KEMULIAAN KAUM INTELEKTUAL DALAM PERADABAN ISLAM
Islam telah
meletakkan para intelektual dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan
sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan
umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi,
intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan
kondisi umat.
Allah SWT
menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya
untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab. Allah berfirman :
·
Allah memberikan hikmah kepada
siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah
diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran, kecuali ulul albab. (QS: 2:269)
·
Mereka adalah orang yang bisa
mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS: 12:111)
·
Mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk dari Allah dan mereka itulah ulul albab (QS: 3:7)
·
Apakah orang yang bangun di
tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat,
dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Samakah orang yang berilmu seperti itu dengan
orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali
ulul albab (QS: 39:9)
Karakteristik
orang-orang yang berilmu (al-'ulama) adalah mereka yang takut kepada
Allah Rabbul 'Alamin (QS. Fathir:28). Mereka adalah sosok mandiri dan
tidak bergantung pada penghambaan kepada selain Allah. Mereka kuat karena
berpijak pada kalimat tauhid yang Allah gambarkan sebagai kalimat thayyibah;
akarnya menghujam kuat ke bumi, dan cabangnya menjulang ke langit (QS.
Ibrahim:24-25). Kemandirian mereka juga tercermin dalam sikap yang membenci
pada taklid buta, yakni mengikuti atau membeo pada sesuatu yang tidak
berdasarkan ilmu, melainkan pada kejahilan, emosionalitas, dan inferioritas
(QS. Al-Israa':36). Mereka yang beramal tanpa ilmu adalah orang-orang yang
mengekor pada akal dan hawa nafsu.
Islam
mengajarkan bahwa kekuatan dan kemandirian harus dilandaskan oleh ilmu dan
iman. Keduanya harus berjalan seimbang, tidak pincang dan berseberangan.
Kemampuan membaca ayat-ayat kauniyah (alam semesta) harus diiringi
dengan kemauan untuk berpegang teguh pada ayat-ayat qauliyah
(Al-Qur'an). Karena itu, dalam surah Al-'Alaq (1-5) Allah memerintahkan
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan umatnya untuk membaca (iqra')
dengan nama Allah Yang Maha Menciptakan (bismirabbikalladzi khalaq).
Aktivitas membaca, menelaah, meneliti, dan mengamati harus diiringi dengan
menjadikan Allah sebagai sandaran. Karena betapa banyak orang-orang yang diberi
kemampuan akal untuk membaca, namun kemudian ingkar terhadap Rabb Yang
Menciptakan akal manusia tersebut. Sehingga mereka terjebak pada paham yang
mendewakan akal, menganggapnya sebagai anugerah Tuhan yang bebas merdeka.
Kekuatan akal mereka rapuh, karena bergantung pada keterbatasan manusia yang
fana. Mengenai keunggulan peradaban Islam, Prof. H.A.R Gibb mengatakan, "Islam
is much more than a system of theology, it's a complete civilization.(Islam
lebih dari sekadar ajaran tentang theologi, Islam adalah peradaban yang
lengkap)".
Sejarah
mencatat, peradaban Islam pada masa lalu tak lepas dari peran ulama, yaitu
mereka yang berilmu, mencintai ilmu, dan menebarkan ilmu dengan landasan
kalimat thayyibah. Sehingga ilmu yang didapat bisa menguatkan ketakwaan, bukan
memunculkan sikap ketakabburan. Jika ilmu sudah menuntun mereka pada ketakwaan,
maka Allah berjanji akan senantiasa memberikan ilmu-Nya dan mengajarkan
ilmu-Nya yang lebih luas lagi (QS.Al-Baqarah:282). Abdullah bin Mas’ud pernah
mengatakan,”Cukuplah ilmu membawa ketakutan kita kepada Allah...”
Umat membutuhkan
intelektual yang sanggup berdiri di hadapan para penjajah untuk membela mereka
dengan pengetahuan yang benar. Umat membutuhkan intelektual yang berani
berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat membutuhkan intelektual sejati
yang memahami ideologi Islam dan bersama umat memperjuangkan penegakannya.
Merekalah Intelektual sejati (ulul albab) yang dicirikan dengan
karakter-karakter di bawah ini:
1.
Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7) dan
memikirkan ciptaan Allah (QS 3:190).
2.
Mampu memisahkan yang jelek (salah) dari yang
baik(benar), kemudian mereka memilih yang baik, walaupun dirinya harus
sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan
oleh banyak orang (QS 5:100)
3.
Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang
lain. Mereka mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal
(QS 39:18)
4.
Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki
masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat (QS 14:52).
5.
Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah
(QS 5:179 dan 65:10)
POSISI PEREMPUAN DALAM PERADABAN ISLAM
Di dalam Islam
masalah perempuan, keluarga dan generasi adalah mata rantai tegaknya sebuah
peradaban Islam yang luhur. Dari dulu Islam tidak pernah menganggap isu
perempuan sebagai "blok monolitik" atau isu parsial yang terkait
kelompok kepentingan sepihak. Bahkan menurut Esposito, perempuan Muslim saat
ini pun berada di pusat perang budaya di banyak negeri muslim. Mereka dipandang
sebagai “pengemban budaya”, “pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga”,
“benteng terakhir” melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat. Mengenakan
jilbab bukan hanya menjadi lambang kesopanan, melainkan lambang pertahanan
Islam. Sehingga perempuan Muslim memegang peranan penting dalam mempertahankan
keluarga, generasi dan sekaligus identitas masyarakat Muslim. [1]
Akhirnya
perempuan di dalam Islam tidak memerlukan gagasan kesetaraan gender atau
emansipasi atau yang semisalnya, karena ideologi Islam sesungguhnya telah
memberi keadilan dan kemuliaan hakiki bagi kaum perempuan.
Islam sedari
awal telah memberi perempuan posisi yang bergengsi, dan posisi inilah yang
berhak dia peroleh sebagai manusia yg bermartabat. Posisi itu adalah ummu wa
robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Selain itu di dalam Islam,
perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam memberikan hak-hak yang
sama kepada perempuan seperti halnya pada laki-laki, karena perempuan adalah
saudara kandung laki-laki. Islam pun menetapkan hukum-hukum yang memelihara hak-hak
perempuan, menjaga kemuliaan, dan menjaga potensi/ kemampuannya.
“Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.. At Taubah [9] : 71).
Oleh karena itu
bagi seorang muslimah, standarisasi tertinggi dalam kesuksesannya adalah
berpegang teguh dengan nilai-nilai syari’ah. Sebaliknya semakin ia terjauh
dengan syari’ah maka kehancuranlah yang akan dia peroleh.Terikatnya muslimah
dengan aturan-aturan Allah bukan menjadikan seorang muslimah terpinggirkan dan
kehilangan eksistensi. Karena Allah telah membagi peran antara laki-laki dan
perempuan.
Di dalam
peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah
peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya.
Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah SWT
yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia
secara adil dan seimbang
1.
Kontribusi pertama, adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka
sebagai ibu ataupun istri. Di
balik diri seorang ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa
dan atau seorang istri yang luar biasa. Andaikata Imam Syafii tidak memiliki
ibu yang tangguh, barangkali si anak
yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak
menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu,
sekalipun mereka didera oleh kemiskinan. Demikian juga andaikata
istri-istri Al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sigap mengambil peran dan tanggung jawab rumah
tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu
akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika
mereka sering harus mengembara
menghadiri majelis-majelis ilmu.
2.
Kontribusi kedua, adalah peran para perempuan secara
langsung,
yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban. Tidak ada
yang meragukan kontribusi istri-istri Nabi Muhammad SAW maupun para shahabiyah bagaimana para
perempuan agung itu demikian tekun dan cerdas dalam mengikuti pendidikan
Rasulullah SAW hingga tak sedikit diantara mereka yang menjadi ahli
hadits. Para shahabiyah juga dikenal sebagai sosok perempuan yang berani
memberikan kritik kepada para penguasa.
Dalam sejarah banyak diceritakan kaum perempuan yang di antaranya sampai
harus bepergian secara terencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits
dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi. Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu
bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi,
menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini
memang berasal dari Rasulullah.
Kondisi yang memungkinkan itu semua terjadi memang
mungkin sangat unik, sebuah kondisi yang hanya terjadi ketika keamanan dan
kehormatan perempuan terjaga di dalam masyarakat Islam, baik secara kultural
oleh masyarakat, maupun secara hukum oleh aparat Daulah Khilafah. Syariat Islam yang dituduhkan
Barat sebagai menindas kaum perempuan itu ternyata tidak menghalangi sedikitpun
peran perempuan dalam memajukan peradaban.
KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM PERADABAN ISLAM
Perempuan : Ibu dan Sekolah Pertama bagi Generasi
Allah SWT
menciptakan perempuan sebagai seorang ibu untuk membesarkan anak-anaknya,
mendidik mereka untuk mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, dan merawat
anak-anaknya agar mereka bisa menjadi fondasi bagi sebuah keluarga terhormat. Ibu memberikan perawatan, pengasuhan pada
anak-anaknya dengan kasih sayang; dimana semua itu terhubung pada peran yang
Allah SWT telah siapkan untuknya. Sosok ibu adalah inti dari bangunan sebuah
keluarga. Dia adalah fondasi dan pilar bagi keluarga Muslim yang terbangun di
atas aqidah Islam. Jika ia baik, maka
anak-anaknya akan menjadi kuat dan lurus. Namun jika ia rusak maka rumah
tangganya akan rapuh bahkan hancur.
Bahkan sosok Ibu
adalah tulang punggung bagi kaum laki-laki. Pencetak generasi pahlawan dalam
sebuah peradaban seperti halnya sosok Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali -semoga
Allah SWT meridhai mereka-. Dan banyak contoh lain sepanjang sejarah Islam.
Sehingga tugas
seorang perempuan tidaklah mudah dan juga bukan peran yang sederhana, karena
dengan tangannya ia akan membentuk generasi, pelaku masa depan. Generasi yang
tidak takut oleh apapun dan siapapun kecuali yang kepada Allah SWT. Generasi
visioner, dimana visi mereka mampu menembus ke atas langit ketujuh yang lebar
meliputi bumi, menuju Surga.
Umat ini sangat
membutuhkan generasi pemimpin yang akan mengeluarkan negeri ini dari kegelapan
menuju cahaya. Dan kita membutuhkan seorang ibu yang mencetak pemimpin –
pemimpin besar itu. Kita membutuhkan seorang istri yang akan berdiri di samping
suaminya pada masa Jihad dan saat melakukan dakwah. Sungguh, kita membutuhkan
Anda, produser pahlawan besar. Sosok yang sabar menanggung beratnya beban
dakwah dan kesulitan, dimana seluruh upayanya untuk memudahkan Jihad dan dakwah akan membawanya lebih dekat kepada
Allah Yang Maha Perkasa dengan mematuhi Perintah-Nya.
Umat ini membutuhkan sosok-sosok perempuan seperti:
·
Khadijah, Ummul Mukmini, istri Nabi (saw), yang juga merupakan
sahabatnya. Dimana Khadijah selalu membela Nabi Saw, percaya kepada-nya ketika
orang lain meragukan dia. Dan dia adalah ibu yang terhormat untuk anak-anaknya
dan ibu yang benar untuk orang-orang mukmin.
·
Aisyah, Ummul Mukminin, seorang ibu dan ulama besar dengan pengetahuan
dan fiqh Islam yang luar biasa
·
Sumayyah, seorang ibu dengan keberanian luar biasa, martir pertama dalam
Islam
·
Nusaibah binti Ku’ab, seorang ibu Mujahidah, semoga Allah meridloinya
Masih sangat
banyak contoh-contoh cemerlang dan role model seorang ibu sepanjang masa
keemasan Kekhilafahan Islam. Sosok Ibu yang telah menghabiskan banyak malam
tanpa tidur dengan bayi mereka, merawat mereka. Menanamkan cinta kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya di dalamnya, menyiapkan mereka untuk melaksanakan risalah
Allah SWT. Dan mencetak anak-anak mereka menjadi generasi pemimpin, pejuang di
masa depan yang berjuang meninggikan kalimat Allah SWT.
Sayangnya saat
kaum perempuan dijauhkan dari peran terhormat mereka sebagai ibu, maka
perempuan pun menjadi alat kehancuran, sehingga kehilangan jati dirinya dan
kehilangan amanah yang diberikan kepadanya sebagai Ibu Muslim yang takut akan
Allah SWT
Kapitalisme
Barat telah mengisi kaum perempuan dengan gagasan kebebasan yang merusak
rumah-rumah umat, dan mereka memfasilitasi ide-ide ini sampai ke anak-anak
kita. Akibatnya masyarakat menjadi rusak, zina dan korupsi tersebar luas, serta
penyalahgunaan narkoba semakin luas pada generasi muda kita. Putri-putri kita
mulai menjual tubuh mereka dengan cara yang sama seperti pemilik budak menjual
budak mereka di pasar. Bahkan anak muda umat telah berani mulai berdandan
layaknya individu transgender. Muncullah generasi pragmatis, hedonis yang
terbelenggu oleh peradaban yang rendah, generasi yang menjadikan Barat sebagai
idola dan mentor mereka. Sementara budaya Barat yang rendah justru menjadi
cita-cita dan aspirasi mereka.
Ironis, saat ini
perhatian terbesar seorang ibu pada anaknya adalah justru bagaimana agar sang
anak mencapai gelar untuk pekerjaan dan standar hidup mewah. Ia tinggalkan
penanaman nilai Taqwa dalam hati anak-anak mereka, karena pelajaran agama hanya
jadi sekedar asesoris. Ia terlupa bahwa dunia ini hanya sementara, seperti
sabda Rasulullah :
«الدُّنْيَا دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ، وَمَالُ مَنْ لَا مَالَ
لَهُ، وَلَهَا يَجْمَعُ مَنْ لَا عَقْلَ لَهُ»أخرجه أحمد
“Dunia itu
adalah rumah bagi orang yang tidak punya rumah, dan harta bagi orang yang tidak
mempunyai harta, untuknya lah orang yang tidak berakal itu dikumpulkan”
Banyak ibu yang
kini melalaikan hubungannya dengan Sang Pencipta (al-Khaliq). Dunia
telah mengambil alih kaum ibu, sehingga mereka tidak lagi terlalu peduli dalam
mengajarkan dasar-dasar agama kepada anak-anaknya. Mengabaikan kewajiban
anak-anaknya untuk sholat, puasa dan berbusana Muslim, dengan menggunakan usia
muda mereka sebagai alasan untuk menikmati masa kecil dan tahun-tahun remaja
mereka. Tanpa menyadari bahwa mata musuh-musuh Allah tak pernah tidur terus
memonitor lekat apa yang terjadi pada kaum Ibu dan anak-anak umat Islam,
sehingga mereka bisa terus mengeksekusi rencana-rencana mereka pada kaum Ibu
dan generasi muda. Rezim-rezim pemerintahan hari ini dengan kurikulum
pendidikan mereka telah didesain untuk menjauhkan Islam dari anak-anak kita
demi memastikan eksistensi dan dominasi
mereka terhadap generasi Muslim.
Intelektual Muslimah: Konstruktor Peradaban Islam
“Muslim
Women scholars are part of our history, And by looking at the history we can
bring muslim society closer than to what it once was” (Mohammad Akram Nadwi)
Dr. Mohammad Akram
Nadwi, adalah seorang peneliti di Oxford Centre for Islamic
Studies yang telah menulis lebih dari 25 buku, dimana ia sendiri terkejut pada penemuannya. Ketika ia memulai
proyek penelitian tentang ulama hadits perempuan, ia
menduga hanya akan menemukan 20 atau
30 ulama perempuan, cukup untuk mengisi
sebuah kamus biografi bervolume tunggal.
Namun setelah 15 tahun penelitian itu berjalan ternyata ia menemukan lebih dari 8.000 ulama perempuan,
dan kamus biografinya sekarang
sudah mencapai 40 volume. Dr. Akram yakin angka ini
belum menunjukkan angka sesungguhnya ulama perempuan sepanjang sejarah Islam. “If
I can find 8,000 in the sources,” he notes, “it means that there were many,
many more than that." [2]
Akhirnya
Muhammad Akram Nadwi menulis buku Al-Muhaddithat:
The Women Scholars in Islam. Buku ini
terbitkan di London oleh Oxford Interface Publications; 2007. Buku itu
menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para
muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.
Buku itu dipenuhi
kisah-kisah tentang para perempuan yang di antaranya sampai harus bepergian
secara terrencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator
yang merangkai sanad sampai ke Nabi.
Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki
ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan
membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari
Rasulullah.
Sejak masa Nabi
Muhammad saw., kaum perempuan telah berpartisipasi dalam menyebarkan ilmu. Ibnu
Hajar Al-'Asqalani dalam kitabnya Al-Ishâbah fi Tamyîz Ash-Shahâbah
menulis biografi 1543 shahabiyah, di antara mereka ada ahli fikih, ahli hadits,
dan ahli sastra. Beberapa shahabiyah tercatat sebagai guru bagi para sahabat
maupun tabi'in, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Ummu Habibah, Hafshah,
Asma' binti Yazid binti As-Sakan, dan sebagainya. Aisyah adalah seorang
perempuan ahli fikih, sampai Ibnu Hajar Al-'Asqalani mengatakan,
"Seperempat hukum syar'i diambil darinya." Hisyam bin 'Urwah
mengatakan, "Tidak pernah saya melihat seorang pun yang lebih mengetahui
masalah fikih, pengobatan, dan sya'ir selain daripada Aisyah." Di antara
sahabat yang menjadi muridnya adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abdullah
bin Umar, Abu Musa Al-Asy'ari, Abdullah bin Abbas, dan sebagainya. Sementara
itu, di antara tabi'in yang menjadi muridnya adalah Masruq bin Al-Ajda', Sa'id
bin Al-Musayyib, Mujahid, Shafiyah binti Abu Ubaid, dan sebagainya.
Perempuan dari
kalangan tabi'in yang terkenal keilmuan dan kewara'annya misalnya adalah
Fathimah binti Al-Husain bin Ali. Dalam melakukan kodifikasi terhadap Sirah
Nabawaiyah, Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam banyak bersandar pada riwayat
darinya. Dari kalangan tabi'ut tabi'in, di antaranya adalah
Nafisah binti Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali. Ia rajin menghadiri
majelis Imam Malik bin Anas di Madinah serta terkenal keilmuan dan
keshalihannya. Setelah pindah ke Mesir, ia membuka majelis ilmu yang dihadiri
oleh para ulama yang terkenal pada zamannya. Di antara mereka, ada Imam
Asy-Syafi'i yang sering mengunjunginya dan saling bertukar ilmu dengannya dalam
masalah fikih dan ushuluddin. Perempuan lainnya yang memiliki kontribusi dalam
membangun tradisi keilmuan Islam adalah Zainab binti 'Abbas Al-Baghdadiyah.
Perempuan yang ahli dalam fikih dan luas ilmunya ini sering menghadiri
majelis-majelis Ibnu Taimiyah.
Lalu, Syahdah
binti Al-Abari Al-Katib yang terkenal menguasai ilmu hadits. Banyak ulama
belajar kepadanya. Di antaranya adalah Ibnul Jauzi dan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Lalu, Ummu Habibah Al-Ashbahaniyah yang menjadi salah satu guru Al-Hafizh
Al-Munzhiri. Dari Ummu Habibah, Al-Munzhiri mendapatkan ijazah. Lalu,
Fathimah binti 'Ala'uddin As-Samarqandi, istri dari Syaikh 'Ala' Al-Kisa'i. Ia
adalah seorang yang ahli dalam bidang fikih.
