Para Ulama berbeda pendapat dalam
mengurutkan su>rat-su>rat dalam Al-Qur’a>n. Mereka
berbeda pendapat apakah pengurutan su>rat-su>rat berdasar
pada tauqi>fi> (petunjuk
langsung dari Allah swt.) lewat nas atau berdasar pada ijtihad.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah
saw. telah membaca sejumlah su>rat dengan tertib ayat-ayatnya
dalam salat atau dalam khutbah Jum’at, seperti su>rat al-Baqarah,
‘Ali>
Imra>n, dan an-Nisa>‘. Juga hadis sahih menyatakan bahwa
Rasulullah saw. membaca su>rat al-A’ra>f dalam salat
maghrib dan dalam salat Subuh hari Jum’at membaca su>rat Alif La>m Mi>m Tanzi>lul kita>bi la> raiba fi>hi
(as-Sajdah), dan ad-Dahr; juga membaca su>rat Qa>f pada waktu
khutbah; su>rat Jumu’ah dan su>rat Muna>fiqu>n dalam salat
Jum’at.
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Al-Qur’a>n yang telah
disampaikan kepada Rasulullah saw. sekali setiap tahun, pada bulan Ramadan dan
pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Pengulangan Jibril yang
terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Zarkashi mengatakan apabila diamati
letak su>rat
mencerminkan keagungan Ilahi, yakni ditunjukkan dengan hal-hal berikut: (1)
adanya hubungan antara isi/makna dari akhir su>rat dengan
permulaan su>rat berikutnya, (2) keseimbangan atau
sajak pada kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’a>n seperti
akhir dari setiap ayat pada su>rat al-Lahab dan al-Ikhla>s}, semua ayat
pada su>rat tersebut
diakhiri dengan bunyi “ad”.
Mengenai tertib su>rat, terdapat tiga pendapat para Ulama’, yaitu:
1.
Tauqi>fi>
Golongan ini diwakili oleh Abu Bakar
ibn al-Anbari, al-Kirmani, dan Ibnu al-Hisr. Dikatakan bahwa tertib su>rat itu tauqi>fi> dan
ditangani langsung oleh Nabi saw. sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya
atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi saw. telah tersusun
su>rat-su>ratnya secara
tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita
sekarang ini, yaitu tertib mushaf Uthman yang tak ada seorang sahabat pun
menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas
tertib su>rat, tanpa
suatu perselisihan apa pun.
Penempatan urutan su>rat yang terdapat dalam mushaf Al-Qur’a>n tidak
disusun berdasarkan tertib turunnya, melainkan disusun berdasarkan tauqif
(petunjuk) dari Nabi Muhammad saw. Begitu pula nama su>rat, biasanya diambil dari kata yang terdapat di permulaan su>rat atau diambil dari kata yang menjadi pokok pembicaraan dalam su>rat itu.
Yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa
Rasulullah telah membaca beberapa su>rat secara
tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’id bin Kholid
bahwa Nabi saw. pernah membaca as sab’ut} t}iwal dalam satu
rakaat. Dan diriwayatkan lagi, Nabi saw. pernah membaca beberapa su>rat mufas}s}al (su>rat-su>rat pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia
mengatakan: “Su>rat Bani Isra>’il, Kahfi,
Maryam, Ta>ha> dan Anbiya>’ termasuk su>rat-su>rat yang
diturunkan di Mekah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia
menyebutkan su>rat-su>rat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn Wahb,
dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata: “Aku mendengar Rabi’ah ditanya orang,
‘mengapa su>rat Baqarah dan Ali> ‘Imra>n
didahulukan, padahal sebelum kedua su>rat itu telah
diturunkan delapan puluh sekian su>rat Makki,
sedang keduanya diturunkan di Medinah?’ Ia menjawab: ‘Kedua su>rat itu memang didahulukan dan Qur’an dikumpulkan menurut
pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya: ‘Ini adalah
sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.’
Ibnul Hisar mengatakan: “Tertib su>rat dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu.
Rasulullah mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini di tempat ini.’ Hal tersebut telah
diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti
ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau
menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.”
Dengan demikian, tetaplah bahwa
tertib su>rat-su>rat itu bersifat tauqi>fi>, seperti
halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar ibnul Anbari menyebutkan: “Allah telah
menurunkan Qur’an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara
berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah su>rat turun
karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang
yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi saw. di
mana su>rat dan ayat
tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan su>rat-su>rat, seperti
halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Qur’an, seluruhnya berasal dari Nabi
saw. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu su>rat atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan Qur’an.”
Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan tertib su>rat seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauh} Mah}fu>z}, Al-Qur’a>n sudah menurut tertib ini. Menurut tertib ini pula
Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari
Jibril itu. Nabi membacakan di hadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun
kewafatannya sebanyak dua kali, dan ayat yang terakhir kali turun adalah su>rat Al-Baqarah
ayat 281. Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di
antara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
Termasuk ke dalam golongan ini, Nasr
Hamid Abu Zaid, seorang ulama kontemporer. Menurutnya, urutan su>rat dalam
mushaf al-Qur’a>n adalah tauqi>fi>, karena
pemahaman ini sesuai dengan gagasan teks yang ada di lauh} mah}fu>dz}.
2.
Ijtiha>di>
Dikatakan bahwa tertib su>rat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di
dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul,
yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddaththir, lalu Nu>n, Qalam, kemudian Muzzammil,
dan seterusnya hingga akhir su>rat Makki dan Madani. Dalam mushaf Ibn
Mas’ud yang pertama ditulis adalah su>rat Baqarah,
kemudian Nisa>’ dan kemudian Ali> ‘Imra>n. Dalam mushaf
Ubai yang pertama ditulis ialah Fatih}ah, Baqarah, kemudian Nisa>’ dan
kemudian Ali> ‘Imra>n. Dalam
mushaf Ibn Asytah memasukkan su>rat Anfa>l dan Taubat
dalam as-sab’ut} t}iwa>l dan tidak
memisah keduanya dengan basmalah.
Diriwayatkan, Ibn Abbas berkata:
“Aku bertanya kepada Uthman yang mendorongmu mengambil Anfa>l yang
termasuk kategori matha>ni dan Bara>’ah yang
termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu
tuliskan di antara keduanya Bismilla>hir rah}ma>nir rah}i>m, dan kamu
pun meletakkannya pada as-sab’ut} t}iwa>l (tujuh su>rat panjang)?
Uthman menjawab: Telah turun kepada Rasulullah su>rat-su>rat yang
mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa
orang penulis wahyu dan mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini pada su>rat yang di
dalamnya terdapat ayat anu dan anu.’
Riwayat lain menambahkan, Su>rat Anfa>l termasuk su>rat pertama yang turun di Madinah sedang su>rat Bara>’ah termasuk su>rat yang terakhir diturunkan. Kisah dalam su>rat Anfa>l serupa dengan
kisah dalam su>rat Bara>’ah, sehingga
aku mengira bahwa su>rat Bara>’ah adalah
bagian dari su>rat Anfa>l. Dan sampai
wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa su>rat Bara>’ah merupakan
bagian dari su>rat Anfa>l. Oleh
karena itu, kedua su>rat tersebut aku gabungkan dan di
antara keduanya tidak aku tuliskan Bismilla>hir rah}ma>nir rah}i>m serta aku
meletakkannya pula pada as-sab’ut} t}iwa>l.
3.
Tauqi>fi> dan Ijtiha>di>
Dikatakan bahwa sebagian su>rat itu
tertibnya tauqi>fi> dan sebagian lainnya berdasarkan
ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib
sebagian su>rat pada masa Nabi saw. Misalnya,
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’ut} t}iwa>l, al-hawamim dan al-mufas}s}al pada masa
hidup Rasulullah.
Diriwayatkan,
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اقراوا
الزهروين البقرة و ال عمران
“Bahwa Rasulullah berkata:
Bacalah olehmu dua su>rat yang
bercahaya, Baqarah dan Ali> ‘Imra>n.”
Diriwayatkan pula,
انه كان اذا اوى الى فراشه كل ليلة جمع كفيه ثم
نفث فيهما فقرا قل هوالله احد و المعوذتين
“Bahwa jika hendak pergi ke
tempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian
meniupnya lalu membaca Qul huwalla>hu ah}ad dan mu’awwidhatain.”
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian su>rat-su>rat atau sebagian
besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat tauqi>fi>.” Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan hadith
Huzaifah as-Saqafi yang di dalamnya antara lain termuat:
“Rasulullah berkata kepada kami:
‘telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur’an,
maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada
sahabat-sahabat Rasulullah: Bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an? Mereka
menjawab: Kami membaginya menjadi tiga su>rat, lima su>rat, tujuh su>rat, sembilan su>rat, sebelas su>rat, tiga belas
su>rat, dan bagian
al-mufas}s}al dari Qa>f sampai kami
khatam.” Kata Ibn Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukkan bahwa tertib su>rat-su>rat seperti
terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib su>rat pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun mungkin juga bahwa yang telah
tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufas}s}al, bukan yang
lain.” Wallaahu a'lam bishshowab