Menekuni realitas sosial di
sekitar kita memang tidak ada habisnya.Begitu beragamnya jenis manusia, ga ada
yang sama diantara mereka dan sebanyak itu pula ragam pernik pemikirannya. Kali
ini saya mempelajari realitas perempuan di ranah pesantren tradisional.
Begitu lekat ingatan saya ketika
berkunjung ke pesantren tradisional, satu persatu. Kesan pertama, berwibawa,
santun dan para santri pun begitu takdzim melayani sang Ibu Nyai. Berjalan dengan lutut untuk
menghidangkan minuman kepada tamu, pun pergi dengan berlutut dengan posisi mundur. Tradisi menghormati yang pada
sebagian orang dinilai tidak efektif ini ternyata masih bertahan di tengah
membadainya budaya tak hormat kepada orang tua. Masih lebih mudah bagi kami
para tamu untuk mencium tangan dan cipika cipiki dengan Ibu Nyai dari pada para
santri yang tidak boleh menatap beliau. Atau saya ya yang kurang sopan???
Dan satu tradisi pula bahwa Sang Ibu tidak
diperkenankan untuk keluar rumah disebabkan beratnya fitnah di luar sana.
Tindakan inipun dilakukan dan diterapkan untuk para santriwati yang tidak diperkenankan mengakses media
luar, termasuk buku dan majalah yang kami bawa. “ Kami ingin tenang menjalankan
agama Mbak, kalau sering keluar rumah, beban pikiran menjadi berat, resikonya
besar dan fitnahnya banyak. Kalau orang luar mau berkunjung ke sini silahkan,
saya sangat senang, saya dapat 1000 kebaikan dan barokah, tapi kami memutuskan
untuk tidak usah keluar rumah agar iman kami selalu terjaga”. Sedikit diskusi
dengan beliau para Ibu Nyai. “ Ibu, bukankah diluar sana juga banyak sekali
para perempuan yang perlu dicerahkan dengan agama? Perlu dibimbing dengn
islam,dan bisa jadi tidak mengenal pesantren?”saya berusaha mencari jawaban
atas argumen ini.” Iya Mbak, yang keluar rumah itu tugas para bapak, resikonya
besar.kami lebih baik di dalam rumah, alhamdulillah hidup kami tenang”.
Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa betapa besar ujian ketika perempuan terlibat di kehidupan publik. Fitnah
dan syaitan dimana mana, bahkan tanpa terasa jiwa feminin perempuan pun berubah
menjadi maskulin. Saya merasakan sendiri ketika pada suatu masa, saya dipaksa
oleh keadaan untuk tinggal terus menerus di dalam rumah, satu sisi jenuh iya,
namun di sisi lain, tidak pernah terpikir untuk mengembangkan diri seperti yang
dilakukan oleh perempuan yang keluar rumah.Keluar hanya untuk mengisi
pengajian, mengajar anak anak membaca alquran dan mencari ilmu ala kadarnya.
Tidak terbayang harus berdiskusi untuk tema tema kekinian dan terasa tertinggal
informasi sedemikian jauh karena pesatnya kemajuan teknologi. Melindungi sisi
keperempuanan dan terisolasi dari fakta
rusak di dunia luar sana. Merasa sudah baik dengan setiap ketaatan yang
dilakukan karena hampir tiada tantangan. Dan ketika saya mulai membuka diri
dengan dunia luar, terasa kerasnya angin fitnah itu memporakporandakan tatanan
yang selama ini saya anut. Saya harus fight sebagaimana laki laki, tidak boleh
miris ketika setiap saat di jalanan menemukan kasus kecelakaan maut, tidak
boleh ngeri ketika mendengar berita buruk kemanusiaan, harus berani keluar
malam sendirian untuk sebuah tugas yang tidak ada penggantinya. Harus
berinteraksi dengan banyak lawan jenis yang tidak semuanya mampu menjaga
pandangan. Tapi disisi lain, begitu banyak tugas untuk mencerdaskan perempuan
dan masyarakat menanti. Ketika banyak perempuan di ranah publik tersesat oleh
rusaknya kehidupan mereka yang bebas nilai. Siapa yang akan mencerahkan mereka
kembali?
Saya merefleksikan sisi sisi ini
pada kehidupan para shahabiyah. Kita menemukan para shahabiyah yang memang tinggal
di dalam rumah sepeninggal Rasulullah SAW.Pergipun ditemani mahram, dan tidak
berlama lama jauh dari keluarganya.Disibukkan dengan aktivitas sebagai ummu wa
rabbatul bayt dan kegiatan keperempuanan lainnya. Pun saya juga membaca kisah
shahabiyah yang ikut menanggung beban jihad, pergi berperang di sekitar Rasulullah
SAW. Perempuan perempuan dengan kemampuan istimewa yang memikul beban dakwah
lebih dan menanggung resiko yang lebih besar.
Siapa yang lebih baik, wallaahu a’lam.
Kembali kepada kemampuan mengukur diri kita, akan mengambil peran apa dalam
hidup ini. Maka saya berkesimpulan, kalau saja dengan di dalam rumah itu saya
bisa mendapatkan ilmu sebanyak banyaknya, terbimbing dengan baik untuk
memperoleh keridloanNya, terdidik dengan syariah islam dan ummat tidak lagi
menghadapi besarnya fitnah sistem rusak ini, sungguh rumah adalah tempat paling
nyaman yang layak untuk para perempuan.dan rumah itu akan menjadi syurga dunia
bagi para perempuan. Seandainya para wali atau suami itu pandai menjaga
kehormatan keluarganya, menjaga istri dan anak anak perempuan mereka ketika
berada di luar rumah, alangkah nyamannya kehidupan wanita.
Namun saat ini kehidupan itu
belum bisa direalisasikan. Dan tidak ada lagi yang bisa memperjuangkannya
selain kami, para perempuan yang melihat realitas ini. Ketika perempuan
dieksploitasi, direndahkan martabatnya sebagai komoditi untuk melariskan produk
bikini dan ketika perempuan terlibat dalam proyek proyek besar maksiat. Innaalillahi
wa inna ilayhi raajiuun. Ya Robbi ampunilah kami, atas ketidak berdayaan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar