Membaca salah satu sub tema dalam kitab Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah karya Prof. Dr. Ali Jumu’ah menjadi semakin jelas
maksud dari beberapa baris kata dalam kitab Mafaahiim yang
selalu kami kaji setiap malam Rabu di Masjid Al Ikhlash, samping Balai Desa
Tamantirto, 12 tahu lalu, yang menggambarkan betapa setelah kodifikasi
pendapat-pendapat madzhab, aktivitas ijtihad yang mengambil hukum syara’ secara
langsung dari nash-nash syara’ menjadi langka, bahkan dianggap kelancangan.
Tenaga dan fikiran para ulama -yang sebenarnya punya kapasitas untuk berijtihad
secara langsung- lebih terfokus untuk meneliti pendapat-pendapat madzhab dengan
semangat untuk bertaqlid, yang kadang justru dibutuhkan kejelian yang lebih
ekstra.
Dalam Mafaahiim Hizbit Tahriir An Nabhani menyatakan: “menyusul setelah itu datangnya masa
kemunduran fiqh yaitu masa bermunculannya kitab-kitab syarah dan hasyiyah yang
kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru Tidak mengandung hal-hal yang
baru dalam istinbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu. Setelah
itu datang masa yang lebih parah lagi, dimana para ulama menempuh cara dalam
mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagian-bagiannya
atau dalil-dalilnya. Masalah-masalah inilah yang disebut dengan istilah
fatwa.”
Hal
tersebut di atas relatif terjadi di semua madzhab fiqh. Berikut ini sedikit
gambaran dari apa yang diuraikan oleh Ali Jumu’ah terkait keadaan tersebut yang
terjadi pada Madzhab Syafi’i[1]: ****
Referensi
Yang Otoritatif Dalam Madzhab Syafi’i. Telah
kami sebutkan sebelumnya beberapa kitab yang ditulis oleh pemuka madzhab
kami (ash-habuna), baik dari kelompok Khurasan (khurosaniyun) maupun Irak (‘Iroqiyun),
hanya saja, kitab-kitab tersebut dan yang lainya telah diserap dalam hasil
penelitian yang luas yang dilakukan oleh dua orang imam, yakni An Nawawi dan Ar
Rofi’i, sampai-sampai, Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dan ulama muta’akhirin
lainya menyatakan: Para muhaqqiq telah bersepakat bahwa
kitab-kitab yang lahir sebelum “Dua Syaikh” –yakni Ar Rofi’i dan An Nawawi-
tidak diperhitungkan lagi kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian
yang sempurna sampai taraf diduga kuat bahwa ia merupakan pendapat madzhab yang rajih (kuat).
Mereka
menyatakan bahwa yang demikian itu (merujuk kitab lama -pent) berlaku pada
hukum-hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua Syaikh atau salah satu dari
keduanya. Namun dalam perkara yang telah dikemukakan oleh keduanya maka para muhaqqiq telah membuat konsensus
bahwa pendapat yang otoritatif dalam madzhab adalah apa yang disepakati oleh
keduanya. Jika keduanya berbeda pendapat sementara tidak ada yang lebih utama
bagi keduanya, atau ada tetapi sama kuat, maka pendapat An Nawawi-lah yang
dipegang. Dan jika ada hukum yang hanya diungkapkan oleh salah satu dari
keduanya saja, maka yang dipegangi adalah yang mengandung tarjih. Jika para
ulama mutaakhirin sepakat
tentang suatu pendapat dari keduanya yang salah karena kelalaian, maka pendapat
itu tidak dapat dipegangi, akan tetapi kasus seperti ini sangat langka.
