Anak adalah
dambaan orang tua sekaligus amanah Allah SWT. Dia merupakan penyejuk mata dan
harapan bagi orang tua dan keluarga dimasa depan dunia maupun di negeri abadi
yaitu akhirat. Anak merupakan kebanggaan sekaligus ujian. “Dijadikan indah
dalam pandangan manusia, kecintaan kepada apa apa yang diinginkan berupa wanita, anak anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak,
kuda pilihan dan hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik. ( TQS Ali Imran :14)[1]. Oleh karena itu agama menjadikan keberadaan
anak sebagai upaya pelestarian /pemeliharaan jenis manusia didahului oleh
sebuah ikatan yang kuat ( mitsaqan ghalizha) melalui gerbang pernikahan.
Kehadiran anak menjadi sesuatu yang didambakan dan dinanti nanti keluarga besar
dan padanya tempaan pendidikan terbaik diberikan sehingga sempurnalah
kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup setiap insan.
Namun, saat ini
kehadiran anak seringkali bersifat
kontraproduktif dengan tujuan dihadirkannya ia didunia. Adanya janin dalam
kandungan dianggap sebagai aib. Alih alih disambut oleh keluarga, justru
keberadaannya disembunyikan, dikhawatiri bahkan tak sedikit yang ingin segera
melenyapkannya dari rahim ibunya. Aborsi. Sebuah fenomena besar bahwa dalam
dasawarsa terakhir data aborsi mengalami angka yang fantastis. Data tahun 2013
yang dilansir oleh Statistik PBB menunjukkan bahwa 16 juta remaja dibawah usia
18 tahun telah melahirkan dalam setahun dan diantaranya
sebanyak 3,2 juta remaja menjalani aborsi yang tidak aman. Kehamilan di
kalangan gadis remaja sering kali diakibatkan oleh diskriminasi, pelanggaran hak, pendidikan yang tidak layak, dan hubungan
seks secara paksa. Sementara itu di Indonesia rata-rata jumlah remaja usia
15-19 tahun yang melahirkan dalam rentang waktu antara tahun 2007 -2012 melonjak tajam. Tahun 2007 rata-rata kelahiran
pada remaja adalah 35 per 1.000 kelahiran, sedangkan tahun 2012 menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jumlahnya menjadi 45 per
1.000 kelahiran. Angka pernikahan dini meningkat
menyebabkan jumlah kelahiran di tingkat remaja semakin melonjak. Menurut katagori United Nations Development
Economic and Social Affairs (UNDESA) 2011, Indonesia menempati peringkat ke-37 sebagai
negara dengan jumlah perkawinan dini terbanyak di dunia. Sekitar 46 persen
remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual Dan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2010 menyatakan bahwa 46% perempuan
Indonesia menikah sebelum berusia 20 tahun[2].
Keadaan ini menyebabkan pemerintah tergerak untuk
menerbitkan regulasi terkait kesehatan repoduksi yang tertuang dalam PP ( Peraturan Pemerintah) No.61 tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi . PP ini merupakan amanat dari UU No. 36/2009 tentang kesehatan. Didalamnya terdapat pasal
yang mengatur tentang aborsi sebanyak sembilan
pasal dan juga mengatur
permasalahan kesehatan ibu ( 23 pasal).
Keberadaan PP ini cukup menimbulkan polemik.
Menurut menkes Nafsiah Mboi keberadaan PP ini sangat penting. Pasalnya ,
perempuan korban perkosaan umumnya harus menanggung beban psikologis sekaligus
ekonomis. Ia harus menghidupi anak yang dilahirkan dan konsekuensi sebagai korban kekerasan seksual yang sering
mendapatkan cercaan dari masyarakat. Menteri pemberdayaan perempuan Linda
Gumelar juga mendukung PP ini dengan alasan bahwa perempuan korban perkosaan
pada umumnya mengalami trauma panjang.
Sementara itu sebagian kalangan menolak PP tersebut sebagaimana yang
disampaikan oleh Kapolri, KPAI hingga ketua IDI. Umumnya penolakan tersebut
dengan alasan bahwa PP ini bisa disalahgunakan hingga bisa menumbuhsuburkan
pergaulan bebas dan bertentangan dengan
KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa serta melanggar sumpah dokter dan kode
etik kedokteran.
PP No
61 tahun 2014 Dalam Polemik
Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi memberikan legalitas terhadap tindakan aborsi bagi korban
perkosaan. Pemerintah telah mengeluarkan PP ini
sebagai amanat UU kesehatan No.36/2009. Pelegalan
aborsi yang mengacu pada UU Kesehatan No. 36/2009[3]
, khususnya pasal 75 ayat (1) menyatakan
bahwa, “setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan”.
Penjabaran UU No. 36/2009 ini tampak dalam beberapa
pasal terkait aborsi dalam PP No. 61/2014 ini, diantaranya yang perlu untuk
dikritisi adalah sebagai berikut:
- Pasal 26
(1) Setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual
yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
(2) Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kehidupan seksual yang:
a. terbebas dari infeksi menular seksual;
b. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi
seksual;
c. terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
d. mampu mengatur kehamilan; dan
e. sesuai dengan etika dan moralitas.
Pada pasal ini, tampak adanya nuansa liberal dengan adanya kebebasan bagi
perempuan untuk menjalani kehidupan seksual tanpa rasa takut dan diskriminasi.
Pasal ini akan menjadi pasal karet yang
bisa melindungi perilaku pergaulan bebas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia
cenderung permisiv dalam berperilaku termasuk dalam tata pergaulan. Artinya,
pasal ini mengabaikan aspek sosiologis masyarakat Indonesia dalam berperilaku
yang cenderung mengikuti barat secara
buta. Indonesia
merupakan surga pornografi kedua
setelah Rusia berdasarkan data Assosiated
Press (AP) ( tahun 2011). Dampak paling terlihat adalah maraknya
pergaulan bebas dan tingginya angka aborsi. Memang benar bahwa salah satu
esensi dari PP ini adalah komitmen pemerintah untuk memberikan perangkat hukum
terhadap kesehatan reproduksi, termasuk kaitannya dengan hak ( kebebasan) perempuan untuk
menentukan kehamilan yang terjadi pada dirinya. Semangat ini pulalah yang
mendasari legalisasi aborsi , karena perempuan pada kondisi kedaruratan medis
atau korban perkosaan tetap memiliki hak untuk tidak melanjutkan kehamilannya
serta layak untuk difasilitasi.
- Pasal 31
Dalam pasal 31
PP no 61 tahun 2014 dinyatakan bahwa:
(1)
Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
A. indikasi kedaruratan medis; atau
B. kehamilan akibat perkosaan.
(2)
Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan
apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
- Pasal 33
Pasal 33 ayat (1,2)
menyebutkan bahwa,”Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh
tim kelayakan aborsi, paling sedikit dari 2 orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter
yang memiliki kompetensi dan kewenangan. [4]
- Pasal 34
(1)
Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan
seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
(2)
Kehamilan akibat perkosaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a.
usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat
keterangan dokter;dan
b.
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
Beberapa pasal dalam PP No
61/2014 tentang Kesehatan reproduksi
yang memfasilitasi aborsi bagi korban perkosaan ini berpotensi menimbulkan
polemik dalam masyarakat. Sejumlah
kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi karena sama saja dengan menghilangkan hak hidup
seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi
legitimasi bagi tindakan aborsi. PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah
untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban
pemerkosaan. Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan
dinilai kurang tepat.
Pemerintah
terjebak kepada solusi kuratif daripada preventif apalagi komprehensif untuk menangani maraknya
aborsi , pergaulan bebas dan kehamilan tak diinginkan. Solusi ini adalah solusi
yang dilematis karena secara kontekstual kondisi carut marutnya tata pergaulan
di Indonesia sudah tidak terhindarkan lagi. Secara normatif hadirnya PP ini
menggambarkan kekaburan konsep aturan kesehatan reproduksi karena tidak
berpijak pada basis empiris masyarakat secara
tepat. Hal ini menjadikan pertanyaan, untuk kepentingan apa dan siapakah
peraturan ini dibuat?
Dalam PP ini
satu sisi perempuan korban perkosaan mungkin sedikit tertolong, namun
sesungguhnya ada dampak lain yang jauh
lebih buruk. Dampak buruk tersebut mencakup aspek psikologis, medis maupun sosial.
Dampak psikologis aborsi sesungguhnya tidak bisa dipandang ringan. Berdasarkan
penelitian, aborsi dapat menimbulkan berbagai dampak dan resiko yang tinggi
terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika
dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa.
Informasi ini sangat menyesatkan . Ada dua macam resiko
kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi, yaitu:
1.
Resiko kesehatan dan
keselamatan fisik
2.
Resiko gangguan psikologis.
Resiko kesehatan dan keselamatan fisik
Secara medis, wanita
yang melakukan aborsi akan mengalami
kondisi sangat buruk pada saat aborsi maupun pasca melakukan aborsi.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku ‘Facts
of Llife” oleh Brian Clowes, PhD yang akan dialami perempuan dalam aborsi
adalah:[5]
a. Kematian mendadak
karena pendarahan hebat
b. Kematian mendadak
karena pembiusan yang gagal
c. Kematian secara
lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
d. Rahim yang sobek
(Uterine Perforation)
e. Kerusakan leher rahim
(Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya
f. Kanker payudara
(karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
g. Kanker indung
telur (Ovarian Cancer)
h. Kanker leher rahim
(Cervical Cancer)
i.
Kanker hati (Liver Cancer)
j.
Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang
akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan
lagi (Ectopic Pregnancy)
l.
Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
m. Infeksi pada
lapisan rahim (Endometriosis)
Resiko gangguan psikologis
Sementara
itu secara psikologis, resiko yang akan dihadapi perempuan yang melakukan aborsi adalah gejala “Post-Abortion Syndrome”
(Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS.[6]Gejala tersebut antara lain:
a. Kehilangan
harga diri (82%)
b. Berteriak-teriak
histeris (51%)
c. Mimpi
buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
d. Ingin
melakukan bunuh diri (28%)
e. Mulai
mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
f. Tidak
bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)
Diluar hal-hal tersebut
diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang
tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.[7]
Hal lain yang juga merupakan masalah
serius adalah masalah keamanan pada para wanita secara sosial. Para pelaku
perkosaan bebas melenggang dan justru mendapatkan jalan keluar karena toh
korban akan mendapat rehabilitasi melalui aborsi legal tersebut. PP tentang
aborsi ini juga akan melegalkan pergaulan bebas yang pada akhirnya akan merusak
generasi.
Alasan syariah dalam peraturan ini,
yakni rujukan fatwa MUI No.4/2005 tentang Aborsi, bahwa aborsi hanya dapat
dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid
terakhir.[8]
tentu saja tidak serta merta membuat produk hukum pemerintah ini bisa dikatakan
islami. Pasalnya, persoalannya bukan semata dilihat dari kacamata fiqh tentang
kapan masanya janin boleh digugurkan, atau semata mata kemaslahatan untuk
menolong korban pemerkosaan. Namun juga harus dipertimbangkan landasan , jiwa,
tujuan hingga dampaknya bagi masyarakat dan bangsa. Karena kenyataannya sebelum
aborsi dilegalkanpun, pergaulan bebas sudah begitu maraknya.
Aborsi dalam sudut pandang Perbandingan Hukum Islam – Hukum Positif.
Hukum Islam berperspektif bahwa, setiap bayi berhak untuk hidup. Dia bersifat suci dan terbebas dari dosa. Oleh karena itu penyebab kehamilan tidak menjadi alasan utama
dilakukannya aborsi. Terlebih lagi apabila kehamilan itu normal. Apresiasi terhadap eksistensi manusia dalam pandangan Islam harus harus lebih diutamakan. Kecuali jika kehamilan tersebut mengancam
kelangsungan hidup si
ibu, maka kondisinya akan berbeda, dalam hal ini, aborsi mungkin bisa menjadi pilihan. Namun,
jika kehamilan tersebut bisa diteruskan sementara si ibu tidak mengalami
gangguan kesehatan akibat kehamilan, maka aborsi bukanlah sebuah pilihan. Sikap
yang lebih baik adalah meneruskan
kehamilan itu hingga akhirnya melahirkan dengan baik. Karena, Islam mengenal
konsep maqashid asy Syari’ah, yang salah satu aspeknya adalah menjaga
nyawa (hifdzu an nafs).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan bahwa aborsi diharamkan
dalam Islam. Apa pun alasannya, membunuh bayi dalam kandungan secara sengaja jelas
tak diperbolehkan. Di samping itu
sangat sulit untuk menetapkan asal usul suatu kehamilan karena tidak ada suatu
mekanisme yang secara jelas bisa memonitor, mengontrol,
dan memastikan
seorang perempuan hamil karena diperkosa atau karena hal lain.
Pemerintah dalam hal ini kementerian Kesehatan sebagai
penyelenggara hukum positif memandang perlunya menyiapkan peraturan teknis dalam
bentuk Peraturan Menteri Kesehatan ( permenkes) dengan aturan turunan sebagai pengimplementasian PP Kesehatan Reproduksi tersebu,t agar keberadaannya sejalan dengan tujuan pemeliharaan
masyarakat dan dalam pelaksanaanya tidak bertentangan
dengan hukum. Dalam proses penggodokan permenkes tersebut
banyak komponen masayrakat yang dilibatkan yaitu mulai dari organisasi profesi,
LSM pemerhati anak, aparat hukum, pemangku kepentingan dan masyarakat termasuk
tokoh agama. Ini adalah bentuk langkah sosialisasi dan edukasi yang penting
dalam mencapai keberhasilan politik hukum dalam implementasi PP tersebut.
Disamping itu, acuan yang jelas dalam teknis pelaksanaan hukum ini sangat
diperlukan agar tenaga kesehatan sebagai pelaksana teknis tidak mengalami
kekaburan. Legalitas aborsi untuk korban perkosaan menurut konseptor PP ini, sangat
dimungkinkan dengan pertimbangan kepentingan ibu dan anak yang dikandungnya. Sebab jika seorang ibu mengandung anak hasil korban perkosaan, baik
secara psikis maupun fisik, tentu tidak baik untuk perkembangan janin
dirahimnya. Karena pada korban
perkosaan, penolakan terhadap janin yang dikandungnya
bisa berakibat fatal. Seperti mencoba bunuh diri, mengonsumsi obat-obatan atau
hal-hal lain yang bisa mengurangi depresi.
Maraknya kasus anak dengan gangguan mental dan fisik yang makin meningkat jumlahnya dewasa ini idak lepas dari kesiapan
ibu untuk hamil. Ada banyak perempuan yang tidak siap untuk hamil, tetapi
keadaan memaksanya harus hamil. Padahal untuk melahirkan anak yang sehat secara psikis maupun fisik, intervensi
terhadap kesehatan ibu selama kehamilan sangat dibutuhkan. Intervensi tersebut
meliputi asupan gizi, pemeriksaan kesehatan berkala hingga faktor emosi si ibu.Inilah alasan pemerintah menyikapi polemik PP No
61 /2014 ini.
Pedoman teknis pelaksanaan PP ini akan memperhatikan:
pertama
aspek kemanusiaan. Artinya secara hukum, korban
kekerasan seksual harus diayomi dan didampingi untuk menanggung derita yang
dialaminya.
Kedua, aspek kesehatan. Dari segi usia
apabila aborsi dilakukan pada perempuan yang usianya terlalu muda, maka dapat
juga menyebabkan kematian yang juga berhubungan dengan aspek pertama dari unsur
kemanusiaan.
Ketiga, aspek agama yang tentunya akan
menimbuhkan masalah karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
berbagai macam agama.
[1]
Departemen agama RI,Alquran dan terjemahannya, ( Kudus: menara Kudus. 1427 H)
[2]
http:/www.indonesiaucanews.com
[3]
http:// e-report.alkes.kemkes.go.id/../ UU_No 36 tahun 2009
[5]
Clowes, Brian., The facts of life : An Authoritative Guide to Life and family,
Human life International ,( 1997)
[6]
ibid
[7]
http://www.aborsi.org
[8]
Http:// repository.usu.ac.id/handle/fatwa MUI no 4 tahun 2005
keren abis postingannya! Terimakasih
BalasHapus