Selasa, 27 Agustus 2013

PEREMPUAN, FITNAH DAN KELUAR RUMAH



Menekuni realitas sosial di sekitar kita memang tidak ada habisnya.Begitu beragamnya jenis manusia, ga ada yang sama diantara mereka dan sebanyak itu pula ragam pernik pemikirannya. Kali ini saya mempelajari realitas perempuan di ranah pesantren tradisional.
Begitu lekat ingatan saya ketika berkunjung ke pesantren tradisional, satu persatu. Kesan pertama, berwibawa, santun dan para santri pun begitu takdzim melayani sang  Ibu Nyai. Berjalan dengan lutut untuk menghidangkan minuman kepada tamu, pun pergi dengan berlutut dengan posisi  mundur. Tradisi menghormati yang pada sebagian orang dinilai tidak efektif ini ternyata masih bertahan di tengah membadainya budaya tak hormat kepada orang tua. Masih lebih mudah bagi kami para tamu untuk mencium tangan dan cipika cipiki dengan Ibu Nyai dari pada para santri yang tidak boleh menatap beliau. Atau saya ya yang kurang sopan???
 Dan satu tradisi pula bahwa Sang Ibu tidak diperkenankan untuk keluar rumah disebabkan beratnya fitnah di luar sana. Tindakan inipun dilakukan dan diterapkan untuk para santriwati  yang tidak diperkenankan mengakses media luar, termasuk buku dan majalah yang kami bawa. “ Kami ingin tenang menjalankan agama Mbak, kalau sering keluar rumah, beban pikiran menjadi berat, resikonya besar dan fitnahnya banyak. Kalau orang luar mau berkunjung ke sini silahkan, saya sangat senang, saya dapat 1000 kebaikan dan barokah, tapi kami memutuskan untuk tidak usah keluar rumah agar iman kami selalu terjaga”. Sedikit diskusi dengan beliau para Ibu Nyai. “ Ibu, bukankah diluar sana juga banyak sekali para perempuan yang perlu dicerahkan dengan agama? Perlu dibimbing dengn islam,dan bisa jadi tidak mengenal pesantren?”saya berusaha mencari jawaban atas argumen ini.” Iya Mbak, yang keluar rumah itu tugas para bapak, resikonya besar.kami lebih baik di dalam rumah, alhamdulillah hidup kami tenang”.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa betapa besar ujian ketika perempuan terlibat di kehidupan publik. Fitnah dan syaitan dimana mana, bahkan tanpa terasa jiwa feminin perempuan pun berubah menjadi maskulin. Saya merasakan sendiri ketika pada suatu masa, saya dipaksa oleh keadaan untuk tinggal terus menerus di dalam rumah, satu sisi jenuh iya, namun di sisi lain, tidak pernah terpikir untuk mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh perempuan yang keluar rumah.Keluar hanya untuk mengisi pengajian, mengajar anak anak membaca alquran dan mencari ilmu ala kadarnya. Tidak terbayang harus berdiskusi untuk tema tema kekinian dan terasa tertinggal informasi sedemikian jauh karena pesatnya kemajuan teknologi. Melindungi sisi keperempuanan dan terisolasi dari  fakta rusak di dunia luar sana. Merasa sudah baik dengan setiap ketaatan yang dilakukan karena hampir tiada tantangan. Dan ketika saya mulai membuka diri dengan dunia luar, terasa kerasnya angin fitnah itu memporakporandakan tatanan yang selama ini saya anut. Saya harus fight sebagaimana laki laki, tidak boleh miris ketika setiap saat di jalanan menemukan kasus kecelakaan maut, tidak boleh ngeri ketika mendengar berita buruk kemanusiaan, harus berani keluar malam sendirian untuk sebuah tugas yang tidak ada penggantinya. Harus berinteraksi dengan banyak lawan jenis yang tidak semuanya mampu menjaga pandangan. Tapi disisi lain, begitu banyak tugas untuk mencerdaskan perempuan dan masyarakat menanti. Ketika banyak perempuan di ranah publik tersesat oleh rusaknya kehidupan mereka yang bebas nilai. Siapa yang akan mencerahkan mereka kembali?
Saya merefleksikan sisi sisi ini pada kehidupan para shahabiyah. Kita menemukan para shahabiyah yang memang tinggal di dalam rumah sepeninggal Rasulullah SAW.Pergipun ditemani mahram, dan tidak berlama lama jauh dari keluarganya.Disibukkan dengan aktivitas sebagai ummu wa rabbatul bayt dan kegiatan keperempuanan lainnya. Pun saya juga membaca kisah shahabiyah yang ikut menanggung beban jihad, pergi berperang di sekitar Rasulullah SAW. Perempuan perempuan dengan kemampuan istimewa yang memikul beban dakwah lebih dan menanggung resiko yang lebih besar.
Siapa yang lebih baik, wallaahu a’lam. Kembali kepada kemampuan mengukur diri kita, akan mengambil peran apa dalam hidup ini. Maka saya berkesimpulan, kalau saja dengan di dalam rumah itu saya bisa mendapatkan ilmu sebanyak banyaknya, terbimbing dengan baik untuk memperoleh keridloanNya, terdidik dengan syariah islam dan ummat tidak lagi menghadapi besarnya fitnah sistem rusak ini, sungguh rumah adalah tempat paling nyaman yang layak untuk para perempuan.dan rumah itu akan menjadi syurga dunia bagi para perempuan. Seandainya para wali atau suami itu pandai menjaga kehormatan keluarganya, menjaga istri dan anak anak perempuan mereka ketika berada di luar rumah, alangkah nyamannya kehidupan wanita.
Namun saat ini kehidupan itu belum bisa direalisasikan. Dan tidak ada lagi yang bisa memperjuangkannya selain kami, para perempuan yang melihat realitas ini. Ketika perempuan dieksploitasi, direndahkan martabatnya sebagai komoditi untuk melariskan produk bikini dan ketika perempuan terlibat dalam proyek proyek besar maksiat. Innaalillahi wa inna ilayhi raajiuun. Ya Robbi ampunilah kami, atas ketidak berdayaan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar