"The whole world from its beginning until its end is not worth an hour of sadness, so what about the sadness of whole life" -Al fawaid by Ibn al Qayyim al jawziyyah
Sabtu, 07 Desember 2013
tidak ada yang tahu, tapi Dia?
Ketika engkau berbuat dosa
Atau merasa telah melakukan kesalahan
Engkau mengira itu kesalahan kecil
Padahal kepada siapa engkau durhaka?
Allah tempat kembalinya hati hati
Bertaubatlah atas nama-Nya
Tidak ada yang tahu engkau telah berbuat dosa
Tapi Dia? Apakah engkau mampu lari dari –Nya
Mungkin tidak ada yang tahu engkau melanggar amanah, tapi
Dia?
Mungkin tdk ada yg tahu engkau bermaksiat, tapi Dia?
Mungkin tidak ada yang tahu, kemana harta engkau belanjakan,
tapi Dia?
Mungkin tidak ada yang tahu, engkau habiskan untuk apa
waktumu, tapi Dia?
Mungkin tidak ada yang tahu, bagaimana engkau sesungguhnya,
tapi Dia?
Mungkin tidak ada yang tahu lintasan hati kecilmu, tapi dia?
Padahal akan datang hari, ketika semua rahasia dibukakan
Akan datang hari ketika kebenaran ditampakkan
Akan datang hari ketika taubat sudah tiada artinya
Fafirruu ilallaah
Sebaik baik urusan agama ini adalah wara’
Berhati hatilah wahai calon ulama’
Seharusnya engkaulah orang yang paling takut kepada-Nya
Hatta tidak ada manusia yang mengetahuinya
Renungan hamba yang penuh dosa---07122013
Kamis, 10 Oktober 2013
PORET SINGKAT KEMUNDURAN IJTIHAD DALAM FIQH ISLAM
Membaca salah satu sub tema dalam kitab Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil Fiqhiyah karya Prof. Dr. Ali Jumu’ah menjadi semakin jelas
maksud dari beberapa baris kata dalam kitab Mafaahiim yang
selalu kami kaji setiap malam Rabu di Masjid Al Ikhlash, samping Balai Desa
Tamantirto, 12 tahu lalu, yang menggambarkan betapa setelah kodifikasi
pendapat-pendapat madzhab, aktivitas ijtihad yang mengambil hukum syara’ secara
langsung dari nash-nash syara’ menjadi langka, bahkan dianggap kelancangan.
Tenaga dan fikiran para ulama -yang sebenarnya punya kapasitas untuk berijtihad
secara langsung- lebih terfokus untuk meneliti pendapat-pendapat madzhab dengan
semangat untuk bertaqlid, yang kadang justru dibutuhkan kejelian yang lebih
ekstra.
Dalam Mafaahiim Hizbit Tahriir An Nabhani menyatakan: “menyusul setelah itu datangnya masa
kemunduran fiqh yaitu masa bermunculannya kitab-kitab syarah dan hasyiyah yang
kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru Tidak mengandung hal-hal yang
baru dalam istinbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu. Setelah
itu datang masa yang lebih parah lagi, dimana para ulama menempuh cara dalam
mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagian-bagiannya
atau dalil-dalilnya. Masalah-masalah inilah yang disebut dengan istilah
fatwa.”
Hal
tersebut di atas relatif terjadi di semua madzhab fiqh. Berikut ini sedikit
gambaran dari apa yang diuraikan oleh Ali Jumu’ah terkait keadaan tersebut yang
terjadi pada Madzhab Syafi’i[1]: ****
Referensi
Yang Otoritatif Dalam Madzhab Syafi’i. Telah
kami sebutkan sebelumnya beberapa kitab yang ditulis oleh pemuka madzhab
kami (ash-habuna), baik dari kelompok Khurasan (khurosaniyun) maupun Irak (‘Iroqiyun),
hanya saja, kitab-kitab tersebut dan yang lainya telah diserap dalam hasil
penelitian yang luas yang dilakukan oleh dua orang imam, yakni An Nawawi dan Ar
Rofi’i, sampai-sampai, Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dan ulama muta’akhirin
lainya menyatakan: Para muhaqqiq telah bersepakat bahwa
kitab-kitab yang lahir sebelum “Dua Syaikh” –yakni Ar Rofi’i dan An Nawawi-
tidak diperhitungkan lagi kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian
yang sempurna sampai taraf diduga kuat bahwa ia merupakan pendapat madzhab yang rajih (kuat).
Mereka
menyatakan bahwa yang demikian itu (merujuk kitab lama -pent) berlaku pada
hukum-hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua Syaikh atau salah satu dari
keduanya. Namun dalam perkara yang telah dikemukakan oleh keduanya maka para muhaqqiq telah membuat konsensus
bahwa pendapat yang otoritatif dalam madzhab adalah apa yang disepakati oleh
keduanya. Jika keduanya berbeda pendapat sementara tidak ada yang lebih utama
bagi keduanya, atau ada tetapi sama kuat, maka pendapat An Nawawi-lah yang
dipegang. Dan jika ada hukum yang hanya diungkapkan oleh salah satu dari
keduanya saja, maka yang dipegangi adalah yang mengandung tarjih. Jika para
ulama mutaakhirin sepakat
tentang suatu pendapat dari keduanya yang salah karena kelalaian, maka pendapat
itu tidak dapat dipegangi, akan tetapi kasus seperti ini sangat langka.
Setelah
itu datanglah masa Ibnu Hajar dan Ar Romli. Keduanya memberi penjelasan (syarh)
terhadap kitab Al Minhaj. Keduanya juga menulis kitab2 madzhab dengan metode
penyuntingan. akhir Syafi’iyah mengatakan bahwa sumber yang otoritatis setelah
Ar Rofi’i dan An Nawawi- adalah Ibnu Hajar Al Haitsami dan Muhammad Ar Romli,
sehingga tidak boleh mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan keduanya,
bahkan hanya bertentangan dengan Tuhfatul Muhtaj-nya Ibnu Hajar atau Nihayatul Muhtaj-nya
Ar Ramli pun juga tidak boleh. Itu dikarenakan para muhaqqiq dan ulama telah membaca
kedua kitab itu di hadapan kedua penulisnya. Bahkan An Nihayah telah dibaca dari awal
hingga akhir oleh 400 ulama di hadapan Ar Ramli, mereka menelaahnya dan
menshohihkannya, dengan demikian jumlah tersebut telah mencapai batasan
mutawatir. Adapun (peneliti) At
Tuhfah maka jumlahnya tidak terhitung.
Jika
keduanya (Ibnu Hajar dan Ar Ramli) berselisih, maka para ulama Mesir mengambil
pendapat Ar Ramli. Sementara itu para ulama Hadhromaut, Syam, Akrad (Kurdi),
sebagian besar Yaman dan Hijaz mengambil pendapat Ibnu Hajar. Terdapat
kitab-kitab yang ditulis mengenai perbedaan pendapat di antara keduanya, antara
lain: Itsmidul ‘Ainaini fi Ba’dhi Ikhtilafisy
Syaikhoin yang ditulis oleh Syaikh ‘Ali Bashobirin.
Sementara
itu dalam masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh keduanya maka fatwa bisa
merujuk pada pendapat Syaikhul Islam Zakariya
Al Anshori. Beliau memiliki beberapa karya fiqh yang telah diterbitkan, yang
paling penting di antaranya adalah: Al Manhaj ringkasan Al Minhaj-nya
An Nawawi, syarah Al Manhaj, Syarah Ar Raudh,
Syarah Al Bahjah, dan Tahriru Talqihil Lubab berikut syarahnya.
Jika
tidak ada baru kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Al Khothib Asy Syarbini,
beliau menulis Mughnil Muhtaj syarah Al Minhaj dan Al Iqna’ Syarah
kitab matan Abi Syuja’. Keduanya
merupakan kitab yang terkenal dan telah diterbitkan.
Jika
tidak ada baru merujuk kepada Hasyiyah (catatan pinggir) Az
Zayyadi, kemudian Hasyiyah-nya Ibnu Qosim Al Abbadi atas Tuhfatul Muhtaj (telah dicetak menjadi
satu), kemudian merujuk pada pendapat Syaikh Amiroh dalam catatan pinggirnya
yang terkenal atas Nihayah-nya
Ar Ramli (telah dicetak menjadi satu), kemudian merujuk kepada pendapat Syaikh
Ali Asy Syubramalsi dalam catatan pinggir atas Nihayatul Muhtaj-nya
Ar Ramli (telah dicetak), kemudian merujuk pada catatan pinggir Al Halabi,
kemudian Hasyiyah Asy Sybri, dan terakhir
pada Hasyiyah Al ‘Inani. Itu semua dapat diambil jika tidak
bertentangan dengan pokok madzhab.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan
oleh para ulama Syafi’iyah generasi akhir. Mereka mempraktekkan ketentuan ini
di dalam kitab-kitab, catatan pinggir dan taqrir mereka sampai zaman ini.
Hubungan
Kesinambungan Kitab-kitab Syafi’iyah
A.
Semenjak
Imam Al Juwaini menulis An Nihayah[2] maka kitab-kitab madzhab pun berporos padanya. An Nihayah merupakan ringkasan dari
empat kitab Asy Syafi’i yang beliau tulis dalam bidang fiqh, yaitu: Al Um, Al Imla’, Al Buwaithi, dan Muktashor Al Muzani[3],
atau sebagian ulama mengatakan bahwa ia –an Nihayah-
merupakan syarah dari kitab Mukhtashor Al Muzani. Di dalam kitab ini dihimpun berbagai thoriqoh (thuruq)
madzhab dan segi-segi perbedaan (aujah) dari
para pemuka madzhab (al
Ash-hab).
Setelah
itu, Al Ghozali meringkas An Nihayah menjadi Al Basith.
Beliau lantas meringkas Al Basith menjadi Al Wasith,
kemudian (meringkasnya lagi) menjadi Al Wajiz,
dan akhirnya beliau meringkas Al Wajiz menjadi Al Khulashoh.
Dalam Al Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj dan
yang lainnya disebutkan bahwa Ar Rofi’i meringkas Al Wajiz menjadi Al Muharrar.[4] Setelah
itu Imam An Nawawi meringkas Al Muharrar menjadi Al Minhaj.
Pasca itu, Syaikhul Islam Zakariya
Al Anshori meringkas Al Minhaj menjadi Al Manhaj, kemudian Al Jauhari meringkas Al Manhaj menjadi An Nahju.
B.
Imam
Ar Rofi’i mensyarah Al Wajiz dalam dua kitab, kitab
yang kecil tidak beliau beri nama, sedangkan yang besar beliau namai Al ‘Aziz.
Imam An Nawawi meringkas Al ‘Aziz menjadi Ar Raudhoh. Sementara itu Ibnu Muqri
meringkas Ar Raudhoh menjadi Ar Raudh.
Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori mensyarahnya dalam kitab yang bernama Al Asniy,
kemudian Ibnu Hajr meringkas Ar Raudh menjadi sebuah kitab
bernama An Na’im. Kitab ini hadir sebagai kitab yang tergolong paling
berharga di bidangnya, sayangnya, kitab ini hilang pada masa hidup beliau.
Ar Raudhoh juga diringkas oleh Imam
Al Muzjid dalam kitabnya Al ‘Ubab, kemudian Ibnu Hajar mensyarahnya dengan syarah yang komplit
dan luas berjudul Al I’ab,
sayangnya beliau tidak menyelesaikannya. As Suyuthi juga meringkas Ar Raudhoh dalam kitab berjudul Al Ghoniyah,
beliau juga menadzomkannya (mensyairkannya) dengan judul Al Khulashoh,
namun beliau tidak menyempurnakannya, sebagaimana yang beliau nyatakan di dalam
daftar karya-karya beliau.
C.
Al
Qozwaini juga meringkas Al Aziz Syarhul Wajiz menjadi Al Hawi As Shoghir, kemudian Ibnul Wardi menadzomkannya dalam Bahjah-nya,
kemudian Syaikhul Islam mensyarahkannya dalam dua syarah.
Ibnu
Hajar Al Haitsami pada bagian akhir kitab Tahrirul Maqol menyatakan: “mengenai
pernyataan mereka: sesungguhnya sejak Al Imam (Al Juwaini) menulis kitab An Nihayah yang merupakan syarah
dari kitab Mukhtashor Al Muzani –yang
meriwayatkan perkataan Asy Syafi’i- yang terdiri dari delapan jilid besar, maka
orang-orang hanya disibukkan oleh perkataan Al Imam saja, karena murid beliau,
Al Ghozali, meringkas An Nihayah tersebut
dalam ringkasan yang panjang dan penuh bernama Al Basith,
kemudian meringkasnya lagi dengan yang lebih tipis, bernama Al Wasith,
kemudian meringkasnya dengan lebih ringkas lagi, bernama Al Wajiz.
Setelah itu datanglah Ar Rofi’i yang mensyarah Al Wajiz dengan syarah yang
ringkas, kemudian mensyarahnya lagi dengan syarah panjang (Al ‘Aziz –pent) yang tidak pernah ada karya tulis yang
menyamainya dalam madzhab Syafi’i. Rata-rata tebalnya mencapai sepuluh jilid.
Kemudian datanglah An Nawawi yang meringkas, memperbaiki dan memeriksa syarah
tersebut serta menyempurnakan sejumlah besar perkataannya pada tempat-tempat
yang menurutnya perlu diperbaiki. Ringkasan tersebut diberi nama Raudhatuth Tholibin.
Tebalnya pada umumnya mencapai empat jilid. Setelah itu datanglah generasi
muta’akhirin, yang memiliki beragam tujuan. Di antara mereka ada yang memberi
catatan pinggir, jumlah mereka sangat banyak dan mereka menghabiskan banyak
waktu dalam hal ini, sampai muncullah hasyiyahnya
Al Adzro’i yang berjudul At Tawassuth baina Ar Raudhoh wa asy Syarh yang
mencapai 30 jilid. Demikian juga dengan Al Isnawi, Ibnu ‘Imad dan Al Bulqini,
mereka juga memberi catatan pinggir terhadap Ar Raudhoh.
Mereka berempat merupakan ulama kenamaan (muhul)
dari generasi akhir (al-muta’akhirin). Kemudian datanglah seorang murid dari keempat ulama
tersebut, yakni Imam Az Zarkasyi, yang mengumpulkan kesimpulan (mulakhosh) dari catatan-catatan pinggir mereka dalam sebuah
kitab yang ternama berjudul Khodimur Raudhoh yang terdiri dari 20-an jilid.
Di
samping itu, ada sebagian ulama yang merasa memiliki keharusan untuk meringkas Ar Raudhoh.
Di antara mereka ada yang meringkas dengan panjang, ada pula yang meringkasnya
dengan benar-benar ringkas seperti Ar Raudh karya Asy Syaraf Al
Muqriy (w. 837 H), maka orang-orang pun menerima ringkasan-ringkasan tersebut.
Tatkala Ar Raudh muncul, orang-orang
lebih banyak merujuk kepadanya karena keunggulan dan kemudahan ungkapannya.
Lantas Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshori –pent) mensyarahnya dengan syarah
yang sangat baik. Beliau menyertakan ringkasan tersebut, maka manusia pun
mengerumuninya. Sampai datanglah masa penulis Al ‘Ubab,
yaitu Ahmad bin Umar Al Muzjid az Zabidi, beliau meringkas Ar Raudhoh dan menyertakan di
dalamnya masalah-masalah furu’ (cabang-cabang fiqh
–pent) dalam madzhab yang tak terhitung jumlahnya.
Penulis Al Hawil Kabir juga
meringkas Asy Syarhul Kabir (Al ‘Aziz karya Ar Rofi’i –pent) dengan cara yang belum
tertandingi. Beliau mampu menghimpun substansinya dalam sekitar delapan jilid
dari sepuluh jilid yang ada, sehingga orang-orang pada masanya mengakui bahwa
–dalam masalah ini- tidak ada tulisan yang menyamainya, sehingga orang-orang
pun mencurahkan perhatian untuk menghafal dan mensyarahnya. Kemudian penulis
kitab Al Bahjah menadzomkannya
sehingga orang-orang pun kemudian juga menghafal dan mensyarahnya. Sampai datanglah
masa Asy Syaraf Al Muqriy (837 H), penulisAr Raudh,
yang kemudian meringkasnya (mukhtashor
Al ‘Aziz) hingga jauh lebih tipis, yang diberi
nama Al Irsyad, sehingga orang-orang pun menaruh perhatian
untuk menghafal dan mensyarahnya”.
Pembubuh
harokat Al Irsyad menyatakan:
“diantara orang yang mensyarahnya adalah Ibnu Hajar Al Haitsami, beliau
mensyarahnya dalam dua kitab besar yang belum dicetak, juga dalam satu kitab
yang lebih kecil bernama Fathul Jawad Syarhul Irsyad (telah dicetak), kitab ini disertai oleh catatan
pinggir yang juga ditulis oleh Ibnu Hajar”
D
Al
Mahami (w. 415 H) menulis Al Lubab yang menjadi salah satu kitab Iraqiyin yang
mu’tabar. Kemudian Al Wali Al Iroqi (w. 826 H) meringkasnya dalam kitab Tahrirul Lubab. Kemudian Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori (w. 926 H)
meringkasnya lagi dalam kitab Tanqihu Tahriril Lubab (telah
dicetak) dan mensyarahnya dalam kitab Tuhfatuth Thullab (telah dicetak), selanjutnya Syaikh Adh Dhorqowi (w.
1226 H) memberinya catatan pinggir dengan hasyiyah-nya yang
masyhur (telah dicetak). (terj by titok)
[1]
Ali Jumu’ah, Prof. Dr., Al Madkhol ila Dirosatil Madzahibil
Fiqhiyah (Kairo: Darus Salam, 2001), hal. 49 – 52
[2]
Judul lengkapnya adalah Nihayatul Mathlab fii Diroyatil Madzhab
[3] Secara teknis 3 kitab terakhir bukan
ditulis oleh Asy Syafi’i, namun ditulis dan atau dikumpulkan oleh para murid
beliau berdasarkan apa yang beliau ajarkan.
[4] Ali Jam’ah mengungkapkan
ketidakyakinan bahwa Al Muharrar adalah ringkasan Al Wajiz
Rabu, 09 Oktober 2013
BATAS TANGGUNGJAWAB PIDANA ANAK
AQJ, anak
Ahmad Dhani, yang masih berusia 13 tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan di tol Jagorawi yang memakan 7
korban tewas dan 9 lainnya luka-luka .
AQJ mengemudikan sendiri mobil sedan Lancer dengan kecepatan tinggi
sehingga kehilangan kendali. Mobilnya menubruk
pembatas jalan dan menyeruduk Granmax yang melaju dari arah berlawanan.
Kasus kecelakaan ini mengundang kontroversi yang
hangat karena melibatkan anak di bawah umur, dengan jumlah korban tidak
sedikit. Beberapa pihak menuding
orangtua AQJ adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam kasus
ini.
Kadiv Pengawasan dan Monev Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI),
M Ihsan menilai Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul ini
merupakan korban salah asuh orang tua. "Orang tuanya tidak memahami
ada hal yang sudah dibolehkan untuk anak-anak dan yang yang belum, baik secara
hukum, maupun nilai dan norma," katanya (Republika online, 08/09/2013).
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia merekomendasikan kasus kecelakaan yang melibatkan
AQJ dapat diselesaikan di luar jalur hukum jika ada kesepakatan antara keluarga
korban dan pelaku.
"Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban (antaranews, 12/09/13).
"Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban (antaranews, 12/09/13).
Humas Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi, mengatakan pendamping
Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan siap mendampingi AQJ jika setelah pulih ia
dihadapkan pada proses hukum. Pendampingan ini dilakukan agar AQJ
mendapatkan keadilan yang menjunjung tinggi asas restoratif dan hak-hak anak. Ini sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Tempo.co.id, 16/09/13).
Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Kasus AQJ mengangkat kembali pembahasan tentang
penyelesaian masalah anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang pernah mengemuka
beberapa waktu lalu pada kasus AAL, anak yang mencuri sandal jepit di
Palu. Perdebatan yang muncul sama,
apakah anak layak untuk dijatuhi hukum pidana, atau masalahnya dapat
diselesaikan di luar pengadilan? Jawaban
masalah ini menjadi krusial karena data Komnas Perlindungan Anak
menyebutkan ada 6000-an
anak yang setiap tahunnya berurusan dengan hukum.
Paradigma Penyelesaian Kasus Pidana Anak
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan
hukum, telah disahkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam
UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut Anak dalam
kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Asas yang dianut dalam Sistem
Peradilan Anak di antaranya adalah: kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat
anak; kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.
Pasal 3 UU tersebut menyatakan, setiap anak dalam
proses peradilan pidana berhak di antaranya: a. Diperlakukan secara manusiawi
dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Dipisahkan dari orang
dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional; d. Bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup; dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,
serta wajib diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban
dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar
proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (http://www.setkab.go.id).
Pada prinsipnya pendekatan hukum
pada kasus ABH didasari dua asumsi, pertama : anak-anak dianggap belum
mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya
diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak
dengan orang dewasa. Hal ini didasari
asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak
dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya. Kedua
: bila dibandingkan dengan orang
dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina
dan disadarkan.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum yang
dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak. Pendekatan yang digunakan untuk penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai, prinsip, dan norma Konvensi Hak
Anak adalah pendekatan yang murni
mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan
kesejahteraan dengan intervensi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep ini,
pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut
restorative justice saat ini dianggap
lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini
merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan
pendekatan keadilan.
Konsep Keadilan Restoratif
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh
tahun yang lalu sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses
semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama
untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa
yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
dan diversi.
Diskresi adalah
kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku tetapi atas
dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91). Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan
oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan menghentikan proses
penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah atau
kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana keluar dari proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa syarat.
Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi juga
mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak
(minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai
Pemasyarakatan. Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi,
penyerahan kembali ke orang tua, kerja sosial selama 3 bulan dan pelayanan
masyarakat.
Program diversi dapat
menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode
sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan
anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain,
diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak
(protection child and fullfilment child rights based approuch).
Sasaran dari
proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut
pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni
bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti
pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek
materiil maupun aspek immateriil.
Dalam
penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), konsep pendekatan keadilan
restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak
anak. Keadilan restoratif setidak-tidaknya bertujuan untuk
memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak
dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang
melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum
matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum. Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan,
tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum
pidana (formal dan materil). Keadilan restoratif harus juga diamati dari segi
kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan, 2008 : 4)
Keadilan
restoratif ini dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan
restributif yaitu :
1. Memperhatikan
hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
2. Berusaha
memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
3.
Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga
korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
4.
Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
Kontroversi Keadilan Restoratif
Tidak semua kalangan sepakat dengan
paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH.
Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana
tanggal 21 Agustus 2012. Martina
mengungkapkan segi negatifnya sebagai berikut :
1.
Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap
dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi
seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah
sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non
elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi
memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan
yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancaman
pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi terhadapnya, maka dikuatirkan hal
itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya lagi.
2.
Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku
kejahatan yang mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal :
maraknya sindikat yang mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking). Mencopet adalah sama
dengan mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan
wajib untuk diupayakan diversi. Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader
(orang yang menyuruh melakukan), jika dalam
hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human trafficking). Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/
dikehendaki oleh ABH dan secara sadar ABH melakukan perintah si Dader
dengan kerjasama dan mengetahui serta mengkehendaki akibat yang ditimbulkan
dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi tidak
memberi efek jera. Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH
untuk melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir
dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam
keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan paradigma yang mendasarinya. Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk
mengurangi tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana
digantikan dengan prinsip keadilan restorasi.
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak
terus bertambah tiap tahunnya. Data
Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada
lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730
kasus.
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak
tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak anak. Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke
dalam kejahatan. Kemiskinan, kerusakan
moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak.
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal
anak selalu terpaku pada bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada anak. Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari
tindak kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus
ini. Ibarat anak berdiri di tepi jurang
tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru
semua orang berteriak. Sia-sia.
Definisi Anak
dalam Islam
Pendefinisian
anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum
Islam. Ini karena ketika anak sampai di
usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya
diperhitungkan sebagai pahala dan dosa.
Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Pendefinisian
anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak
yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Islam
mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh. Prof. Dr. Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam
bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya
masa kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh
ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan
haid. Rasulullah saw bersabda :
“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga :
dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa
(yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Kata yahtalima
adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam). Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh
telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab
sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.
Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat
diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman
dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa hingga ia
siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas perbuatannya
saat baligh. Ini berbeda dengan
pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak
usia 18 tahun. Pandangan ini membuat
kontradiksi pada diri anak. Di satu sisi
saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga
secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti
anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan
kondisi balighnya tersebut. Akibatnya secara
akal pikiran, ia masih jauh dari matang.
Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia
kejahatan.
Batas Tanggung Jawab Pidana Anak dalam Islam
Baligh
tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada
kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai
saat itu, seorang anak dikatakan telah
dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan
hukum syara’. Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam
bukunya Fiqh Anak, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat
al-wujub), serta kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Jika dia mentaati aturan, maka dia akan
memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena
sanksi. Semua yang dilakukan akan
dipertanggung jawabkan sendiri. Tidak
bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.
Begitupun di hadapan
hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai
pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang
dilakukannya. Dalam Islam, hal itu
adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga
mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.
Jika anak belum
baligh, Huzaemah T. Yanggo menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak seperti
ini tidak dapat dihukum dengan hukuman seperti orang dewasa. Ini dikarenakan asas dalam pemberian hukuman
tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang jelas dan
sempurna (benar-benar disengaja).
Anak kecil tidak
memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak pidananya, karena akalnya
belum sempurna. Kesadaran dan
pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang hakekat
kejahatan. Ia juga belum mampu memahami khithab
Syari’ secara sempurna. Karena itu anak tidak dijatuhi hukuman
pidana. Ini juga sesuai dengan hadist
Rasulullas saw :
“Diangkat pena dari
tiga golongan, dari yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia
dewasa dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Diriwayatkan pula
bahwa seorang pencuri dihadapkan pada Khalifah Utsman. Sebelum memutuskan hukum potong tangan,
Utsman memerintahkan untuk menyingkap sarung sang pencuri agar diketahui sudah
baligh atau belum. Ketika ternyata
terbukti pencuri tersebut belum baligh, Utsman tidak menjatuhkan hukuman
padanya. Ini tidak dsanggah oleh para shahabat yang ada saat itu sehingga
terjadi ijma’.
Sekalipun tidak
dijatuhi hukuman pidana, namun jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus
pembunuhan, anak sebagai pelaku dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau
keliru. Bila anak tidak memiliki harta,
maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.
Sekalipun demikian,
negara boleh mengambil kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak pidana
anak. Negara bisa memaksa orangtua atau
wali untuk mendidik anaknya, atau negara mengambil anak dari pengasuhnya dan
menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari kalangan kerabat yang berhak
atas pengasuhan anak.
Bila anak sebatang
kara tidak memiliki pengasuh dan wali, maka negara berkewajiban memelihara anak
tersebut dan mendidiknya agar tidak menjadi pelaku kriminal.
Solusi Komprehensif
Islam
Islam menyelesaikan
masalah kriminal anak tidak hanya terpaku pada hukuman yang harus dijatuhkan
pada anak. Islam lebih mengedepankan
pendekatan sistemik yang akan mencegah anak menjadi pelaku kejahatan.
Sebagai benteng
pertama, Islam mewajibkan orangtua untuk mendidik anak sebaik-baiknya. Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua
dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi pahala yang terus mengalir
baginya sekalipun kematian sudah menjemput.
Berikutnya Islam
menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan. Nafkah anak dibebankan pada para wali. Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara
wajib untuk menjamin nafkah anak. Dengan
demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya
pada berbuat pidana.
Islam juga memiliki
kebijakan dalam pendidikan dengan menjadikan kurikulumnya berdasarkan aqidah Islam sehingga memiliki
daya dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum syara’.
Begitu juga Islam
memiliki mekanisme penjagaan aqidah dan moralitas. Islam mewajibkan negara untuk mencegah
beredarnya miras, pornografi, dan media massa yang memiliki konten membahayakan
aqidah dan akhlak umat. Negara dibekali
dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan kerusakan. Ini berbeda dengan system demokrasi di
Indonesia, yang sampai Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk
membreidel semua konten porno di media massa.
Dengan serangkaian hak
dan kewajiban yang Islam telah membebankannya kepada orangtua, masyarakat dan
negara, maka Islam telah melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak
kriminal. (Arini)
Langganan:
Postingan (Atom)