujuan pemenuhan hak anak
menurut KHA. Hal ini juga ditegaskan dalam point 23 resolusi PBB tentang World Fit for children.Hal ini akan
membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Sang Pencipta, namun
mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan KHA sebagai rujukan.
Kebebasan
berpendapat juga mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA.dalam Pasal 5 Permen
11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu
mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk
menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan
pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.
Hal ini sejalan
dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan
pendapatnya tentang semua hal.Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi
ruang yang sangat besar.Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat,
melalui Peraturan PresidenNomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah
seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi
Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda
Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai
bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin
Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004.
Berbagai forum tersebut diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan
organisasi non pemerintah internasional. Salah satu tujuan dari kegiatan ini
adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang
telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi.Konsep ini jelas
bertentangan dengan Islam.
Islam memang
memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran
Islam. Adanya banyak forum bebas
berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari
rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan
Islam.
KLA juga menjadi
sarana tercapainya kesetaraan gender.Dalam resolusi Majelis Umum no
S-27/2.tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan :
The achievement of goals for children, particularly for girls,
will be advanced if women fully enjoy all human rights and fundamental freedoms, including the right to development, are
empowered to participate fully and equally in all spheres of society and are
protected and free from all forms of violence, abuse and discrimination. We are
determined to eliminate all forms of discrimination against the girl child
throughout her life cycle and to provide special attention to her needs in
order to promote and protect all her human rights, including the right to be free from coercion and from
harmful practices and sexual exploitation. We will promote gender equality and equal access to basic social services, such as education, nutrition,
health care, including sexual and reproductive health care, vaccinations, and
protection from diseases representing the major causes of mortality, and will mainstream a gender perspective in all development
policies and programmes.
Secara nyata tercapainya
pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati
semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan
gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan
berperspektif gender. Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat
terpenuhi hak anak.Hal ini makin jelas ketika dalam Point 24 dinyatakan
perlunya merubah peran laki-laki dalam masyarakat.
We also recognize the need to address the changing role of men in
society, as boys,
adolescents and fathers, and the challenges faced by boys growing up in today’s
world. We will further promote the shared responsibility of both parents in
education and in the raising of children, and will make every effort to ensure
that fathers have opportunities to participate in their children’s lives.
Makna
sesungguhnya dalam perubahan peran laki-laki dalam masyarakat adalah untuk
mewujudkan kesetaraan gender, bukan sekedar memberi kesempatan ayah untuk
terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.Namun agar ibu memiliki lebih banyak
waktu sehingga dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan dan memiliki
kebebasan dalam masyarakat.
Dari uraian di
atas nampak jelas bahwa pengembangan KLA yang berlandaskan kepada KHA dan DLA
bertentangan dengan nilai-nilai
Islam. Dengan demikian KLA akan membuat
anak-anak sejak dini dijauhkan dari Islam dan diarahkan untuk mengadopsi
nilai-nilai global.
KLA menanamkan Liberalisasi sejak dini
Dengan mencermati program
pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan
dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir
anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat
dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui
pengembangan KLA.
Pengesahan KHA dan DLA
menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global
yang bertentangana dengan Islam.langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis
karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan
untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia
untuk membuat aturan. Dengan demikian
anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu
pemikiran, dan KLA dengan segala macam
forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang
bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada
kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental.
Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi
anak-anak muslim. Apalagi Secara
eksplisit dalam naskah akademik PNBAI 2015 dinyatakan bahwa” Penyusunan
PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention on
the Rights of the Child), serta Millenium
Development Goals (MDGs)”.
Sesungguhnya
Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk
menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam apalagi penerapan Islam sebagai
sistem kehidupan. Secara sistematis,
Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahama Islam’ kaum muslim. Rupanya upaya itu tidak hanya menyasar muslim
dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA. Dan dunia global memastikan keberhasilan
upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara yang harus
dikirimkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan –kecuaali AS tentunya
karena Negara ini belum meratifikasi KHA.Maka sangat jelas KLA menjadi alat
untuk menancapkan hegemoninya dalam menyiapkan generasi seperti yang mereka
kehendaki, yaitu generasi yang mengemban nilai-nilai global yang justru
menghancurkan Islam. Dengan demikian KLA
justru akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, karena
akan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan
mengabaikan aturan Allah dalam kehidupannya.
Wallahu a’lam
nice post, thanks
BalasHapus