Feminisasi dalam
sosiologi, merupakan pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam
kelompok, masyarakat, atau organisasi ke arah fokus pada feminin. Ini adalah
kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas.
Feminisasi ini menjadi kampanye global tidak saja di Negara-negara
Barat, namun juga di negeri-negeri muslim.
Feminisasi ini merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan
gender yang dianggap menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat
dunia, dengan kata lain, feminisasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan
gender.
Deklarasi CEDAW (Convention on the
Elimination of all Form of Discrimination Against Women) sebagai pencanangan
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 dan
berbagai konferensi perempuan yang diselenggarakan pada tahun-tahun berikutnya,
menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan. Hal ini makin nyata setelah Konvensi
Internasional Kependudukan (International
Conference Population and Development-ICPD), September 1994 di Kairo. Konferensi tersebut merupakan batu loncatan
penting yang mencetuskan bahwa “perempuan” adalah kunci bagi penyelesaian
masalah ledakan penduduk. ICPD ini
melahirkan program aksi bertemakan Empowerment of Women” (pemberdayaan perempuan). Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap
sebagai sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan
kualitas keluarga dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus
mendapat peluang berkiprah lebih besar di berbagai bidang.Aksi ini dilanjutkan
dengan Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September
1995, yang menghasilkan BPFA (Beijing Platform for Action). Dari sinilah lahir konsep pengarus utamaan gender atau PUG. Pada saat itu, berbagai
area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh
dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan. PUG didesakkan sebagai
strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah, dan organisasi yang relevan
untuk memastikan bahwa rencana aksi di berbagai area kritis dapat dilaksanakan
dengan efektif agar segera terwujud kesetaraan gender.
JALAN PERUNDANG-UNDANGAN
Mengingat Kesetaraan gender mengharuskan adanya pengaturan
relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek yang benar-benar setara dan
adil, maka sudah jelas bahwa ide ini bertentangan dengan Islam, baik secara
filosofis maupun ideologis. Meski laki-laki dan perempuan sebagai manusia sama
dalam pandangan Islam, namun Islam menetapkan peran yang berbeda terkait dengan
keberadaan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan. Sebagai contoh Islam menetapkan kewajiban
mencari nafkah hanya pada laki-laki sementara perempuan sebagai pengatur rumah
dan ibu generasi. Islam juga menetapkan
bagian waris laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Selain itu, islam menetapkan adanya masa
iddah hanya bagi perempuan baik karena perceraian maupun kematian
suaminya. Sebaliknya, islam membolehkan
laki-laki untuk melakukan poligami hingga empat istri, dan menetapkan bagi perempuan
hanya boleh memiliki satu suami. Dengan
demikian kesetaraan gender hanya akan terwujud bila aturan Islam ditinggalkan
dan pembuatan aturan diserahkan kepada manusia.
Dengan kata lain, terwujudnya kesetaraan gender mengharuskan penerapan
akidah sekulerisme dan sekulerisasi dalam kehidupan masyarakat
Perbedaan yang sangat mendasar tersebut menyebabkan
sulitnya upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tengah kehidupan
masyarakat. Sementara di sisi lain, berbagai konvensi dan rencana aksi yang
telah disepakati dalam sejumlah konperensi tingkat global tersebut harus
diterapkan oleh semua Negara anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang paling jitu
adalah melalui undang-undang yang ditetapkan oleh Negara. UU membuat upaya terwujudnya kesetaraan
gender dapat lebih sistemis karena UU memiliki legalitas untuk memaksa rakyat
untuk menerapkannya. Apalagi pada
kenyataannya, masih ada kesenjangan gender di Indonesia.
Di Indonesia, secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi
pembangunan bidang pemberdayaan perempuan melalui Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Dalam inpres tersebut dinyatakan tujuan PUG adalah terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan
dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Dan strategi PUG
ditempuh dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan PUG maka
semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan
dan akses perempuan terhadap program pembangunan, serta dengan adanya kendali
dan manfaat untuk perempuan. Strategi
ini dirumuskan agar desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan
dan program di seluruh ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat
terwujud. Berbagai peraturan lain juga dibuat untuk
memperlancar pelaksanaan PUG baik tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam
hal pembuatan anggaran responsif gender pada berbagai Kementerian Negara dan Lembaga Negara.
Rupanya sebelum PUG diluncurkan, Negara sudah memberikan
pengakuan atas hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia yang
ditetapkan melalui Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak perempuan (dalam
Undang-undang disebut hak Wanita).
Pada tahun 2005 dibentuklah
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui
Perpres nomor 65 tahun 2005, yang salah satu nilai dasarnya adalah keadilan dan
kesetaraan gender. Tujuan pembentukan
lembaga ini adalah untuk mempercepat penghapusan kekerasan pada perempuan yang
diyakini merupakan akibat ketidaksetaraan relasi laki-laki dan perempuan.
Selain itu, terdapat
berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir sebagai bentuk upaya untuk
mewujudkan kesetaraan gender. Diantaranya adalah UU
No. 23/2004 tentangPKDRT. Demikian juga dengan
kewajiban kuota 30% dalam menentukan anggota legislatif melalui UU no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik Dan UU
no 10 tahin 2008 tentang Pemilu, juga No 8 tahun 2012 tentang Parpol.
Namun demikian masih ada banyak UU yang dianggap belum
sesuai dengan kesetaraan gender. Tahun 2009, Komnas Perempuan telah melaporkan
undang-undang dan peraturan yang bdiskriminatif terhadap perempuan. KUHP
(1/1946), UU Perkawinan (1/1974), dan UU Ketenagakerjaanb (13/2003) merupakan
contoh undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian pula
dianggap banyak terjadi kontroversi menyangkut UU Pornografi No. 44/2008 dan UU
Kesehatan (36/2009). Kedua undang-undang ini dianggap berisi pasal yang
berpotensi mengabaikan hak perempuan dalam menentukan pilihannya terkait
kesehatan dan kebebasan berekspresi Tahun
2010, Komnas Perempuan mengidentifikasi 63 dari sekitar 154 peraturan yang
dikeluarkan di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa dari tahun 1999 hingga
2009 melanggar hak perempuan untuk berekspresi, memperoleh perlindungan dan
bekerja Bahkan
saat ini sedang diupayakan lahirnya UUKesetaraan Gender
untuk memperkuat landasan hukum bagi pencapaian kesetaran gender. RUU KG ini masih akan ditargetkan sebagai
salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015 setelah gagal dalam Prolegnas
tahun 2014.
PROMOSI IDE FEMINISME ISLAM
Upaya mewujudkan kesetaraan
gender di Indonesia rupanya tidak cukup dengan jalan perundang-undangan, Apalagi berbagai usulan revisi UU yang
dianggap bias gender ternyata masih mendapatkan penentangan dari kaum Muslim. Oleh karena itu, perlu ada upaya diluar jalur UU yang dapat
langsung bersinggungan dengan masyarakat.
Munculnya berbagai LSM ‘Islam’ sesungguhnya
adalah jalur lain untuk promosi ide feminisme Islam. LSM seperti Rahima berada di garis depan
dalam mempromosikan kesetaraan gender dalam bingkai Islam. Bahkan Rahima yang memfokuskan kerjanya
sebagai pusat pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam
dan Pendidikan Orang Dewasa, secara intensif mengadakan PUP (Pendidikan Ulama
Perempuan) di berbagai kota di Indonesia.
Pada November 2014 yang
baru lalu PUP telah masuk edisi ke 8, dengan sasaran para mubalighoh dan
kalangan pesantren. Jejaring yang
dibentuk dengan berbagai LSM termasuk ormas dan pesantren, membuat sosialisasi
dan pemasyarakatan ide-ide feminisme Islam dapat dengan mudah tersebar.Demikian
juga dengan Fahmina yang berdiri tahun 2000 di Cirebon. Fahmina bekerja untuk penyadaran publik dengan tiga
isu utama yakni Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan gender (Isgen) serta
Islam dan otonomi komunitas (Iskom) yang didekati dari sudut Islam dan tradisi
keilmuan pesantren.
Dalam upaya menyuarakan ide
kesetaraan gender, ada individu-individu yang menjadi tokoh feminis muslim yang ada di garis depan
diantaranya adalah Sinta Nuriyah Wahid, Lies
Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin.
Pada tahun 2004, sebuah
kelompok kecil yang menamakan dirinya Tim PUG Depag, dan diketuai oleh Siti
Musdah Mulia meluncurkan buku kecil berjudul “ Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi hukum
Islam”. Isi buku tersebut menimbulkan
penetangan masyarakat karena banyak aspek di dalamnya yang bertentangan dengan
hukum Islam misalnya melarang
poligami, membolehkan adopsi anak, membolehkan nikah kontrak, membolehkan
wanita menjadi wali nikah, menyamakan waris anak laki-laki dan perempuan,
menyamakan kesaksian laki-laki dengan wanita, memberikan masa tunggu untuk pria
yang bercerai, membolehkan perkawinan beda agama dan lain-lain.
Hukum-hukum ‘baru’ tersebut jelas dibuat bukan dengan semangat melaksanakan hukum
Islam, namun justru dilakukan dengan pendekatan gender, pluralisme dan HAM .Karena
itu bisa dipahami bila banyak permasalahan yang justru bertentangan dengan
hukum Islam.
Upaya mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia
rupanya tidak hanya menggunakan jalur UU
dan LSM dengan individu-individu feminis muslim. Mediamassa menjadi kekuatan
penting untuk mengintroduksi dan menguatkan ide gender di tengah masyarakat. Media
elektronik yang menjangkau masyarakat terpencil dan masuk ke ruangan-ruangan
pribadi di rumah-rumah telah menjadi sarana yang mengemas ide serius menjadi
bahan tontonan yang menyenangkan. Walaupun media kadangkala hipokrit karena sering mengeksploitasi
perempuan namun perannya amat strategis dalam upaya feminisasi. Penyebarluasan perlawanan
terhadap ide patriarkal dan stereotipikal gender perlahan-lahan mendapatkan
simpati publik. Mata media tidak pernah
berkedip mengawasi dan memberitakan bagaimana pelaksanaan perda syariah di Aceh
selalu merugikan dan mengancam hak-hak perempuan. Perda terkait larangan
perempuan duduk mengangkang saat berkendara motor, kewajiban menutup aurat,
berbusana Islami dan larangan khalwat adalah peraturan syariah yang sering
menjadi sorotan media, termasuk media internasional karena dianggap melanggar
HAM kaum perempuan Aceh.
Akibat
pemberitaan massif media, berbagai pengusung ide gender terbantu dalam
melakukan pengawasan terhadap praktek yang menghalangi implementasi feminisasi
Islam. Seperti Lembaga HAM internasional (Human
Rights Watch) yang sejak 2010 mendesak pemerintah lokal di Aceh dan
pemerintah pusat Indonesia agar mencabut dua aturan Perda Syariah mengenai
larangan khalwat serta aturan mengenai busana muslim. Kedua aturan itudianggap telah melanggar HAM
dan konstitusi Indonesia. Pemberitaan media
yang cenderung mendiskreditkan syariah Islam, tentu saja memudahkan kerja
kalangan liberal tersebut.Tujuannya, tiada lain untuk memunculkan ketakutan
masyarakat saat hendak menerapkan Islam sebagai jalan hidup.
DAMPAK PADA KELUARGA
Ide
kesetaraan gender yang mulai diterapkan diberbagai kementerian atau lembaga
negara dan diadopsi sebagian masyarakat membuat perubahan kehidupan kaum
perempuan termasuk para ibu. Salah satu
indikatornya, jumlah kaum perempuan pekerja semakin banyak dari tahun ke
tahun. Pada 2003 jumlah PNS perempuan
adalah 1.475.720 orang, kemudian tahun 2013 yang lalu meningkat menjadi
2.102.197 orang.Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013
tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif yang menyebutkan bahwa salah satu unsur dari
pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak berwujud
Day Care /Tempat Penitipan Anak.
Penyediaan day care jelas membuat
para ibu merasa lebih nyaman karena anaknya berada di tangan yang tepat.
Sisi negatif
perempuan bekerja juga makin terasa nyata.
Keluarga makin tidak harmonis, ditandai dengan makin meningkatnya jumlah
perceraian. Pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan
meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.
Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia
Pasifik.Dan 70 persen perceraian terjadi karena gugat
cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan.
KDRT
ternyata juga makin meningkat jumlahnya.Mantan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan sejak tahun 2011 kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga termasuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) mengalami peningkatan. Ketidak harmonisan keluarga juga memicu remaja
untuk mengkonsumsi narkobaBerdasarkan hasil Survei Badan Narkotika
Nasional(BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau
sekira 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air adalah pengguna narkobaKesibukan
orangtua dalam bekerja juga mengakibatkan fungsi keluarga tidak berjalan,
sehingga terjadilah fenomena keluarga terminal.Tak jarang jika fenomena
keluarga terminal menjadi penyebab kasus lainnya. Seperti pernyataan Bendri Jaisyurrahman,
aktivis Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang mengatakan bahwa keluarga
terminal dapat merubah orientasi seks anak.
Di sisi
lain, kekerasan pada anak juga makin meningkat,
KPAI bahkan menyebut tahun
2013 sebagai tahun darurat kekerasan
terhadap anak. Yang lebih menggenaskan, pelaku
kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual ternyata sebagian besar adalah
orang yang dekat dengan anak. Kondisi
tersebut menandakan bahwa keluarga tidak lagi mampu menjalankan fungsinya
sebagai tempat berlindung bagi anak-anak.
Kondisi
itu diperburuk dengan permasalahan yang terjadi pada remaja. Data Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa. jumlah seks bebas dikalangan remaja mengalami
peningkatan. Usiapelaku seks bebas kian lebih muda. Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14
tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19
tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan
remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.Tak hanya itu, perilaku tawuran di
kalangan pelajar juga tak kalah miris. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak,
Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2013 jumlah pelajar tewas sia sia karena
tawuran mencapai 20 orang. Bahkan di tahun 2014 tawuran pelajar menjadi kasus paling
menonjol dan banyak menyita perhatian publik.
Demikianlah, feminisasi
adalah perilaku sesat dan jahil. Buktinya, feminisasi di Indonesia tidak mampu
mensejahterakan perempuan. Bahkan
sebaliknya, feminisasi hanya membawa kerusakan dan kehancuran keluarga, perempuan
dan generasi. Sesuatu yang pasti terjadi
karena manusia telah meninggalkan hukum Allah. Padahal, hukum Allah adalah yang
terbaik jika manusia mau melakukannya.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) - dr. Arum Harjanti