Sementara itu di
wilayah Islam bagian barat, Fathimah Al-Fihriyyah Ummul Banin membangun
Universitas Al-Qurawiyyin di Fez pada abad III H. Universitas ini menjadi
universitas Islam pertama di Dunia Islam, bahkan di seluruh dunia. Fathimah
Al-Fihriyyah adalah seorang alim yang dihormati banyak orang.
Ahli hadits
perempuan yang terkenal di Andalusia adalah Ummul Hasan binti Sulaiman. Dia
meriwayatkan hadits dari Baqi bin Mukhlid, baik dengan mendengarkan hadits
darinya maupun membacakan hadits kepadanya. Ketika menunaikan haji, dia bertemu
dengan para ulama Hijaz serta mendengarkan hadits dan fikih dari mereka. Dia
kembali lagi ke Andalusia, kemudian menunaikan haji untuk kedua kalinya. Di
Mekah, dia meninggal. Di antara ahli hadits dan fikih dari kalangan perempuan
di wilayah Islam bagian barat adalah Asma' binti Asad bin Al-Furat. Dia belajar
kepada ayahnya yang menjadi teman Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas.
Asma' terkenal sebagai perawi hadits dan ulama fikih madzhab Abu Hanifah.
Sementara itu,
di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak perempuan muslimah
yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan. Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu
hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang
rinci. Namun cukuplah untuk menyebut
nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang perempuan astronom yang dijuluki
“al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan
Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).
Dari paparan
singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa laki-laki muslim dan perempuan
muslimah sepanjang sejarah selalu bekerjasama dalam membangun keilmuan dan
peradaban Islam. Tidak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah-masalah
prinsip dan sama sekali tidak ada diskriminasi laki-laki terhadap perempuan,
seperti yang sering dituduhkan Barat terhadap Islam.
Intelektual Muslimah: Ibu Generasi (Ummu Ajyaal)
Dalam kaitannya
dengan Generasi, peranan kaum intelektual Muslimah sangat penting sebagai
bagian integral dalam menjamin masa depan generasi cemerlang. Karena perempuan
di mata Islam memiliki peranan suprastrategis dalam melahirkan dan mendidik
generasi, baik itu sebagai ibu dari anak-anaknya di rumah (ummu wa robbatul
bait) maupun sebagai ibu generasi (ummu ajyal) dalam makna luas. Di
tangan kaum perempuan lah generasi terbaik atau khairu ummah akan terbentuk.
Sebagaimana firman Allah SWT : “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Seperti yang
telah digambarkan sebelumnya bahwa kaum perempuan secara individual bisa
berkontribusi langsung dan tidak
langsung dalam membangun peradaban yang luhur. Begitupula dengan intelektual
Muslimah. Hanya saja dengan kapasitas keilmuannya, intelektual muslimah
memungkinkan untuk lebih mampu berkontribusi secara langsung sebagai ibu
generasi dalam ruang lingkup yang luas di berbagai bidang. Berikut adalah
peran intelektual muslimah secara individual, dimana hukum-hukum Syara’ telah
menggariskan peran – peran tersebut :
i.
Peran mendidik generasi di ruang domestik sebagai ummu
wa robbatul bayt yakni peran sebagai ibu dan istri di rumah. Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa inilah peran mendasar yang diberikan oleh Islam
kepada kaum perempuan. Intelektual Muslimah tidak boleh mengabaikan peran ini
ii.
Peran mendidik generasi di ruang publik sebagai ibu generasi
(ummu ajyal), intelektual muslimah terus melakukan pembinaan di
tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat
dibina perilakunya dengan ilmu yang dimilikinya, dipraktikkan dan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.
Peran ini terbagi dua, yakni :
·
peran membina generasi dengan tsaqofah Islam dalam rangka
membentuk dan menguatkan kepribadian Islam pada generasi. Bagi kalangan
intelektual muslimah hari ini, bisa diaktualisasikan dengan menyampaikan Islam
kepada mahasiswa dan generasi muda yang ia bina.
·
peran mencerdaskan generasi dengan bidang ilmu tertentu
yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dimana mengamalkan ilmu yang bermanfaat
dan mengajarkannya adalah sebuah keutamaan dalam Islam, selama ilmu itu tidak
bertentangan dengan aqidah Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya,
maka Allah akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya.”
Intelektual Muslimah: Pengemban Dakwah dan Pejuang Islam
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [terjemah makna Qur'an Surat
An-Nahl (16) : 125]
Intelektual
Muslimah, apapun bidang disiplin ilmunya, tidak boleh melalaikan peranan
utamanya sebagai seorang da’i/ da’iyah
yang melakukan perbaikan dan amar makruf nahyi munkar di tengah masyarakat.
Bahkan peran sebagai da’iyah ini
harus selalu melekat pada jati diri intelektual Muslim karena merupakan
kewajiban yang digariskan oleh Allah SWT kepada seluruh hambaNYA, baik
laki-laki maupun perempuan. Ibadah sebagai missi penciptaan manusia itulah
fokus dari tatanan masyarakat Islam
“Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.“ (QS.
Al-Dzariyyat:56).
Aktivitas amar
makruf nahi munkar ini harus dilakukan terutama kepada rekan sejawat
intelektual, mengingat lingkungan pendidikan hari ini masih diwarnai oleh
ilmu-ilmu dan kultur sekuler. Intelektual Muslimah yang telah memperoleh
kesadarannya dengan baik wajib menjadi da’iyah di komunitasnya.
Dari paradigma ini bisa dipahami bahwa hakikat misi membebaskan generasi
adalah dakwah atau amar makruf nahi munkar. Mengemban dakwah bukanlah sekedar satu
aksi saja dengan satu aturan syariah untuknya, tapi merupakan sekelompok besar
tindakan. Maka mengemban dakwah memiliki banyak aturan Syariat yang melekat padanya,
dan kita akan menyebutkan beberapa darinya:
1. Menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar adalah tugas atas
perempuan sebagaimana merupakan tugas atas para laki-laki, masing-masing
menurut kemampuan mereka.
2. Meminta tanggung jawab para
penguasa adalah bagian dari menyuruh yang Ma'ruf dan melarang yang Munkar. Ini adalah kewajiban atas para
pria maupun perempuan.
3. Bekerja untuk kembalinya
Khilafah yang memerintah dengan semua yang Allah SWT. wahyukan, dan dalam
rangka mencapai ini, membuat rakyat sadar akan aturan-aturan Islam dan untuk
berjuang melawan berbagai konsep kufur dan kesalahan adalah Fardhu, baik atas
laki-laki maupun perempuan.
4. Pendirian kelompok atau
partai yang didirikan atas dasar ideologi Islam, yang mengambil aksi politik.
Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok seperti itu adalah tugas atas
para pria maupun perempuan.
Semua perkara
yang didaftar di atas adalah dikandung dalam teks-teks Syari'ah, yang mencakup
para pria dan perempuan dalam penunjukkannya. Selain itu, untuk aturan-aturan
umum di mana para pria dan perempuan sama-sama diwajibkan, terdapat beberapa
area yang spesifik untuk laki-laki, dan beberapa yang spesifik untuk para
perempuan.
Beberapa hal
yang khusus untuk para perempuan adalah;
1.
Adalah terlarang bagi seorang perempuan untuk
meninggalkan rumahnya tanpa izin walinya, baik walinya itu ayahnya, saudara
laki-lakinya, suaminya atau pamannya, dll.
2. Seorang perempuan dilarang
pergi ke tempat-tempat privat di mana para laki-laki asing (Non-Mahram) berada,
jika dia tidak didampingi oleh suaminya atau seorang “Mahram” (sanak keluarga
yang tidak boleh dinikahi).
3. Ketaatan kepada Amir adalah
kewajiban di dalam batasan Imara-nya (kepemimpinan), baik dia sedang menjadi
kepala tentara, atau seorang penguasa, atau Amir perjalanan atau seorang
pemimpin partai, sementara ketaatan kepada ayah dan ketaatan kepada suaminya
juga wajib. Jika seorang perempuan bergabung dengan suatu partai, dan si
pemimpin partai memerintah dia untuk mengerjakan tindakan tertentu, dan walinya
memerintahkan dia untuk mengerjakan aksi yang lain, dalam kasus ini dia harus
mematuhi walinya, selama dia tidak memerintahkan dia untuk melakukan perbuatan
yang jelas berdosa, atau diketahui oleh dia (walinya) sebagai perbuatan dosa.
Dalil-dalil bagi
tindakan menyerukan melawan kemunkaran adalah sangat jelas. Allah SWT. telah
meminta itu bahkan jika itu mengakibatkan kesyahidan, mengindikasikan
pentingnya aksi itu. Rasulullah SAW. bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah
Hamzah dan orang yang mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiran untuk
menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang munkar, dan dia terbunuh.” (Hadits
Riwayat al-Hakim).
Allah SWT. telah
mengancam Kaum Muslimin dengan hukuman jika mereka tetap diam tentang
kesalahan, dan mereka tidak beraksi untuk mengubahnya dan menyingkirkannya.
Diriwayatkan oleh Hudzaifa bin Al-Yaman bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “(aku
bersumpah) demi Dzat yang Jiwaku ada di tangan-Nya, kalian harus menyuruh
kebenaran dan melarang kesalahan, jika tidak Allah akan mengirimkan atas kalian
hukuman dari-Nya, kemudian kamu berdoa pada- Nya dan Dia tidak akan menjawabmu.”
(Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidhi).
Rasulullah SAW.
bersabda, “Jika rakyat melihat seorang
opresor melakukan opresi dan tidak melakukan apapun untuk menghentikannya dari
tindakannya, maka segera Allah SWT. akan menghukum mereka.” (Hadits Riwayat
Tirmidzi).
Rasulullah SAW.
bersabda, “Allah tidak akan menghukum
orang umum karena pekerjaan (dosa) sebagian orang, hingga mereka melihat
kemunkaran di antara mereka sendiri dan mereka mampu melarangnya tapi mereka
tidak melakukannya. Jika mereka melakukan itu Allah akan menghukum sebagian
orang itu dan orang umum.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Pada masa
Khalifah Rasyidah, Umar bin Khattab ra., Umar memberikan Khutbah di dalam
masjid, membatasi Mahar. Seorang perempuan berbicara di dalam masjid dan
mengoreksi opini Umar ra. tentang Mahar, menanyainya bagaimana dia bisa
membatasi sesuatu ketika Allah SWT. telah membolehkannya. Umar ra setuju dengan
perempuan itu bahwa dia benar dan Umar salah, dan dia tarik kembali
pengumumannya. Perempuan ini tidak takut pada Umar ra., meskipun dia adalah
seorang Khalifah. Ketika dia memahami bahwa Umar salah, dia memprotesnya,
memenuhi fardhu yang ditetapkan Allah SWT. atas kita.
Terdapat banyak
contoh lain kekuatan para perempuan Muslim dalam berbicara untuk menyuruh yang
ma'ruf dan melarang yang munkar di publik maupun di privat. Asma binti Abu Bakar
ra. terus melindungi Deen ini, menyatakan kebenaran, bahkan hingga dia seorang
perempuan tua ketika dia menentang pemerintah Hajjaj bin Yusuf, Ummu Imaroh
menjadi salah satu mujahidah pelindung
rasul di perang Uhud, dan masih banyak teladan yang lain. (ustadzah faizaturrasyiidah)
[1] John L.
Esposito, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan
Barat, Mizan Pustaka, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar