Seputar UU SJSN dan BPJS
Konsep SJSN yang diterapkan di Indonesia, ini merupakan bagian
dari Konsesus Washington dalam bentuk program SAP (Structural Adjustment
Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintah Indonesia
untuk mengatasi krisis .Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai
dengan isi dari Konsensus Washington,
IMF menyarankan negara-negara tersebut
mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2)
prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi
finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6)
liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan
domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong
iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10
elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Ketiga syarat
tersebut harus dilakukan oleh negara yang ingin dibantu oleh IMF.
Program penyesuaian struktural ini meliputi liberalisasi impor dan
pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan),
devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan pembatasan kredit untuk rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang
tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities
(kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah,
liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.
Program SAP inilah yang
diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Di Bidang Ekonomi lahirlah UU
PMA , UU Migas, UU Minerba, UU SDA ,sedang dibidang Pendidikan muncul UU
Sisdiknas dan UU BHP yang melahirkan swastanisasi dan komersialisasi
layanan pendidikan. Dalam bidang
kesehatan ini lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan
swastanisasi layanan publik di bidang kesehatan.
Pembuatan
UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan
pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).”
Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah
disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah
kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri
sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan
bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis : “ADB Technical Assistance was provided
to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established
by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB
telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah
kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Dalam Dokumen Tahap I FGSSR disebutkan : Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial , Fase I akan (i) mengalihkan
institusi terkait dengan pelaksanaan asuransi sosial wajib dan program sosial
dibawah pengawasan otoritas jasa keuangan (ii) menigkatkat tata kelola dan
pengawasan sistem asuransi sosial yang wajib dan sistem jaminan sosial yang ada
….(vii) membangun UU baru dan Badan Baru untuk menyelengggrakan jaminan sosial[2].
Akhirnya Tahun 2004 ditetapkan UU SJSN dan Tahun 2011 dibentuk BPJS.
Setelah UU SJSN disahkan ILO Jakarta yang hampir
tidak terdengar kiprahnya di bidang jaminan sosial selama 7 tahun terakhir
pasca pengesahan UU SJSN, kini bangkit membantu pemerintah Indonesia dan para
pemangkunya dengan mengusung isu “social security and social protection
floor”- perlindungan sosial universal untuk seluruh penduduk. Dari pertemuan ILO tersebut, terungkap pula
bahwa World Bank Jakarta tengah mempersiapkan skenario implementasi program jaminan pensiun SJSN. Mitchell Winner, pakar jaminan pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan
desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan
pensiun.
Mengkritisi Pasal -Pasal SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti
sistem asuransi. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang
SJSN itu. Dalam Pasal 1 berbunyi:
Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib
yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi
yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Kemudian Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta
wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah
atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.[3]
Dari dua pasal itu bisa kita
pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang
dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi
karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal
sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin.
Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari
penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta
yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan
wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang
berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu
yang sakit.Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung
jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima
jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Ketiga:
Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan,
tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok
sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
BPJS adalah lembaga
yang dibentuk berdasarkan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang
merupakan amanat dari UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). BPJS akan menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar
biasa di negara ini untuk mengambil dana dari rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, tapi
sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia.
Kedua UU tersebut mengatur
tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh
UU 40/2004 pasal
19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal
tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan
prinsip asuransi sosial.
Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat
dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan
Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan
sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini
asuransi, dan bersifat gotong royong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan.
Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba.
Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat
(istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian.
Inilah fakta sebenarnya dari UU BPJS
bagi rakyat. Rakyat dipaksa sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam
menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memaksa, karena UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat
yang tidak mau membayar premi. Maka patut dikritisi jika
dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan
bagi rakyat.
Sebaliknya rakyat akan terbebani oleh kewajiban yang ditetapkan oleh UU tersebut.
Kedua undang-undang tersebut menurut penulis hanya akan mengokohkan
hak
sosial rakyat yang berubah menjadi komoditas
bisnis. Bahkan aturan ini
akan mengeksploitasi rakyat demi
keuntungan pengelola asuransi. Artinya,
apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditas bisnis, maka posisi rakyat
yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual.Sementara
kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.Ini
tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan
rakyatnya kepada kuasa pasar, di mana dalam era globalisasi ekonomi sekarang
ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh
kekuatan kapitalis
global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha
asuransi.
Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di
Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multinasional saat ini tengah
mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU
40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b di mana
disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang
sekarang sedang melanda Indonesia.
Melihat hal tersebut, UU Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bertentangan dengan filsafat hukum. Maka sudah seharusnya, pemerintah dan DPR
membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan
kehidupan ekonomi rakyat. (lihat pasal-pasal lain dalam UU BPJS yang patut dikritisi dalam tabel 2 dibawah
ini) .
Tabel 2
PASAL – PASAL KRITIS dari
UU BPJS[4]
No.
|
Pasal (isi)
|
Interprestasi dan Dampaknya
|
1.
|
Pasal 1 ayat 6
Peserta
adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
|
Yang tidak membayar Iuran sudah pasti tidak akan mendapatkan
pelayanan jaminan sosial.
|
2.
|
Pasal 3
BPJS
bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota
keluarganya.
|
Yang benar tujuannya untuk mencari keuntungan dari penderitaan rakyat melalui “ iuran premi “
|
3.
|
Pasal
7
(1)
BPJS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini.
|
Badan Hukum Publik adalah bahasa lain dari Swastanisasi
Pengelolaan Jaminan Sosial atau asuransi yang selama ini di kelola BUMN.
Badan Hukum Publik juga digunakan dulu untuk beberapa universitas yang
disebut dengan BHMN yang akhirnya dibatalkan oleh MK.
|
4.
|
Pasal 10
Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau
menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan
mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran
dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan
Sosial untuk kepentinganPeserta;
|
Akan terkumpul dana yang cukup besar dan itu dikelola oleh
swasta (perusahaan asuransi baik lokal maupun asing dalam bentuk reasuransi
yang sudah menunggu perusahaan asuransi dari eropa ), kalau asumsi premi
terrendah yg wajib dibayar Rp.20.000 per bulan per orang dengan jumlah
penduduk 240 jutaan akan terkumpul dana sekitar 4,8 Trilyun per bulan, maka
wajar ADB dan World Bank berani membiayai agar UU BPJS ini disahkan dengan
dana Rp. 2,25 Trilyun.
|
5.
|
Pasal 11
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
a.
menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana
Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan
dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan
dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi
kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan
social nasional;
d. membuat kesepakatan
dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang
mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; mengenakan sanksi
administrative kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi
kewajibannya;
|
Penagihan pembayaran iuran bersifat memaksa dan yang telat bayar
didenda 1 % dan bisa kerja sama dengan Pemerintah utk meminta mereka yg tidak
membayar premi (iuran) tidak mendapat pelayanan kepentingan publik seperti
bikin Akta dll.
Penempatan Investasi dalam bentuk surat-surat berharga sangat
rentan terkena krisis (inilah yang sekarang terjadi di eropa), akhirany
rakyat menjadi korban.
|
|
Pasal 14
Setiap
orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.
|
Inilah pemaksaan yang sebenarnya melebihi Kewajiban membayar pajak, karena semua orang wajib
membayar premi asuransi.
|
|
Pasal
17
(1)Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
teguran tertulis;
b. denda;
dan/atau
c. tidak
mendapat pelayanan publik.
|
Inilah bentuk pemaksaan yg zalim
|
|
Pasal 24
(3) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi berwenang untuk:
f. melakukan pemindahtanganan
aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
dengan persetujuan Dewan Pengawas;
g. melakukan
pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
dengan persetujuan Presiden; dan
h. melakukan
pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
|
Sangat mudah untuk mengkorupsi dana ini utk tujuan dan kepentingan pribadi direksi, Dewan Pengawas, Presiden
dan DPR
|
|
Pasal 41
(1) Aset BPJS bersumber dari:
a. modal awal dari Pemerintah, yang
merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
b. hasil pengalihan aset
Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
c. hasil
pengembangan aset BPJS;
d. dana operasional yang
diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
e. sumber lain yang sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
BPJS dengan mudahnya mendapatkan dana ratusan trilyun dari BUMN
yg selama ini mengurusi masalah asuransi seperti Jamsostek, Taspen, Askes,
dan Asabri.
|
|
Pasal 47
BPJS
tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai
kepailitan.
|
BPJS bisa menghindar atas kewajibannya membayar utang-utangnya
baik kepada nasabah atau pihak ke 3 .
|
Sistem Jaminan Sosial Nasional ini mulai
diberlakukan mulai tahun 2014 ini, untuk itu pemerintah telah mengeluarkan petunjuk
teknis untuk operasional dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Keputusan
presiden yaitu PP no. 101 Tahun 2012 tentang penerima bantuan iuran (PBI)
dan Perpes no. 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan.
Kedua peraturan tersebut juga ditolak oleh
mereka yang selama ini sangat mendukung dan menuntut segera dilaksanakan UU SJSN seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI).
Beberapa
aturan teknis yang ada dalam PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah
privatisasi atau komersialisasi layanan publik adalah :
1. Dalam PP itu disebutkan bentuk badan hukum saja
bukan badan hukum publik, dengan bentuk badan hukum publik saja seperti
Perguruan Tinggi nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan apalagi kalau badan hukumnya selain badan hukum publik
misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT maka orientasinya adalah
profit atau keuntungan.
2. Masyarakat yang akan mendapat pelayanan
kesehatan adalah mereka yang membayar iuran premi asuransi. Dalam kedua PP
tersebut tidak disebutkan besarnya iuran tapi berdasarkan draft PP dan Usulan
Pokja BPJS ada 3 kelompok kepesertan
yaitu Kelompok miskin atau Penerima Bantuan Iuran dengan premi yang harus dibayar sebesar Rp.22.500 dan
berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3, Kelompok yang menginginkan
pelayanan kelas 2 membayar Rp.40.000 per bulan sedangkan Kelompok yang
menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp.50.000 perbulan. [5]
3. Dalam Pasal 17 UU SJSN
disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister
atau tercatat membayar iuran. Jadi implikasinya kalau yang tidak tercatat atau
tercatat tapi belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar akan ditolak atau tidak akan mendapat layanan
dari rumah sakit.
4. Tim Pokja BPJS
mengajukan Penerima Bantuan Iuran untuk rakyat Miskin
sebesar Rp 22.200 per orang per bulan
dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga
total sekitar Rp 25, 5 Trilyun
tapi Menkeu hanya menyetujui Rp.15.500
per orang dengan orang miskin yang ditanggung sebesar 86 juta atau total Rp. 16 Trilyun. Artinya rakyat miskin
yang selama ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp.6.700
karena pemerintah hanya menanggung premi Rp.15.500. Artinya kalau nunggak atau
tidak membayar jelas tidak akan mendapatkan layanan kesehatan. Yang juga perlu
diperhatikan Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya
sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus
membayar secara penuh.
5. Walaupun sudah membayar iuran premi belum tentu orang miskin ini
akan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai karena menurut Ikatan Dokter
Indonesia Iuran sebesar Rp. 22.200 itu dinilai belum mencukupi nilai
keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan
medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi,
dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya
Rp 60.000 per orang per bulan.
6. Yang cukup menarik untuk diperhatikan juga penentuan besarnya orang
miskin yang akan mendapat bantuan Tim POKJA
BPJS mengajukan 96 juta
orang dan yang disetujui 86 juta Orang. Sementara selama ini pemerintah
menyatakan berdasarkan data BPS misalnya tahun 2012 orang miskin itu sekitar 30
juta orang. Ini menunjukkan data orang miskin yang sebenarnya atau untuk menjadi lahan korupsi baru dengan
mengkorupsi dana APBN dengan alasan
untuk orang miskin ?
Itulah
sebagian persoalan SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan
jaminan sosial bagi masyarakat ternyata hanya akan menambah beban baru bagi masyarakat. Selain itu, ternyata
tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh sistem tersebut. Salah satunya adalah
pelayanan kesehatan akibat bencana pada
masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah [6](lihat pasal 25 ayat a
sampai n PERPRES No, 12 Tahun 2013) . Dengan demikian, jika seorang pasien yang
dirawat akibat wabah tertentu seperti DBD maka ia tidak berhak mendapatkan layanan gratis alias harus bayar. Ini
merupakan strategi agar BPJS terhindar dari pembayaran klaim yang membengkak
tajam.
SJSN dan BPJS Dalam Timbangan Filsafat Hukum Islam
Kembali
kepada tujuan diberlakukannya sebuah hukum, yaitu untuk menciptakan keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan
yang ada dalam masyarakat, maka terdapat beberapa aliran dalam filsafat hukum.[7] Maka keberadaan pemberlakuan UU BPJS dan SJSN bisa kita
kritisi dari aspek filsafat hukum Islam.
Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa
hukum Islam bersumber dari ajaran Islam
( Al-Quran dan Al-Hadis) sehingga bisa disebut Law is religion.
Hukum Islam biasa disebut Islamic law dan Islamic Jurisprudance. Islamic
Law disebut syariat islam dan Islamic Jurisprudance disebut fikih
Syariah secara terminologis adalah seperangkat norma
Ilahi yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial,
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang
mengatur tata hubungan tersebut antara lain mencakup kaidah ibadah, kaidah muamalah dan kaidah sunatullah.
Persoalan
UU SJSN/BPJS ini terkait dengan kaidah muamalah
dalam aliran filsafat hukum Islam. Mengenai
kidah mualamalah ini, hanya pokok pokoknya saja yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an dan As Sunnah. Adapun rinciannya terbuka bagi akal manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Hal ini didasarkan kepada tujuan hukum
Islam dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang biasa
disebut maqasid asy-syariah.
Banyak
ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tujuan adanya hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan umat manusia sebagaimana
dalam QS Al Anbiyaa ayat 107 yang artinya “ Dan tidaklah kami mengutus kamu,
melainkan ntuk ( menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.[10] Ayat tersebut secara umum
menunjukkan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan. Ada lima hal pokok yang harus
diwujudkan untuk mewujudkan kemaslahatan yaitu pemeliharaan atas agama, nyawa,
akal, keturunan, dan harta.
Persoalan
kesehatan adalah persoalan dlaruriyah
menurut hukum Islam. Ia adalah salah satu dari 6 kebutuhan
pokok manusia yaitu: sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan. Karena ia adalah kebutuhn pokok, maka pemenuhannya
pada tiap individu rakyat menjadi
tanggung jawab negara dengan menjamin masing masing individu rakyat untuk terpenuhinya
kebutuhan tersebut. Kesehatan merupakan hal yang harus dipelihara karena ia
menyangkut nyawa manusia, hak hidup yang asasi pada manusia.
Pelayanan publik dalam hal kesehatan merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh
dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat
menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam
adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim).
Hadits tersebut setidaknya menunjukkan dua hal yaitu pemimpin saja yang berhak
melakukan aktivitas pelayanan (riayah) dan pelayanan tersebut bersifat
umum untuk seluruh rakyat.Pasalnya kata
rakyat (ra’iyyah) dalam hadits tersebut berbentuk umum.
Adapun wajibnya pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh
negara telah ditunjukkan oleh sejumlah
dalil syara’. Pelayanan kesehatan sendiri merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat
penting bagi mereka.Sementara pelayanan urusan rakyat-- sebagaimana hadits di atas--merupakan
kewajiban negara. Selain itu, jika pelayanan tersebut tidak dipenuhi maka akan
menyebabkan mudharat. Padahal menghilangkan dharar merupakan kewajiban negara. Dalil lainnya adalah ketika Rasulullah
saw ketika dihadiahkan seorang tabib
maka beliau menjadikannya untuk rakyat
dan bukan untuk dirinya pribadi.
Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
bahwa Rasulullah saw pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian
tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas).
Demikian pula dalam riwayat Al-Hakim disebutkan bahwa Zaid bin
Aslam dari bapaknya ia berkata: Di masa Umar bin Khattab saya menderita
sakit parah. Lalu Umar memanggilkan tabib untukku.Tabib itu menjagaku dimana
saya harus menghisap biji kurma untuk berdiet.”Kedua riwayat ini
menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan
oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya.
Oleh karena itu, pemberlakuan UU SJSN /BPJS ini tidak tepat jika
dipandang dari aliran filsafat hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar