Demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam
waktu tiga tahun, pemerintah memprioritaskan
menggarap sektor-sektor primadona di Indonesia. Keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made), menjadikan pariwisata
menjadi salah satu sektor penting
yang perlu segera ditangani. Bahkan koridor ekonomi
Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek
MP3EI (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Betapa tidak, sektor pariwisata yang menempati
urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk
Domestik Bruto). Angka itu mencapai 23
persen dari total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan 2013.
Menteri
Pariwisata Arief Yahya, dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan
pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019. Penargetan ini sejalan dengan program liberalisasi ekonomi Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan
infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi.
Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan
memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang,
Korea, China, dan Rusia.Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman
Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara
(wisman) dengan penghitungan satu wisman
akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar per tahun.
Pariwisata
sebagai Sarana transfer nilai
Sebagai varian
sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan
dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi
mendasar konsep ini. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan berselarasan dengan
kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta
kebebasan beragama (sekularisasi).
Pariwisata adalah
industri yang mengandalkan interaksi antar manusia.Saat ini dalam tataran
diplomasi hubungan antar negara, mekanisme yang dikenal sebagai people to people conectivity sangat diandalkan selain
diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan
transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam
dokumen Australia The Asian Century White
Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat
hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.
Sekalipun
hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas
memiliki tempat istimewa bagi Australia.Demikian juga negara-negara
kapitalistik lain. Namun tantangan penanaman nilai-nilai sekuler kapitalistik masih harus
dihadapi Barat, mengingat mayoritas muslim Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada
asing dan proses penjarahan sumber daya alam tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika
persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk
itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di
Indonesia.Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Liberalisasi Budaya
Indonesia
Format Indonesia
yang demikian selaras dengan pembentukan ASEAN
Community (Masyarakat ASEAN) pada
tahun 2015. Masyarakat ASEAN yang terdiri dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
MasyarakatPolitik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya
ASEAN (MSA). Dalam pembentukan
Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya
Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud
adalah tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM,
sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara
sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.
Kedatangan turis-turis
asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai. Sekalipun Rusia, China, Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat,
namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi.
Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur dengan bangsa Barat seperti Australia, Eropa
atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali
tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood. Tulisan Park Geun-hye, Presiden
Korea Selatan yang dimuat di harian Kompas 10/12/2014 menyebutkan bahwa
kedekatan ASEAN dan Korsel turut dibangun oleh industri popnya.
Realitas
berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini - terutama generasi
mudanya- sudah terseret arus liberal. Bali, sebagai destinasi
wisata utama
telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktivis penanggulangan AIDS nasional
baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di
Bali mencapai 26.000 orang.Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali
hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita
HIV/AIDS adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun (sebanyak 3812 kasus)
dan 30-39 tahun (358 kasus).
Tidak bisa dinafikkan, industri wisata dalam
masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras,
seksual dan hiburan. Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti ini berarti makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT,
pemerintah neolib kurang peduli
dengan maraknya kemaksiatan itu, bahkan makin
memperluasnya. Semua itu disebabkan satu
alasan yaitu
uang. Demi uang kepedulian terhadap
kerusakan generasi menjadi hilang
bersamaan dengan berkembangnya rasa apatis sekaligus
kekuatiran masyarakat. Padahal seharusnya pemerintah merupakan pelayan dan pelindung bagi kepentingan umat. Fungsi pelayanan saat ini
berubah menjadi fasilitator atau regulator saja.
Pariwisata pada Masa Peradaban Islam
Dalam perspektif Islam, Negara bertanggung jawab dalam mencegah terbukanya pintu kemaksiatan
di dalam masyarakat. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.Obyek wisata yang
mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan sejarah Islam bisa dipertahankan. Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan
alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran
Allah, Dzat yang menciptakannya. Peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan
adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang
luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan
wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dengan begitu
itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan
untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan
peradabannya.Sementara bagi wisatawan non-Muslim, obyek-obyek ini bisa
digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran
Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan
kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Sementara obyek
wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka negara bisa menempuh dua
kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan umat non Islam, maka harus
dilihat, Jika
masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan
dibiarkan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka
obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.
Kedua, jika obyek-obyek
tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk
dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan
atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai
patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang.Tempat seperti ini bisa
ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak
bertentangan dengan peradaban Islam.
Meski bidang
pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di
atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski
bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai
sumber perekonomian Negara. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang
ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara juga mempunyai sumber
perekonomian yang bersifat tetap.
luarbiasa postingannya. Sangat bagus
BalasHapus