Setelah
itu datanglah masa Ibnu Hajar dan Ar Romli. Keduanya memberi penjelasan (syarh)
terhadap kitab Al Minhaj. Keduanya juga menulis kitab2 madzhab dengan metode
penyuntingan. akhir Syafi’iyah mengatakan bahwa sumber yang otoritatis setelah
Ar Rofi’i dan An Nawawi- adalah Ibnu Hajar Al Haitsami dan Muhammad Ar Romli,
sehingga tidak boleh mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan keduanya,
bahkan hanya bertentangan dengan Tuhfatul Muhtaj-nya Ibnu Hajar atau Nihayatul Muhtaj-nya
Ar Ramli pun juga tidak boleh. Itu dikarenakan para muhaqqiq dan ulama telah membaca
kedua kitab itu di hadapan kedua penulisnya. Bahkan An Nihayah telah dibaca dari awal
hingga akhir oleh 400 ulama di hadapan Ar Ramli, mereka menelaahnya dan
menshohihkannya, dengan demikian jumlah tersebut telah mencapai batasan
mutawatir. Adapun (peneliti) At
Tuhfah maka jumlahnya tidak terhitung.
Jika
keduanya (Ibnu Hajar dan Ar Ramli) berselisih, maka para ulama Mesir mengambil
pendapat Ar Ramli. Sementara itu para ulama Hadhromaut, Syam, Akrad (Kurdi),
sebagian besar Yaman dan Hijaz mengambil pendapat Ibnu Hajar. Terdapat
kitab-kitab yang ditulis mengenai perbedaan pendapat di antara keduanya, antara
lain: Itsmidul ‘Ainaini fi Ba’dhi Ikhtilafisy
Syaikhoin yang ditulis oleh Syaikh ‘Ali Bashobirin.
Sementara
itu dalam masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh keduanya maka fatwa bisa
merujuk pada pendapat Syaikhul Islam Zakariya
Al Anshori. Beliau memiliki beberapa karya fiqh yang telah diterbitkan, yang
paling penting di antaranya adalah: Al Manhaj ringkasan Al Minhaj-nya
An Nawawi, syarah Al Manhaj, Syarah Ar Raudh,
Syarah Al Bahjah, dan Tahriru Talqihil Lubab berikut syarahnya.
Jika
tidak ada baru kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Al Khothib Asy Syarbini,
beliau menulis Mughnil Muhtaj syarah Al Minhaj dan Al Iqna’ Syarah
kitab matan Abi Syuja’. Keduanya
merupakan kitab yang terkenal dan telah diterbitkan.
Jika
tidak ada baru merujuk kepada Hasyiyah (catatan pinggir) Az
Zayyadi, kemudian Hasyiyah-nya Ibnu Qosim Al Abbadi atas Tuhfatul Muhtaj (telah dicetak menjadi
satu), kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Amiroh dalam catatan pinggirnya
yang terkenal atas Nihayah-nya
Ar Ramli (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk kepada pendapat Syaikh
Ali Asy Syubramalsi dalam catatan pinggir atas Nihayatul Muhtaj-nya
Ar Ramli (telah dicetak), kemudian merujuk pada catatan pinggir Al Halabi,
kemudian Hasyiyah Asy Sybri, dan terakhir
pada Hasyiyah Al ‘Inani. Itu semua dapat diambil jika tidak
bertentangan dengan pokok madzhab.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan
oleh para ulama Syafi’iyah generasi akhir. Mereka mempraktekkan ketentuan ini
di dalam kitab-kitab, catatan pinggir dan taqrir mereka sampai zaman ini.
Hubungan
Kesinambungan Kitab-kitab Syafi’iyah
A.
Semenjak
Imam Al Juwaini menulis An Nihayah[2] maka kitab-kitab madzhab pun berporos padanya. An Nihayah merupakan ringkasan dari
empat kitab Asy Syafi’i yang beliau tulis dalam bidang fiqh, yaitu: Al Um, Al Imla’, Al Buwaithi, dan Muktashor Al Muzani[3],
atau sebagian ulama mengatakan bahwa ia –an Nihayah-
merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani. Di dalam kitab ini dihimpun berbagai thoriqoh (thuruq)
madzhab dan segi-segi perbedaan (aujah) dari
para pemuka madzhab (al
Ash-hab).
Setelah
itu, Al Ghozali meringkas An Nihayah menjadi Al Basith.
Beliau lantas meringkas Al Basith menjadi Al Wasith,
kemudian (meringkasnya lagi) menjadi Al Wajiz,
dan akhirnya beliau meringkas Al Wajiz menjadi Al Khulashoh.
Dalam Al Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj dan
yang lainnya disebutkan bahwa Ar Rofi’i meringkas Al Wajiz menjadi Al Muharrar.[4] Setelah
itu Imam An Nawawi meringkas Al Muharrar menjadi Al Minhaj.
Pasca itu, Syaikhul Islam Zakariya
Al Anshori meringkas Al Minhaj menjadi Al Manhaj, kemudian Al Jauhari meringkas Al Manhaj menjadi An Nahju.
B.
Imam
Ar Rofi’i mensyarah Al Wajiz dalam dua kitab, kitab
yang kecil tidak beliau beri nama, sedangkan yang besar beliau namai Al ‘Aziz.
Imam An Nawawi meringkas Al ‘Aziz menjadi Ar Raudhoh. Sementara itu Ibnu Muqri
meringkas Ar Raudhoh menjadi Ar Raudh.
Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori mensyarahnya dalam kitab yang bernama Al Asniy,
kemudian Ibnu Hajr meringkas Ar Raudh menjadi sebuah kitab
bernama An Na’im. Kitab ini hadir sebagai kitab yang tergolong paling
berharga di bidangnya, sayangnya, kitab ini hilang pada masa hidup beliau.
Ar Raudhoh juga diringkas oleh Imam
Al Muzjid dalam kitabnya Al ‘Ubab, kemudian Ibnu Hajar mensyarahnya dengan syarah yang komplit
dan luas berjudul Al I’ab,
sayangnya beliau tidak menyelesaikannya. As Suyuthi juga meringkas Ar Raudhoh dalam kitab berjudul Al Ghoniyah,
beliau juga menadzomkannya (mensyairkannya) dengan judul Al Khulashoh,
namun beliau tidak menyempurnakannya, sebagaimana yang beliau nyatakan di dalam
daftar karya-karya beliau.
C.
Al
Qozwaini juga meringkas Al Aziz Syarhul Wajiz menjadi Al Hawi As Shoghir, kemudian Ibnul Wardi menadzomkannya dalam Bahjah-nya,
kemudian Syaikhul Islam mensyarahkannya dalam dua syarah.
Ibnu
Hajar Al Haitsami pada bagian akhir kitab Tahrirul Maqol menyatakan: “mengenai
pernyataan mereka: sesungguhnya sejak Al Imam (Al Juwaini) menulis kitab An Nihayah yang merupakan syarah
dari kitab Mukhtashor Al Muzani –yang
meriwayatkan perkataan Asy Syafi’i- yang terdiri dari delapan jilid besar, maka
orang-orang hanya disibukkan oleh perkataan Al Imam saja, karena murid beliau,
Al Ghozali, meringkas An Nihayah tersebut
dalam ringkasan yang panjang dan penuh bernama Al Basith,
kemudian meringkasnya lagi dengan yang lebih tipis, bernama Al Wasith,
kemudian meringkasnya dengan lebih ringkas lagi, bernama Al Wajiz.
Setelah itu datanglah Ar Rofi’i yang mensyarah Al Wajiz dengan syarah yang
ringkas, kemudian mensyarahnya lagi dengan syarah panjang (Al ‘Aziz –pent) yang tidak pernah ada karya tulis yang
menyamainya dalam madzhab Syafi’i. Rata-rata tebalnya mencapai sepuluh jilid.
Kemudian datanglah An Nawawi yang meringkas, memperbaiki dan memeriksa syarah
tersebut serta menyempurnakan sejumlah besar perkataannya pada tempat-tempat
yang menurutnya perlu diperbaiki. Ringkasan tersebut diberi nama Raudhatuth Tholibin.
Tebalnya pada umumnya mencapai empat jilid. Setelah itu datanglah generasi
muta’akhirin, yang memiliki beragam tujuan. Di antara mereka ada yang memberi
catatan pinggir, jumlah mereka sangat banyak dan mereka menghabiskan banyak
waktu dalam hal ini, sampai muncullah hasyiyahnya
Al Adzro’i yang berjudul At Tawassuth baina Ar Raudhoh wa asy Syarh yang
mencapai 30 jilid. Demikian juga dengan Al Isnawi, Ibnu ‘Imad dan Al Bulqini,
mereka juga memberi catatan pinggir terhadap Ar Raudhoh.
Mereka berempat merupakan ulama kenamaan (muhul)
dari generasi akhir (al-muta’akhirin). Kemudian datanglah seorang murid dari keempat ulama
tersebut, yakni Imam Az Zarkasyi, yang mengumpulkan kesimpulan (mulakhosh) dari catatan-catatan pinggir mereka dalam sebuah
kitab yang ternama berjudul Khodimur Raudhoh yang terdiri dari 20-an jilid.
Di
samping itu, ada sebagian ulama yang merasa memiliki keharusan untuk meringkas Ar Raudhoh.
Di antara mereka ada yang meringkas dengan panjang, ada pula yang meringkasnya
dengan benar-benar ringkas seperti Ar Raudh karya Asy Syaraf Al
Muqriy (w. 837 H), maka orang-orang pun menerima ringkasan-ringkasan tersebut.
Tatkala Ar Raudh muncul, orang-orang
lebih banyak merujuk kepadanya karena keunggulan dan kemudahan ungkapannya.
Lantas Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshori –pent) mensyarahnya dengan syarah
yang sangat baik. Beliau menyertakan ringkasan tersebut, maka manusia pun
mengerumuninya. Sampai datanglah masa penulis Al ‘Ubab,
yaitu Ahmad bin Umar Al Muzjid az Zabidi, beliau meringkas Ar Raudhoh dan menyertakan di
dalamnya masalah-masalah furu’ (cabang-cabang fiqh
–pent) dalam madzhab yang tak terhitung jumlahnya.
Penulis Al Hawil Kabir juga
meringkas Asy Syarhul Kabir (Al ‘Aziz karya Ar Rofi’i –pent) dengan cara yang belum
tertandingi. Beliau mampu menghimpun substansinya dalam sekitar delapan jilid
dari sepuluh jilid yang ada, sehingga orang-orang pada masanya mengakui bahwa
–dalam masalah ini- tidak ada tulisan yang menyamainya, sehingga orang-orang
pun mencurahkan perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya. Kemudian penulis
kitab Al Bahjah menadzomkannya
sehingga orang-orang pun kemudian juga menghafal dan mensyarahnya. Sampai datanglah
masa Asy Syaraf Al Muqriy (837 H), penulisAr Raudh,
yang kemudian meringkasnya (mukhtashor
Al ‘Aziz) hingga jauh lebih tipis, yang diberi
nama Al Irsyad, sehingga orang-orang pun menaruh perhatian
untuk menghafal dan mensyarahnya”.
Pembubuh
harokat Al Irsyad menyatakan:
“diantara orang yang mensyarahnya adalah Ibnu Hajar Al Haitsami, beliau
mensyarahnya dalam dua kitab besar yang belum dicetak, juga dalam satu kitab
yang lebih kecil bernama Fathul Jawad Syarhul Irsyad (telah dicetak), kitab ini disertai oleh catatan
pinggir yang juga ditulis oleh Ibnu Hajar”
D
Al
Mahami (w. 415 H) menulis Al Lubab yang menjadi salah satu kitab Iraqiyin yang
mu’tabar. Kemudian Al Wali Al Iroqi (w. 826 H) meringkasnya dalam kitab Tahrirul Lubab. Kemudian Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori (w. 926 H)
meringkasnya lagi dalam kitab Tanqihu Tahriril Lubab (telah
dicetak) dan mensyarahnya dalam kitab Tuhfatuth Thullab (telah dicetak), selanjutnya Syaikh Adh Dhorqowi (w.
1226 H) memberinya catatan pinggir dengan hasyiyah-nya yang
masyhur (telah dicetak). (terj by titok)
[1]
Ali Jumu’ah, Prof. Dr., Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil
Fiqhiyah (Kairo: Darus Salam, 2001), hal. 49 – 52
[2]
Judul lengkapnya adalah Nihayatul Mathlab fii Diroyatil Madzhab
[3] Secara teknis 3 kitab terakhir bukan
ditulis oleh Asy Syafi’i, namun ditulis dan atau dikumpulkan oleh para murid
beliau berdasarkan apa yang beliau ajarkan.
[4] Ali Jam’ah mengungkapkan
ketidakyakinan bahwa Al Muharrar adalah ringkasan Al Wajiz