AQJ, anak
Ahmad Dhani, yang masih berusia 13 tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan di tol Jagorawi yang memakan 7
korban tewas dan 9 lainnya luka-luka .
AQJ mengemudikan sendiri mobil sedan Lancer dengan kecepatan tinggi
sehingga kehilangan kendali. Mobilnya menubruk
pembatas jalan dan menyeruduk Granmax yang melaju dari arah berlawanan.
Kasus kecelakaan ini mengundang kontroversi yang
hangat karena melibatkan anak di bawah umur, dengan jumlah korban tidak
sedikit. Beberapa pihak menuding
orangtua AQJ adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam kasus
ini.
Kadiv Pengawasan dan Monev Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI),
M Ihsan menilai Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul ini
merupakan korban salah asuh orang tua. "Orang tuanya tidak memahami
ada hal yang sudah dibolehkan untuk anak-anak dan yang yang belum, baik secara
hukum, maupun nilai dan norma," katanya (Republika online, 08/09/2013).
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia merekomendasikan kasus kecelakaan yang melibatkan
AQJ dapat diselesaikan di luar jalur hukum jika ada kesepakatan antara keluarga
korban dan pelaku.
"Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban (antaranews, 12/09/13).
"Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban (antaranews, 12/09/13).
Humas Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi, mengatakan pendamping
Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan siap mendampingi AQJ jika setelah pulih ia
dihadapkan pada proses hukum. Pendampingan ini dilakukan agar AQJ
mendapatkan keadilan yang menjunjung tinggi asas restoratif dan hak-hak anak. Ini sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Tempo.co.id, 16/09/13).
Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Kasus AQJ mengangkat kembali pembahasan tentang
penyelesaian masalah anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang pernah mengemuka
beberapa waktu lalu pada kasus AAL, anak yang mencuri sandal jepit di
Palu. Perdebatan yang muncul sama,
apakah anak layak untuk dijatuhi hukum pidana, atau masalahnya dapat
diselesaikan di luar pengadilan? Jawaban
masalah ini menjadi krusial karena data Komnas Perlindungan Anak
menyebutkan ada 6000-an
anak yang setiap tahunnya berurusan dengan hukum.
Paradigma Penyelesaian Kasus Pidana Anak
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan
hukum, telah disahkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam
UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut Anak dalam
kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Asas yang dianut dalam Sistem
Peradilan Anak di antaranya adalah: kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat
anak; kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.
Pasal 3 UU tersebut menyatakan, setiap anak dalam
proses peradilan pidana berhak di antaranya: a. Diperlakukan secara manusiawi
dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Dipisahkan dari orang
dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional; d. Bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup; dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,
serta wajib diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban
dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar
proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (http://www.setkab.go.id).
Pada prinsipnya pendekatan hukum
pada kasus ABH didasari dua asumsi, pertama : anak-anak dianggap belum
mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya
diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak
dengan orang dewasa. Hal ini didasari
asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak
dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya. Kedua
: bila dibandingkan dengan orang
dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina
dan disadarkan.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum yang
dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak. Pendekatan yang digunakan untuk penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai, prinsip, dan norma Konvensi Hak
Anak adalah pendekatan yang murni
mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan
kesejahteraan dengan intervensi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep ini,
pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut
restorative justice saat ini dianggap
lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini
merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan
pendekatan keadilan.
Konsep Keadilan Restoratif
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh
tahun yang lalu sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses
semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama
untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa
yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
dan diversi.
Diskresi adalah
kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku tetapi atas
dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91). Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan
oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan menghentikan proses
penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah atau
kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana keluar dari proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa syarat.
Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi juga
mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak
(minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai
Pemasyarakatan. Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi,
penyerahan kembali ke orang tua, kerja sosial selama 3 bulan dan pelayanan
masyarakat.
Program diversi dapat
menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode
sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan
anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain,
diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak
(protection child and fullfilment child rights based approuch).
Sasaran dari
proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut
pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni
bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti
pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek
materiil maupun aspek immateriil.
Dalam
penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), konsep pendekatan keadilan
restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak
anak. Keadilan restoratif setidak-tidaknya bertujuan untuk
memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak
dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang
melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum
matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum. Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan,
tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum
pidana (formal dan materil). Keadilan restoratif harus juga diamati dari segi
kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan, 2008 : 4)
Keadilan
restoratif ini dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan
restributif yaitu :
1. Memperhatikan
hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
2. Berusaha
memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
3.
Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga
korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
4.
Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
Kontroversi Keadilan Restoratif
Tidak semua kalangan sepakat dengan
paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH.
Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana
tanggal 21 Agustus 2012. Martina
mengungkapkan segi negatifnya sebagai berikut :
1.
Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap
dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi
seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah
sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non
elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi
memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan
yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancaman
pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi terhadapnya, maka dikuatirkan hal
itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya lagi.
2.
Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku
kejahatan yang mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal :
maraknya sindikat yang mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking). Mencopet adalah sama
dengan mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan
wajib untuk diupayakan diversi. Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader
(orang yang menyuruh melakukan), jika dalam
hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human trafficking). Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/
dikehendaki oleh ABH dan secara sadar ABH melakukan perintah si Dader
dengan kerjasama dan mengetahui serta mengkehendaki akibat yang ditimbulkan
dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi tidak
memberi efek jera. Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH
untuk melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir
dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam
keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan paradigma yang mendasarinya. Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk
mengurangi tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana
digantikan dengan prinsip keadilan restorasi.
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak
terus bertambah tiap tahunnya. Data
Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada
lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730
kasus.
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak
tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak anak. Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke
dalam kejahatan. Kemiskinan, kerusakan
moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak.
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal
anak selalu terpaku pada bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada anak. Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari
tindak kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus
ini. Ibarat anak berdiri di tepi jurang
tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru
semua orang berteriak. Sia-sia.
Definisi Anak
dalam Islam
Pendefinisian
anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum
Islam. Ini karena ketika anak sampai di
usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya
diperhitungkan sebagai pahala dan dosa.
Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Pendefinisian
anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak
yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Islam
mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh. Prof. Dr. Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam
bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya
masa kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh
ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan
haid. Rasulullah saw bersabda :
“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga :
dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa
(yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Kata yahtalima
adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam). Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh
telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab
sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.
Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat
diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman
dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa hingga ia
siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas perbuatannya
saat baligh. Ini berbeda dengan
pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak
usia 18 tahun. Pandangan ini membuat
kontradiksi pada diri anak. Di satu sisi
saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga
secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti
anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan
kondisi balighnya tersebut. Akibatnya secara
akal pikiran, ia masih jauh dari matang.
Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia
kejahatan.
Batas Tanggung Jawab Pidana Anak dalam Islam
Baligh
tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada
kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai
saat itu, seorang anak dikatakan telah
dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan
hukum syara’. Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam
bukunya Fiqh Anak, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat
al-wujub), serta kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Jika dia mentaati aturan, maka dia akan
memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena
sanksi. Semua yang dilakukan akan
dipertanggung jawabkan sendiri. Tidak
bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.
Begitupun di hadapan
hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai
pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang
dilakukannya. Dalam Islam, hal itu
adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga
mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.
Jika anak belum
baligh, Huzaemah T. Yanggo menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak seperti
ini tidak dapat dihukum dengan hukuman seperti orang dewasa. Ini dikarenakan asas dalam pemberian hukuman
tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang jelas dan
sempurna (benar-benar disengaja).
Anak kecil tidak
memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak pidananya, karena akalnya
belum sempurna. Kesadaran dan
pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang hakekat
kejahatan. Ia juga belum mampu memahami khithab
Syari’ secara sempurna. Karena itu anak tidak dijatuhi hukuman
pidana. Ini juga sesuai dengan hadist
Rasulullas saw :
“Diangkat pena dari
tiga golongan, dari yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia
dewasa dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Diriwayatkan pula
bahwa seorang pencuri dihadapkan pada Khalifah Utsman. Sebelum memutuskan hukum potong tangan,
Utsman memerintahkan untuk menyingkap sarung sang pencuri agar diketahui sudah
baligh atau belum. Ketika ternyata
terbukti pencuri tersebut belum baligh, Utsman tidak menjatuhkan hukuman
padanya. Ini tidak dsanggah oleh para shahabat yang ada saat itu sehingga
terjadi ijma’.
Sekalipun tidak
dijatuhi hukuman pidana, namun jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus
pembunuhan, anak sebagai pelaku dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau
keliru. Bila anak tidak memiliki harta,
maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.
Sekalipun demikian,
negara boleh mengambil kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak pidana
anak. Negara bisa memaksa orangtua atau
wali untuk mendidik anaknya, atau negara mengambil anak dari pengasuhnya dan
menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari kalangan kerabat yang berhak
atas pengasuhan anak.
Bila anak sebatang
kara tidak memiliki pengasuh dan wali, maka negara berkewajiban memelihara anak
tersebut dan mendidiknya agar tidak menjadi pelaku kriminal.
Solusi Komprehensif
Islam
Islam menyelesaikan
masalah kriminal anak tidak hanya terpaku pada hukuman yang harus dijatuhkan
pada anak. Islam lebih mengedepankan
pendekatan sistemik yang akan mencegah anak menjadi pelaku kejahatan.
Sebagai benteng
pertama, Islam mewajibkan orangtua untuk mendidik anak sebaik-baiknya. Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua
dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi pahala yang terus mengalir
baginya sekalipun kematian sudah menjemput.
Berikutnya Islam
menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan. Nafkah anak dibebankan pada para wali. Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara
wajib untuk menjamin nafkah anak. Dengan
demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya
pada berbuat pidana.
Islam juga memiliki
kebijakan dalam pendidikan dengan menjadikan kurikulumnya berdasarkan aqidah Islam sehingga memiliki
daya dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum syara’.
Begitu juga Islam
memiliki mekanisme penjagaan aqidah dan moralitas. Islam mewajibkan negara untuk mencegah
beredarnya miras, pornografi, dan media massa yang memiliki konten membahayakan
aqidah dan akhlak umat. Negara dibekali
dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan kerusakan. Ini berbeda dengan system demokrasi di
Indonesia, yang sampai Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk
membreidel semua konten porno di media massa.
Dengan serangkaian hak
dan kewajiban yang Islam telah membebankannya kepada orangtua, masyarakat dan
negara, maka Islam telah melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak
kriminal. (Arini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar