Pendahuluan
Ide untuk mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan konsep Tol Laut seperti yang
diungkapkan Jokowi menuai pro dan kontra. Sebagian pakar kemaritiman menganggap
bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi menggambarkan minimnya visi politik
Jokowi. “Sekian lama negara-negara lain
ingin menguasai laut RI tapi kesulitan dengan
UNCLOS dan Hukum Laut Internasional, sekarang dibuka lebar. Deklarasi Djuanda[1] telah memagari lautan RI,
sekarang pagar itu seakan dikoyak-koyak orang yang tidak
paham maritim,” kicau Dr. Y.
Paonganan,
Direktur Indonesia Maritime Institute dengan akun Twitter
@ypaonganan
pada Rabu (12/11/14). Saat
ini, lanjut Paonganan, Australia dan AS ingin sekali membuka Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) barat-timur melintasi Laut Jawa, tapi Indonesia
tegas menolak.[2]
Namun sebagian pihak masih menganggap bahwa visi maritim
Jokowi merupakan hal positif karena bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Poros
maritim ini juga dinilai
sebagai langkah baru untuk mengubah paradigma ekonomi Indonesia dari darat ke
laut.
"Makanya poros maritim harus direspon dan didukung secara sungguh-sungguh," kata
anggota DPD RI terpilih Nono Sampono. Menurut dia, laut Indonesia sangat kaya dan bisa menambah pendapatan negara sampai tujuh kali lipat dari APBN 2015 yang tembus Rp 2.019,9 triliun itu. "Harus kita sadari perjalanan ekonomi Asia-Pasifik sebesar 70 persen melalui Indonesia. Karena itu dibutuhkan UU tersendiri yang menjadi satu kesatuan. Tidak seperti sekarang ini di mana bicara laut harus berurusan dengan imigrasi, kepolisian, bea cukai, dan lain-lain, sehingga tidak efektif," kritik purnawirawan marinir tersebut.[3]
"Makanya poros maritim harus direspon dan didukung secara sungguh-sungguh," kata
anggota DPD RI terpilih Nono Sampono. Menurut dia, laut Indonesia sangat kaya dan bisa menambah pendapatan negara sampai tujuh kali lipat dari APBN 2015 yang tembus Rp 2.019,9 triliun itu. "Harus kita sadari perjalanan ekonomi Asia-Pasifik sebesar 70 persen melalui Indonesia. Karena itu dibutuhkan UU tersendiri yang menjadi satu kesatuan. Tidak seperti sekarang ini di mana bicara laut harus berurusan dengan imigrasi, kepolisian, bea cukai, dan lain-lain, sehingga tidak efektif," kritik purnawirawan marinir tersebut.[3]
Tol Laut Mirip Pendulum
Nusantara
Poros maritime yang
diangkat Jokowi seolah menjadi icon Indonesia di dunia Internasional saat ini.
Terobosan baru Jokowi ini ternyata mirip dengan program Pendulum Nusantara yang
diinisiasi PT. Pelindo II tahun sebelumnya.[4]
Pendulum Nusantara yang digagas Pelindo II ini
membutuhkan kapal pendulum berukuran besar (kurang lebih berukuran
750 -
1000 twenty foot equivalents units (TEUs) bahkan ada yang menyatakan 3000 – 4000 TEUs) yang
bisa memuat ribuan bahkan puluhan ribu container. Karena itu konsep Pendulum
Nusantara ini nantinya membutuhkan infrastruktur dan suprastruktur yang
memadai. Infrastrukstur yang dimaksud adalah standar operasional kepelabuhan yang mencakup hal-hal teknis seperti
kedalaman (sekitar 12 m) dan
panjang
dermaga sehingga kapal-kapal besar dapat bersandar, kecepatan jumlah crane untuk
aktifitas bongkar muat
dan rasio kebutuhan Quay Yard untuk
menampung container dari proyeksi kegiatan bongkar muat kapal pendulum yang
besar. Selain itu juga dibutuhkan suprastruktur yang mendukung yakni standar
manajemen kepelabuhan seperti manajemen kepelabuhan dari enam
pelabuhan yang ditetapkan dalam pendulum nusantara yang harus memiliki kesamaan
pelayanan dalam hal kecepatan bongkar muat, dan memiliki sistem pelayanan
pelabuhan yang sama.
Kapal pendulum ini akan bergerak dari barat ke timur
dan sebaliknya, ibarat pendulum sebuah jam gadang. Dan kapal-kapal pendulum ini
nantinya akan diatur oleh PT. Pelindo. Direncanakan ada 6 pelabuhan besar yang
akan disinggahi kapal pendulum ini yakni, Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya,
Makassar, Sorong. Sekarang ini hanya
Pelabuhan Tanjung Priok yang memiliki kedalaman 12 meter. Belawan (Medan) hanya memiliki kedalaman 9,5 meter-10 meter, sementara
pelabuhan lain baru sekitar 7 meter sampai 8 meter.
Berbeda dengan sistem logistik maritim yang diterapkan
sebelumnya, konsep Pendulum Nusantara ini dianggap lebih menguntungkan.
Pendulum Nusantara ini diperkirakan bisa menekan biaya logistik yang cukup
besar. Sebab proyek ini pasti
menggunakan kapal dengan kapasitas besar. Otomatis biaya per satuan barang atau
per kontainer akan jadi lebih murah. Ekonom Cyrillus Harinowo
memperkirakan proyek tol laut (Pendulum
Nusantara)
dapat mengurangi biaya logistik barang dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke
Sorong, Papua hingga 500%.[5]
Selain itu, dengan pengembangan konektivitas ini
diharapkan juga dapat mendorong pemerataan ekonomi Indonesia. Inilah yang
mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan konsep ini. Disamping adanya
keinginan untuk menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia.
Namun untuk mewujudkan Pendulum Nusantara ini
pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur
yang diperlukan. Kebutuhan dana dan investasi yang cukup besar dari program
inilah yang mendorong Jokowi mempromosikan maritim Indonesia ke dunia internasional.
Tujuannya tentu sudah jelas, yakni menjaring investor asing untuk menanamkan
modalnya di mega proyek pelabuhan-pelabuhan di hampir seluruh kawasan
Indonesia. Sebab jalur kapal besar ini akan diteruskan dengan jalur kapal
kecil. Sehingga akan
dilakukan pengembangan kapasitas pelabuhan-pelabuhan kecil
untuk menjadi lebih besar lagi. Pelabuhan
kecil ini akan menjadi sasaran distribusi barang dari pelabuhan utama yang
dilintasi kapal besar sebagai moda utama tol laut. Distribusi barang ke
pelabuhan kecil akan menggunakan kapal kecil.
Pendulum Nusantara: Sebuah Ancaman
Pendulum Nusantara yang dianggap menguntungkan itu disisi lain juga
berpotensi untuk mengancam kedaulatan Indonesia. Sebab
program ini erat kaitannya dengan posisi silang Indonesia di percaturan politik
ekonomi dunia. Sehingga kajian terhadap
Pendulum Nusantara ini tidak bisa dilihat hanya dari aspek ekonomi saja.
Meskipun belum ada kejelasan tentang
keterkaitan Pendulum Nusantara dengan ALKI, namun beberapa pihak sudah
mengarahkan pada pengintegrasian program ini dengan ALKI. Kepala Logistik & Supply Chain Indonesia, Setijadi,
mengatakan “Rancangan
Tol Laut Indonesia harap memasukkan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pintu
gerbang barat dan timur agar Logistik timur dan barat seimbang,” ujarnya. Menurutnya, jalur Tol Laut lebih efisien,
dimulai dari Kuala Tanjung, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Sulawesi,
Bitung, dan Sorong.[6] Senada dengan itu dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr.
Victor Nikijuluw mengatakan bahwa gagasan tol laut harus
terintegrasi dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). "Sebab,
kalau tidak terintegrasi, akan ada kemungkinan tol laut yang tidak
efektif," katanya.[7] Dengan demikian Pendulum Nusantara berpotensi untuk
menjadi ALKI barat-timur Indonesia. Dan jika ALKI barat-timur ini dibuka, maka
kedaulatan dan keamanan Indonesia jelas bakal terancam. Sebab ALKI inilah yang
selama ini diinginkan oleh negara-negara Barat.
Keinginan
negara-negara Barat untuk membuka ALKI barat-timur ini sudah sejak lama
terpendam. Mereka terus menagih janji Indonesia untuk membuka ALKI ini. Disinyalir
munculnya Insiden Bawean 3 Juli 2003 lalu merupakan sebuah bentuk tekanan AS
kepada Indonesia untuk membuka ALKI barat-timur. Dalam kasus Bawean tersebut,
baik Panglima TNI waktu itu, Jenderal Endriartono Sutarto maupun Kepala Staf
Angkatan Udara, Marsekal Chappy Hakim, mengingatkan bahwa AS, Inggris, dan
Australia belum meratifikasi ALKI. “Indonesia menyediakan tiga alur laut
kepulauan bagi kapal-kapal atau armada asing yang melewati perairan Indonesia.
Tapi belum diterima oleh semua negara termasuk AS dengan berbagai alasan,
termasuk tuntutan tersedianya alur arah Barat-Timur Indonesia,” ungkapnya.[8]
Tuntutan
dibukanya ALKI barat-timur ini jelas mengancam kedaulatan Indonesia. Sebab
dengan penetapan ALKI, maka seluruh kapal dan pesawat yang akan melintasi
kepulauan Indonesia dan akan menggunakan hak-haknya
dalam pelayaran alur laut kepulauan, maka mereka tidak diperbolehkan untuk
melalui semua jalur pelayaran yang ada di Indonesia. Mereka hanya diperkenankan melewati jalur yang sudah
ditentukan. Sedangkan bila tidak menentukan alur laut kepulauan maka semua kapal atau
pesawat yang akan melintasi Indonesia
dapat menggunakan semua jalur pelayaran yang sudah umum digunakan (routes
normally used for international navigation). Hal ini jelas akan
merugikan dan mengancam keamanan
nasional. Dan ancaman
akan lebih besar lagi jika yang melintas adalah pesawat tempur, kapal induk, kapal
perang atau kapal selam meskipun dengan “normal mode”.
Jika dengan ALKI yang sudah dimiliki Indonesia
saat ini saja menimbulkan ancaman kedaulatan, maka pengintegrasian pendulum
nusantara dengan ALKI akan semakin menghilangkan kedaulatan Indonesia. Jadi bisa
dibayangkan, kelak Indonesia tidak lagi memiliki kedaulatan di wilayah
perairannya sendiri, bahkan akan terancam di negeri sendiri.
Pendulum Nusantara: Desain
Asing
Program Pendulum Nusantara yang dianggap menguntungkan
namun membutuhkan modal besar dan mengandung ancaman di dalamnya ini ternyata
tak lepas dari desain asing. Ini terbukti dengan ditekennya nota
kesepahaman antara PT.
Pelindo II dengan Bank Dunia. Nota kesepahaman itu memberikan kesempatan pada Bank Dunia untuk
mengkaji potensi implementasi Pendulum Nusantara agar dapat terintegrasi
sempurna dengan usaha pemerintah dalam memperbaiki sistem logistik di
Indonesia. Terdapat
dua hal utama yang menjadi pokok studi yang direncanakan akan dilakukan Bank Dunia. Pertama, studi untuk menentukan
pelabuhan potensial yang perlu dikembangkan untuk mendukung implementasi
Pendulum Nusantara dan implementasi Sistem Logistik Nasional. Kedua,
studi yang
dilakukan untuk mengidentifikasi upaya penurunan biaya logistik di Indonesia. Jadi, studi yang dilakukan
Bank Dunia adalah
menginventarisasi seluruh infrastruktur, baik dari sisi soft infrastructure maupun hard
infrastructure, yang dimiliki pelabuhan, shipping line, bea cukai,
jasa angkutan darat, serta sektor logistik lainnya.[10] Dan untuk merealisasikan program yang dianggap
menguntungkan ini, Dirut PT. Pelindo II, RJ. Lino telah berusaha meyakinkan
banyak pihak bahwa konsep Pendulum Nusantara ini akan beres dalam waktu 5 tahun
jika Pelindo I, II, III, dan IV diberi komitmen
investasi USD 5 miliar-6 miliar.[11]
Dari realitas ini jelas terlihat bahwa Bank Dunia
adalah pihak yang melakukan desain terhadap konsep Pendulum Nusantara ini. Dengan desain seperti itu, ke depan
masing-masing pelabuhan harus mengalokasikan dan menyusun anggaran dana yang
tidak sedikit agar bisa memenuhi standar yang ditetapkan. Artinya kebutuhan
terhadap investor asing akan meningkat di kemudian hari untuk mengembangkan
pelabuhan hampir di semua wilayah Indonesia.
Di sisi lain, upaya untuk mengubah paradigm
pembangunan ekonomi dari darat ke laut juga turut andil dalam mendesain
kebijakan pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa perubahan
konsentrasi pembangunan dari darat ke laut bukanlah murni milik Jokowi. Konsep
ini telah diperkenalkan di dunia internasional pada tahun 2012 pada saat KTT Rio+20 di Brazil. Konsep ini dikenal
dengan konsep Ekonomi Biru sebagaimana disampaikan penggagasnya, seorang ekonom
Belgia, Gunter Pauli dalam bukunya “The
Blue Economy, 10 years 100 innovations 100 million jobs”.[12]
Menurut Menteri
Kelautan dan Perikanan periode lalu, Syarif C. Sutardjo, istilah blue economy merupakan sebuah paradigma
(konsep) baru yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor
kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumber daya serta lingkungan
pesisir dan lautan.[13]
Jadi pada poin inilah konsep Pendulum Nusantara yang di desain Bank Dunia
dengan konsep Blue Economy yang di desain dalam KTT Rio+20 bertemu, yakni pada
upaya untuk mengeksploitasi sumber daya laut Indonesia melalui pembangunan
infrastruktur pelabuhan. Maka
terlihatlah dengan jelas bahwa poros maritim yang diusung Jokowi sebenarnya
adalah desain asing.
Pendulum Nusantara: Melanggengkan
Neoimperialisme
Kesamaan Tol Laut
dengan Pendulum Nusantara ini akhirnya membuat kesamaan langkah antara
pemerintah dengan pelindo dalam upayanya menjaring investor asing. Dari sisi
pemerintah, untuk mencapai target
pertumbuhan ekonomi 7% dalam 2 tahun ke depan Jokowi-JK telah berencana untuk
menggenjot pembangunan infrastruktur.[14] Menurut Jokowi,
percepatan ekonomi bangsa harus dialektis dengan irama percepatan ekonomi internasional,
baik di kawasan ASEAN atau
lebih luas lagi, seperti Asia Pasifik dan Ekonomi Dunia. Untuk mencapai
pertumbuhan itu, menurut Jokowi, agenda Tol Laut adalah jawaban pertama.[15]
Dan salah satu cara yang ditempuh agar minat investasi
meningkat adalah dengan membuat regulasi baru terkait skema kerjasama. Menurut
Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum Hediyanto Husaini,
pemerintah harus agresif mencari calon-calon investor. "Harus ada regulasi
baru yang membahas skema kerjasama, sumber pendanaan hingga payung hukum guna
menjamin investasi asing dan swasta di Indonesia. Kita harus bisa menjamin
investasi mereka terutama untuk persoalan pembebasan lahan, perizinan, hingga
skema kerjasama yang ditawarkan." katanya.[16]
Upaya pemerintah untuk menjaring investor asing baik
dengan memperbarui skema kerjasama ataupun dengan merubah regulasi, merupakan kesalahan
yang sangat mendasar. Sebab upaya ini tidak akan mengantarkan pada
kesejahteraan. Sebaliknya justru menjerumuskan Indonesia pada kemiskinan. Abdurrahman Al Maliki mengungkapkan
bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling
berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam, disamping ia merupakan jalan
untuk menjajah suatu negara.[17]
Dan saat ini, metode pemberian hutang dilakukan dengan
cara mengirim para ahli terlebih dahulu untuk mengetahui potensi keuangan suatu
negara, yakni untuk meneliti rahasia ekonomi suatu negara. Kemudian menentukan
proyek-proyek yang akan dibiayai dengan dana hutang-hutang itu. Selanjutnya mereka
merancang metode yang akan menghasilkan kekacauan dan kemiskinan dengan
memaksakan proyek-proyek tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Inilah yang
akan direalisasikan jika tidak mengangkat pegawai yang berasal dari mereka
sebagai pengawas pengeluarannya. Dengan demikian hutang-hutang itu takkan
menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang
berhutang.[18]
Apa yang digambarkan oleh Abdurrahman Al Maliki ini telah nampak dengan jelas dalam kasus Pendulum
Nusantara ini. Dimulai dengan disewanya Bank Dunia oleh PT. Pelindo II untuk
mengkaji potensi implementasi program ini, hingga akhirnya berujung pada diperpanjangnya
kontrak dengan HPH.
Perpanjangan kontrak antara Jakarta International Container Terminal (JICT) dan
Terminal Petikemas Koja oleh RJ Lino, Dirut PT. Pelindo II, kepada investor asing Hutchison Port Holding (HPH) hingga 2039 disinyalir
karena poin ini merupakan salah satu persyaratan pencairan pinjaman yg
dilakukan oleh PT. Pelindo II sebesar 1 miliar
dolar Amerika setara Rp 11 triliun dari sindikasi perbankan nasional dan asing
yang dimotori oleh Deutch, yang keseluruhannya ada enam bank. Menurut Ketua
Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia II Kirnoto “Bank-bank tersebut baru mau
mencairkan pinjaman yang dimohon Dirut Pelindo II asalkan BUMN ini
memperpanjang kontrak dengan HPH yang kini mengelola JICT dan TPK Koja.” Karena
sumber pendapatan terbesar dolar Amerika Serikat berasal dari pelindo adalah
dari terminal petikemas JICT dan TPK Koja. [19]
Dengan demikian poros maritime dengan konsep Pendulum Nusantara
sebagaimana dipaparkan diatas akan semakin membuat Indonesia kehilangan
kedaulatannya, kehabisan sumber daya alam dan lenyaplah pertahanan dan keamanan
bagi warganya. Maka sungguh naïf jika masih ada yang membela rezim neolib yang
telah menghasilkan neoimperialisme ini.
Penutup
Dalam
kacamata Islam, negara memiliki kewajiban untuk melakukan ri’ayah terhadap
semua urusan rakyat. Oleh karena itu Khalifah tidak boleh membuat kebijakan
yang justru kontra produktif terhadap terlaksananya semua urusan rakyat.
Termasuk diantaranya membuat kesepakatan dengan dunia internasional, membuat
nota kesepahaman atau berhutang yang ujung-ujungnya memberikan proyek-proyek
strategis ke tangan swasta, bahkan asing. Sehingga ini akan menjerumuskan
Khilafah pada ketidakmampuannya dalam melakukan ri’ayah pada rakyat. Apalagi
cara-cara demikian telah jelas keharamannya.
Dengan demikian kelak ketika Khilafah tegak,
kedaulatan negara menjadi aspek yang diprioritaskan dalam membuat setiap
kebijakan politik dan ekonomi. Dan cara pandang seperti inilah yang seharusnya wajib
dimiliki oleh setiap negarawan muslim, siapapun dia. Wallahu a’lam wa bi
ash-shawab ( dr. Estiningtyas )
[5]
http://www.beritasatu.com/ekonomi/223554-pendulum-nusantara-kurangi-biaya-logistik-500-persen.html
[6]
http://jurnalmaritim.com/2014/11/infrastruktur-sistem-logistik-efisien-solusi-masalah-konektivitas-antar-pulau/
[7]
http://www.ciputranews.com/politik/tol-laut-harus-terintegrasi-dengan-alki
[8]
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3334&coid=3&caid=31&gid=4
[12]Gunter
Pauli, “The Blue Economy, 10 years 100
innovations 100 million jobs”, Taos, New Mexico, Paradigm Publications,
2010.
[13]
http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/8175/EKONOMI-BIRU-DAN-INDUSTRIALISASI-KP/
[15]
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/14/318591/jokowi-tol-laut-kunci-mengejar-pertumbuhan-kawasan
[16] http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/14/318591/jokowi-tol-laut-kunci-mengejar-pertumbuhan-kawasan
[19]
http://poskotanews.com/2014/08/11/bank-asing-tekan-rj-lino-perpanjang-kontrak-jict/
Terimakasih atas artikelnya, berguna..
BalasHapussalam,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
bagus blognya, terimakasih!
BalasHapus